Darwati, Berusaha jadi Ibu Sempurna

Jakarta, Kartunet.com – Setiap wanita yang terlahir ke dunia memiliki kodrat yang sama. Seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, mereka kelak akan menjadi seorang istri yang mendampingi suami serta ibu yang mengurus anak-anaknya. Sejatinya, mereka tentu mengemban tugas yang sama, termasuk wanita penyandang disabilitas.

Darwati, menjadi tunanetra sejak usia 3 tahun. Sekian lama berdampingan dengan gelap membuatnya tak canggung lagi mengurus rumah tangganya sendiri. Sejak menikah dengan Rohani 20 tahun silam, Darwati mengaku tetap mampu melayani suaminya serta mengerjakan pekerjaan rumah layaknya perempuan nondisabilitas.

Tahun 1990, Darwati berjumpa dengan Rohani. Pria nondisabilitas itu adalah kawan dari pemilik panti pijat tempat Darwati bekerja. Kecocokan yang terjalin diantara mereka membuat keduanya memutuskan untuk menikah 2 tahun kemudian. Pria yang bekerja sebagai petugas cleaning service di SMK Muhammadiyah itu sama sekali tidak mempermasalahkan ketunnetraan yang disandang Darwati. Pihak keluarga mereka pun menyerahkan keputusan kepada mereka berdua. Bagaimana pun, menjalani hidup rumah tangga haruslah didasari rasa saling menghargai antar pasangan, kelak pasangan itu sendiri yang akan menjalani hidup baru mereka.

Sebagai tunanetra, Darwati memiliki perasaan yang peka terhadap lingkungan sekitar. Kepekaan tersebutlah yang menuntunnya melakukan pekerjaan rumah seperti memasak atau membersihkan lantai.

“Saya malah emb menyapu lantai lebih bersih daripada anak saya yang bermata awas,” ujarnya, dengan logat jawa yang kental. Ia memang tak mampu melihat kotoran-kotoran di lantai, tapi justru hal itulah yang membuatnya kerap kali mengulang-ulang sebuah pekerjaan agar ia yakin tak lagi menginjak debu-debu di lantai rumah.

Wanita berusia 47 tahun itu dikarunai tiga orang anak. Okta dan Sifa, si sulung dan si tengah yang nondisabilitas, serta Firda, si bungsu yang merupakan penyandang tunagrahita. Dalam merawat Firda yang memiliki keistimewaan, Darwati tak merasakan kendala berarti karena Okta dan Sifa juga selalu turut andil dalam mengurus adik mereka. Bagi Darwati dan suami, ketiga anak mereka adalah berkah dari Tuhan. Bagaimanapun kondisinya, disabilitas atau tidak, adalah kewajiban orang tua untuk tetap mengurus buah hatinya tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Ketika masih kecil, pernah juga anak-anak Darwati mengeluhkan kondisi ibu mereka yang tunanetra. Lumrah terjadi pada anak kecil yang kerap terpengaruh oleh perkataan teman-temannya. “Okta, mending Bapak kamu suruh cari Ibu lain aja yang emb lihat.” Demikian ucapan teman Okta yang kemudian disampaikan kepada ibunya. Meski sedih mendengar kalimat itu, toh akhirnya Darwati tertawa juga ketika menceritakan kejadian lalu pada Redaksi Kartunet.com. Ucapan polos anak-anaknya tak pernah ditanggapi serius oleh Darwati. Di satu sisi ia memang seorang tunanetra, tapi toh ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi ibu yang sempurna.

Kali lain, anak keduanya, Sifa, justru mengeluh tentang ayahnya. Ketika itu, ia baru saja dimarahi oleh sang ayah lantas mengadu pada ibunya.  “Bapak galak banget sih, bu? Ibu cari bapak lain aja deh, yang merem juga gak apa-apa.” Kembali Darwati tergelak mengingat keluguan anak-anaknya.

Sejak kecil, anak-anak Darwati telah terbiasa bertemu dengan teman-teman sesama tunanetra. Ketiga anak Darwati tidak pernah malu meski memiliki ibu yang menyandang disabilitas. Mereka kerap membantu sang ibu dalam melakukan aktifitasnya, termasuk si bungsu Firda. Meski menyandang tunagrahita, Firda selalu mengambilkan sandal untuk ibunya jika hendak keluar rumah. Dengan mencontoh ayah mereka yang selalu menggandeng ibunya saat bepergian, Okta dan Sifa pun melakukan hal yang sama. Perbuatan baik buah hatinya pun berlaku untuk sekitar.

“Kalau ketemu tunanetra di jalan, anak-anak juga suka nyamperin, nanya tunanetra itu butuh apa, terus dibantu keperluannya,” cerita Darwati dengan bangga. Ia sendiri tidak pernah meminta anak-anaknya melakukan semua itu. Rohani juga tidak pernah ember penjelasan lisan pada Okta maupun Sifa tentang bagaimana memperlakukan ibu mereka yang tunanetra. Agaknya kepedulian terhadap penyandang disabilitas memang dapat tumbuh secara alami jika telah terbiasa bertemu, apalagi memiliki keluarga penyandang disabilitas.

Wanita kelahiran Pemalang itu juga mengatakan bahwa dirinya tak mendapati masalah berarti saat bersosialisasi di luar rumah. Tetangga dan lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Kampung Sawah, Ciputat, cukup memahami dirinya. Perlakuan mereka terhadap Darwati tidak berbeda seperti pada orang lain. Saat wanita tunanetra itu hendak bepergian, ada juga tetangga yang bersedia membantunya menyebrang jalan serta mencarikan kendaraan umum. Pada saat seperti itu, ia merasa amat bersyukur bahwa dirinya hidup dengan dikelilingi oleh orang-orang baik yang dapat menerima kondisinya sebagai tunanetra.

Darwati hanya satu dari segelintir penyandang disabilitas yang cukup beruntung karena dikelilingi oleh keluarga dan lingkungan yang amat mengerti dirinya. Namun demikian, masih banyak masyarakat yang merasa ragu ketika calon pasangan hidupnya adalah seorang disabilitas. Lewat kisah hidup Darwati, mungkin kita dapat mengambil hikmah bahwa pada dasarnya, penyandang disabilitas sekali pun mampu menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Adanya keterbatasan hanyalah terletak pada cara pandang masing-masing individu. Kenyataanya, seorang disabilitas juga dapat menjadi sempurna jika ada rasa saling pengertian dan menghargai dari orang-orang di sekelilingnya. (RR)
Editor: Herisma Yanti

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *