Dalam Kediaman

Mungkin ini adalah ujung dari kebiasaanku yang tak jelas manfaatnya. Kulihat, aku masih tak percaya dengan apa yang kualami saat ini. Kelembaban bau yang bisa kuhirup tiap waktu. Efek guratan kecoklatan yang bisa kupandang berjam-jam. Sekarang, bisa kugenggam, kuraba, bahkan masuk kedalamnya.

***

“Hoy!!!” teriakan itu mengagetkanku. Aku menoleh sosoknya, terlihat bibirnya mengomel. Tak terdengar kata-katanya. Aku hanya kembali pada kegiatanku sebelumnya. Kutatap lagi kayu kokoh di depanku. Coklat, asri, berukir, entah apa namanya. Sebenarnya, tak jelas sebabnya. Tak sedikitpun aku mengagumi bangunan tua itu. Tapi…tanpa sebab. Tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, seperti ada yang memanggil, mengajakku untuk berkunjung kesana. Tiga jam, hingga lima jam, durasi biasa yang kuhabiskan untuk menatap rumah itu. entahlah, aku hanya menatapnya tanpa sebab dan akibat yang tak pernah ada jawabnya. Rumah itu terlihat kosong. Bukan hanya terlihat kosong, tapi memang kosong! Kulihat tanganku, jam 5 sore. Seperti yang sudah-sudah, aku ditinggal sendiri di halaman belakang rumah Roy. Hmmh, kuturuni tangga dengan wajah puas, dan kulangkahkan kakiku pulang.

Lama menunggu sendiri di haluan kantin, Rere tampak menghampiriku dengan santai. Ya, itulah Rere. Meski tak begitu peduli, tapi hanya dia yang bisa mengerti dan menerima diriku apa adanya.

“Hey Ran. Udah lama ya?”

“Bukan cuman lama. Tapi luuuuuamaaaaaaa. Puas lu?”

“Sorry deh.”

“Rere sayang, berapa kali aku musti nunggu kamu terus? Hemh, laen kali awas loh.”

Lama kami bercakap-cakap layaknya anak SMA yang berpacaran pada umumnya. Rere, seseorang yang telah menjadi tambatan hatiku sejak kelas sepuluh. Memang, kami memiliki kepercayaan yang berbeda. It’s fine. Selama kami masih bisa mengerti satu sama lain, why not? Dia cantik, pintar, sabar, menerimaku apa adanya, mengerti, setia, jujur, semuanya, mungkin. Kami juga saling melengkapi. Tapi, tetap saja aku masih punya duri. Entah duri apa. Terlepas dari itu, aku hanya bisa menulis “just relax and have fun with your life”.

Sebersit hal tentang aku sendiri, seorang remaja SMA yang telah bisa menelurkan 3 buku. Keberuntungan. Sebelumnya aku sama sekali tak tertarik dengan hal-hal berbau sastra yang sulit dimengerti artinya. Sama sekali enggan menyentuh yang namanya sastra. Sekarang, akulah duta sastra dari pelosok daerah tempat tinggalku. Entahlah. Padahal buku-bukuku hanya berisi tentang tanda tanyaku pada rumah yang sering kutatap. Tak jelas bagaimana itu bisa terjadi. Selama aku menatap rumah lawas itu, aku bisa mengarang cerita sesuka hatiku dengan tingkatan yang menjulang.

Hal lain, Rere. Bagaimana kami kenal? Mengapa aku berpacaran dengannya? Dia adalah penggemar beratku. Tak tanggung-tanggung, dia selalu menjerit paling keras bila aku membagikan buku gratis yang baru launching. Dia selalu berada paling depan bila aku lewat. Menjadi orang pertama yang membaca bukuku yang baru terbit. Dibalik semua kemanisan yang mengalir itu, kata-kata Rere di kantin tadi menyumpal sesak di dadaku. Tetap terdengar berulang-ulang seperti kaset rusak yang tak bisa diputar dengan lancar.

–Ran, aku mau kita putus—

–Ran, aku mau kita putus—

–Ran, aku mau kita putus—

Kenapa? Ketika pertanyaan itu kulontarkan, aku hanya mendapat jawab yang tak melegakan hatiku. Kita udah kelas tiga, jawaban dari Rere. Sebenarnya di kantin tadi, obrolanku dengan Rere tak sebagus yang terlihat di awal. Itu tadi adalah obrolan yang tak ingin kudengar, mungkin kalian juga tak ingin mendengarnya.

            Dari hatiku terdalam, jujur aku tak mau. Aku ingin dia menjadi pendampingku hingga akhir hayat. Nyatanya, meskipun aku nyaman-nyaman saja didekatnya, ia menginginkan kami putus. Entahlah, mungkin ini sudah jalannya. Tak pernah bisa aku menolak permintaannya bila dia memang terlalu menginginkan hal itu dengan segenap hatinya. Dengan berat hati, kutata satu-persatu emosiku. Ku-defrag lagi ceceran hatiku yang terlanjur menelan luka. Aku bisa merelakannya, tapi aku ingin alasan lain.

            Sekali lagi, aku mempertemukan mataku dengan mata Rere. Ditempat yang sama, dengan suasana yang berbeda. Kami berdua saling terduduk. Diam beberapa saat, dan mulailah aku melontar kata.

“Aku ingin alasan yang lain. Aku tau, matamu menyembunyikan hal lain.”

Rere tampak tertunduk. Terlihat, bibirnya mulai bergetar dan menjawab pertanyaanku. Dia hanya ingin menuruti kata-kata orangtuanya. Ayah dan ibunya bersih kukuh, Rere harus memiliki pasangan hidup satu agama. Memang, aneh rasanya bila anak SMA sudah berpikiran tentang pasangan hidup untuk kedepan. Tak dipungkiri, mungkin kalian bisa tergelak tawa bila mendengarnya. Tapi memang inilah realita. Aku hanya bisa memandang sayu wanita didepanku, perlahan aku mengangguk. Entah bagaimana caranya, aku bisa merelakan Rere dengan permintaanya itu.

Hari itu telah berlalu. Memang, baru kemarin terjadi. Aku hanya ingin menghibur diri agar tak larut dalam sedih. Fakta aneh dariku, aku lebih cengeng dari kalian. Terutama kalian-kalian yang perempuan itu, aku jauh lebih ahli dalam meneteskan air mata. Entah karena ulanganku tergores tinta merah, sampai aku diputus seperti ini. Tak perlu setengah-setengah, sampai lima jam aku menangis meratapi nasib. Mungkin lucu bagi kalian, mungkin kalian menganggapku terlalu berlebihan, tapi inilah aku. Leher ini kuajak berputar untuk melepas pegal. Teringat sesuatu, aku langsung saja mengeluarkan semangat ‘45-ku menggeber sepeda motor ke rumah seorang sahabat. Entah tebakan kalian benar atau salah, aku berkunjung ke rumah Roy. Seperti biasa, selain Rere, Roy memang seorang yang bisa mengerti akan keadaanku. Tanpa menyapa, langsung saja dia bukakan pintu.

“Santai aja bro, my house always free for you.”

Kata-kata itu mengiringi tangan Roy membuka pintu halaman belakang. Dia langsung memberiku ruang untuk sendiri. Itulah sahabat. Makanya, kalau kalian mau jadi sahabat sejati, contoh Si Roy. mengerti teman kalian.

Kembali ke cerita, kala itu hari mulai senja. Jadi suasanannya tepat sekali untuk menyendiri. Kuambil ancang-ancang untuk memanjat tembok halaman belakang rumah Roy. Tiba-tiba, aksiku melompat terhenti seketika oleh sebuah suara. Aku baru sadar kalau ini sudah maghrib. Dengan hati yang tak boleh diberatkan, aku mencari Roy di dalam dan mengajaknya sholat berjamaah. Sial! Aku benar-benar ditinggal sendiri. Ternyata dia sudah ke masjid semenjak meninggalkanku di belakang. Sekarang, sendiri, aku sempatkan diri berkomunikasi dengan Sang Pencipta sejenak. Seperti biasa, beribadah akan membuat seseorang menjadi tenang.

Seperti kebanyakan, layaknya peminta-minta, aku menengadahkan tanganku memohon pada Yang Maha Kuasa. Walaupun aku adalah anak SMA yang tampan and gaul, tanpa ditutup-tutupi aku juga bisa berlagak sok tak berdaya hanya untuk mendapat simpati dari-Nya. Aku yakin kalian juga tak jauh berbeda.

Usai berdoa, kembali aku menuju halaman belakang. Kupanjat temboknya, dan mulai kunikmati apa yang ada di hadapanku. Rumah, coklat, lawas, penuh ukiran, asri, usang, dan tanpa penghuni. Itulah rumah yang kutatap. Tanpa alasan yang jelas, aku suka sekali mengulang penjelasan tentang rumah ini. Mungkin, orang lain berpendapat rumah itu tak ada istimewanya, tak ada yang menarik. Itulah yang membuatku penasaran. Tak ada yang menarik, tak ada yang istimewa, tapi kenapa aku betah menatapnya, betah memandanginya dengan perasaan yang tenang. Rumah itu memiliki inner beauty. Inner beauty?.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa aku sudah lulus. Tak bisa dipercaya, aku lolos SNMPTN jurusan sastra bahasa Indonesia. Dengan ini, terbit pula buku terbaruku. Seperti penerbitan yang kemarin-kemarin, aku mengadakan talk-show di beberapa SMP dan SMA. Hari ini, minggu pagi jam 09.00 ada jadwal talk-show di SMA yang baru saja kutinggali. Tentu saja aku bersemangat. Entah dengan semangat 17/8, atau semangat 45, langsung saja kukebutkan mobilku di jalan raya. Gerak cepat asal selamat.

Tinggal H- 5 menit. Tanganku mulai dibasahi keringat dingin. Saatnya aku keluar, dan duduk di kursi kehormatan. Belum sempat aku menenangkan diri untuk berbicara, mataku dengan kurang ajar melihat sesosok orang tanpa ijin. Rere, dia tersenyum padaku di tempat duduk penonton paling depan. Mati aku! Hatiku menjerit. Inilah yang membuatku tak rela meninggalkannya. Inilah yang membuatku menginginkan masa lalu terulang.

Seperti biasa, aku menjalaninya dengan santai. Layaknya sales, aku menguak buku baruku dengan kampanye. Dan seperti yang sudah-sudah, acara itu diakhiri dengan tepuk tangan yang tak membekas kesan bagiku.

***

Aku berdiri memandang gedung itu dengan penuh kebanggaan. Akhirnya satu lagi mimpiku tercapai. Hari ini aku menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Mungkin karena ini adalah hari pertama kuliah. Senyumku terjuntai lebar mengalahkan senyum sang mentari di atas sana. Menunggu jam kuliahku dimulai, kubuka laptop kesayanganku untuk surfing di dunia maya. Ya Facebook, ya Twitter, ya Friendster, ngaskus-lah, sampai blogging. Tapi, ternyata aku berkutat dengan hal lain. Aku sedang private chat dengan seseorang. Penggemar setiaku di dunia maya. Yang selalu rutin berkunjung ke website-ku. Namanya Anggi. Dari fotonya, berjilbab, dia muslim. Layaknya sahabatku sendiri. Dia sering kuajak curhat. Dia pendengar yang baik, dan saran darinya selalu melegakan. Dalam hati, ingin sekali bisa menjabat tanganya. Tak begitu menyenangkan bila terus-terusan termakan internet. Bukan masalah penampilan, hanya masalah sikap.

“Nggi, kopi darat yuk. mumpng ntar sore aq d wkt.”

Kalimat itu tanpa sadar kuketik dan ku-send pada Anggi.

“J ok. time & place?”

“up 2 u”

“jam 3, café beemo. gmn?”

“sip <thumb> c u der”

Berakhir, dan segera kaki ini menuju kelas yang terjadwal hari itu.

Jam tiga tepat. Aku masih di dalam mobil, dan belum juga sampai di tujuan. Ah, mobilku serasa jelmaan siput. Jam tiga lebih sepuluh menit dua puluh empat detik. Aku terlambat. Dengan tergesa-gesa aku masuk ke café. Mataku mencari-cari sosok Anggi sembari mengingat-ingat foto profilnya. Dengan sabar, kucocokkan satu-persatu wajah wanita berkerudung yang kutemui. Meja G, langsung kuhampiri dia dan kuajak bersalaman.

“Anggi kan…” tanyaku dengan senyuman sok tau. Anggi hanya diam dan memberi isyarat anggukan padaku. Kupesan makanan dan minuman untuk berdua, dan mulailah kubuka pembicaraanku dengannya.

“Nggi, cerita tentang kamu dong. aku pengen denger.”

Seperti di awal, dia hanya diam dan tersenyum. Aku heran, dan mengulangi pertanyaanku sekali lagi.

“Nggi, jawab dong. kok diem aja sih?”

Dia tersenyum untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba dia mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu dengan tergesa-gesa. Dengan wajah ragu, dia tutup bolpoin dengan tangan kirinya, dan menggeser kertas itu padaku.

Aku penggemar buku-bukumu. Mahasiswa Unitral jurusan sastra bahasa Jawa. Meski jurusan bahasa Jawa, buku-bukumu yang berbahasa Indonesia tetap kujadikan koleksi favorit.hehehe.

Hening di café itu merebak. Rasa salah langsung memenuhi jantungku. Aku menyesal telah mengulang-ulang pertanyaanku padanya dengan semakin meninggikan nada. Bibirku beku, pandanganku lurus menatap wajahnya yang masih tetap tersenyum. Genggaman tangannya menyentuh tanganku. Selembar kertas lagi.

Udahlah Ran, aku nggak tersinggung kok. Kamu nggak usah takut.

“Iya. Aku takut kalo’ kamu marah. Eh, ngomong-ngomong kita satu universitas loh. Cuman, aku jurusan sastra bahasa Indonesia.”

Wih enak dong, aku bisa sering ketemu penulis favoritku. J

Pembicaraan itu berlangsung. Aku berkata dengan mulutku, dan dia berkata dengan penanya. Dengan senang hati dia tulis riwayat kebisuannya padaku. Dia berbicara dengan menulis, bermula pada suatu kecelakaan. Dia tetap ceria, tetap seperti orang kebanyakan, dan terlebih lagi dia membuatku iri. Dia lebih bijaksana dan lebih dewasa untuk menghadapi hidup.

Sejak saat itu, kami semakin dekat. Kami sering, sering sekali, selalu bertemu di kantin kampus untuk sekedar berbincang-bincang ala kadarnya. Setahun dua tahun, kami adalah pasangan sahabat terbaik di kampus, tanpa ada maksud menyombongkan diri. Selain aku bisa menambah karya, Anggi juga berhasil menelurkan buku antologi roman bahasa jawanya. Tahun ketiga, entah ide dari siapa. Kami bekerjasama dan memberanikan diri membuka toko buku “Maos Baca”. Seiring berkembangnya toko buku itu, semakin sering juga aku meluangkan waktu untuk menatap rumah suwung disamping rumah Roy.

Hingga empat tahun, aku dan Anggi lulus bersamaan menyandang gelar S1. Hari itu terik panas merangsek pori-pori kulitku. Tapi untung saja AC di distro milik Roy masih mampu menyejukkan kulit yang hampir melepuh ini. Dengan santai, kupilih-pilih hoody yang terpajang dingin. Saking asyiknya memilih, kuabaikan saja seorang Roy yang duduk di kursi kasir. Terdengar detak high-heels yang masuk ke distro Roy saat itu. Sebegitu hafalnya, aku tahu kalau itu adalah Anggi. Kutoleh, terlihat dia sedang beriringan dengan seorang ABG . Hanya menebak, ABG itu masih SMA kelas satu.

“Nggi? Kok kamu kesini?”

Dia menjawabku dengan memainkan tangannya. Dan sekarang aku sudah fasih mengartikan bahasa tangan itu. ternyata dia mangantar keponakannya untuk memesan t-shirt. Disitulah, saat keponakannya sibuk bernegosiasi dengan Roy, kusempatkan mencuri waktu untuk berbincang-bincang dengan Anggi.

“Nggi, aku sayang sama kamu. Kamu mau nggak, jadi pacarku?” entah setan apa yang merasuk dalam pikiranku. Dengan cerobohnya, kubongkar segala rasa yang kupendam pada Anggi selama ini.

Aku nggak mau pacaran. Kalau kamu memang serius, nikahi aku.

Mataku terbelalak. Mungkin aku salah mengartikan gerak tangan Anggi. Aku terdiam.

Kalau kamu serius, nikahi aku!

Anggi mengulangi gerakan tangannya.

Dengan mantap aku mengangguk.

***

Hal yang membuatku begitu terganggu, ketika kami berencana mengadakan resepsi. Ibu Anggi protes keras bila resepsi itu diadakan di Hall Hotel Bratama. Hotel itu berbintang lima. Meski kami mampu, tanpa sebab ibu Anggi bersih kukuh menolaknya. Aku agak jengkel dengan ulah ibu Anggi. Kalau nggak di hall, lalu dimana? Tapi tetap saja, Ibu Anggi menyanggupi untuk menyediakan tempat dan segala sesuatunya. Dan hal itu terlalu abstrak utuk kucerna.

Tepat saat hari H. Ketika kaki kananku turun dari mobil, kurasakan keanehan. Aku hanya melihat sekeliling, dan memang aneh! Mungkin hanya perasaanku saja. Toh ini adalah pertama kalinya aku menjadi mempelai, raja sehari, pikiranku agak kacau, memang.

Tetap saja, aku sempat begitu keheranan memandangi sekitar. Benar! Aku kenal tempat ini. Tapi dimana? Pertanyaan itu berputar. Seakan semakin banyak dan memaksa untuk meledak keluar.

Usai resepsi, kuamati sekali lagi sekeliling. Halamanya begitu luar. Familiar. Dengan penasaran yang penuh, aku masuk. Mataku terbelalak. Mungkin karena hiasan bunga-bunga centil seenaknya, aku begitu sukar mengenali tempat ini. Kelembaban bau yang bisa kuhirup tiap waktu. Efek guratan kecoklatan yang bisa kupandang berjam-jam. Sekarang, bisa kugenggam, kuraba, bahkan menginjaknya. Rumah yang selama ini hanya bisa kutatap dari tembok halaman belakang rumah Roy. Rumah ibunya Anggi.

***

Masih begitu jelas rekaman kronologi sejarahku dengan Anggi, dengan rumah ini. Mungkin memang garisan takdir. Rumah yang hanya bisa kupandang jauh, kini dengan mudahnya bisa kuinjak semauku. Bukankah ini sangat kebetulan? Bukan, ini adalah kebenaran. Sungguh, recana-Nya sangat mengagumkan.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *