Gadis Penjual Sayur Mayur

Setiap pagi gadis berjilbab merah bata itu melintas di jalan kompleks depan rumahku. Kedua tangannya mengayuh sepeda tua yang sudah dimodifikasi menyerupai becak. Gadis tak memiliki kedua kaki itu dengan gesit menggowes sepeda tiga rodanya dengan kedua tangan. Di boncengan belakang tampak tumpukan sayur mayur terbungkus dalam lembaran karung plastik dan diikat dengan tali yang terbuat dari pilinan serat bambu. 

Hampir setiap hari aku menjumpai sosoknya, tepatnya saat aku akan berangkat kuliah. Terkadang kami malah sering bersisian di jalan. Dia dengan sepeda tiga rodanya, sementara aku dengan sepeda motor jetmatic. Dia pergi ke pasar, sementara aku ke kampus. Aku sebenarnya tak begitu mengenalnya dekat, karena aku dan keluargaku tergolong warga baru. Sementara dia dan keluarganya yang menempati kampung belakang sudah lama tinggal di daerah ini.

Aku tak segan menyapanya atau sekedar mengucap salam bila berpapasan di jalan. Dia membalas sapaanku dengan ramah. Bibirnya menggurat senyum bulan sabit, manis. Dia memang manis. Wajahnya oval dengan sepasang bola mata bening dinaungi lengkung alis tebal. Kecantikannya memancar alami tanpa polesan make up. Apalagi dengan lesung pipi kiri menambah kecantikannya. Dia tampak percaya diri meskipun hidup tanpa kedua kaki.

Aku menaksir usianya tak jauh berbeda denganku, mungkin malah lebih tua sedikit. Dia sudah tidak bersekolah dan membantu pekerjaan orangtuanya di rumah. Aku bisa bayangkan keadaan keluarganya yang serba pas-pasan. Hampir semua warga yang tinggal di kampung belakang bisa dibilang hidup miskin. Mereka rata-rata berprofesi sebagai petani sawah atau kebun. Mereka terancam digusur oleh rencana perluasan kota yang semakin melebar.

Kenyataan ini tak bisa dipungkiri lagi. Beberapa wilayah pinggiran mesti rela berganti baju demi memenuhi ambisi segelintir orang yang ingin mengeruk keuntungan. Warga kampung yang tak mampu bersaing harus tersingkir. Padahal jika melihat kerja keras dan ketekunan mereka, sungguh rasanya tidak adil hal ini terjadi. Tapi apa mau dikata. Warga kampung yang masih tradisional, tak berpendidikan, terbelakang, dan tak memiliki modal, harus kalah dari orang-orang kota yang berpikiran maju, modern, dan berlimpah modal!

Aku punya kesempatan mengenal lebih dekat gadis sederhana itu saat mendapat tugas dari dosen untuk membagikan lembar kuisioner mengenai traficking atau perdagangan manusia. Kebanyakan korban trafficking adalah orang-orang yang berpendidikan rendah, warga pedesaan, kaum perempuan, dan mereka yang dalam posisi lemah di tengah masyarakat.

“Kenalkan, namaku Mayang.” ucapku sambil mengulurkan tangan saat bertamu ke rumahnya. 

“Aku Rahayu,” balasnya ramah.

Aku lalu dipersilahkan duduk di ruang tamu merangkap ruang keluarga. Rumah Rahayu berbentuk joglo dengan dinding papan berwarna coklat tua yang sudah terlihat kusam. Soko atau tiang rumah juga sudah tampak lapuk. Lantai rumah berupa plesteran semen yang disana-sini terlihat retak dan berlubang. Satu set meja kursi model kuno dengan bantalan duduk terbuat dari jalinan rotan. Aku yakin, di sela jalinan rotan itu bertebaran kutu busuk yang bisa bikin kulit gatal dan memerah jika tergigit.

Tidak ada barang-barang berharga di dalam ruangan ini, kecuali sebuah radio transistor lama. Sebuah vas berisi seikat bunga mawar yang dipetik dari halaman depan dipajang di atas buffet kuno memberi sedikit sentuhan keindahan pada rumah ini.

“Kok sepi, mana orang tuamu?”

“Bapak dan emak masih di kebun. Adik-adikku di sekolah.”

Dalam lembaran kuisioner responden diutamakan dari kalangan perempuan, berpendidikan rendah, dan berasal dari desa. Rahayu kuanggap bisa mewakilinya. Sekalian aku bisa mengenalnya lebih dekat. Aku sempat khawatir dia tidak mau membuka diri, tapi kekhawatiranku sirna. Rahayu sangat kooperatif. Dia mau menceritakan pengalamannya. Bahkan aku mendapatkan lebih dari yang kuharapkan. Dari caranya bertutur, aku mendapat kesan dia sudah lama ingin punya teman yang bisa diajak berbagi.

“Semua teman-temanku sudah pada menikah, Mbak. Kan tidak enak ngobrol sama orang yang sudah berumahtangga,” katanya lugu.

Hari-hari berikutnya aku jadi sering ke rumah Rahayu. Bukan lagi urusan mengisi kuisioner, tapi sekadar main saja. Aku senang ngobrol dengan Rahayu. Biar pun cuma lulusan SMP dan disable, tapi Rahayu cukup cerdas dan pintar. Wawasannya luas. Dia bisa nyambung membicarakan suatu permasalahan, meski ada kesulitan dengan istilah atau bahasa asing. Tapi itu bisa kumaklumi.

Secara tidak sadar terjadi transformasi ilmu dan pengalaman. Aku bisa menularkan ilmu dan pengalamanku berkuliah, sebaliknya aku juga bisa mendalami pengalaman yang dijalani Rahayu. Hal ini semakin membuka wawasanku, betapa kehidupan di tengah masyarakat tidak seperti yang tercetak di texbook. Bahkan kukira kehidupan Rahayu dengan berbagai pernak-pernik dan liku-likunya merupakan texbook faktual.

Rahayu adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Orang tuanya mengandalkan penghasilan dari sepetak kebun kecil yang berada tak jauh dari rumah. Kebun itu ditanami sayur-sayuran dan palawija. Hasil kebun dijual ke pasar. Sudah ada pedagang yang menampungnya. Tugas Rahayu mengantar ke pedagang itu dengan mengayuh sepeda roda tiga setiap pagi.

Mengingat setiap hari orangtuanya sibuk mengurus kebun, dari pagi hingga sore, maka Rahayu diserahi tanggung jawab mengurus rumah dan adik-adiknya. Dia yang memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, berbelanja, sekaligus mengantar sayur mayur yang dipetik dari kebun. Meski kondisi fisiknya cacat, tapi ia mampu mengerjakan semua itu dengan cekatan. Ia tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Ia justru terlihat sangat percaya diri.

Ia juga sangat kritis dan peduli pada lingkungannya. Ia mengungkapkan keprihatinan atas kehidupan orang-orang di kampungnya yang sudah kehilangan identitas budaya dan asal-usul. Kehidupan mereka yang tadinya berakar agraris berubah menjadi industrialis. Mereka rela menukar profesi sebagai petani menjadi buruh pabrik atau karyawan. Mereka menjual tanah dan sawah mereka demi bisa mengejar status warga kota. Karena kota identik dengan modernitas dan kemajuan. Mereka merasa bangga telah berhasil menjadi warga kota!

“Tapi keberhasilan mereka kukira hanya semu, Mbak!” tegas Rahayu.

“Apa maksudmu keberhasilan mereka hanya semu?” tanyaku ingin tahu.

“Di kota mereka rata-rata bekerja sebagai pembantu, buruh pabrik, atau pekerjaan rendah lainnya. Di kota mereka hidup ngontrak. Rumah kontrak, pekerjaan kontrak, dan apa-apa serba kontrak. Setelah kontrak habis mereka kembali ke kampung. Tapi di kampung apa yang bisa mereka kerjakan? Karena lahan pertanian sudah dijual. Mereka tidak memiliki keterampilan apa-apa yang bisa diandalkan untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka menjadi miskin lagi. Beban hidup mereka bertambah berat bila sudah menikah dan punya anak. Mereka jadi sering cekcok karena persoalan ekonomi. Tak sedikit yang kemudian bercerai.

Ada pula yang kemudian balik lagi ke kota dan meninggalkan anaknya untuk diasuh kakek-neneknya. Terus ada istri yang nekat jadi TKW karena suami menganggur. Tapi alih-alih dapat uang, mereka malah hidup terlantar di tanah orang. Disiksa majikan atau kalau tidak, uang yang dikirim ke rumah digunakan berfoya-foya suaminya. Ada juga yang kemudian jadi pelacur karena tak tahu lagi bagaimana harus cari uang. Begitulah keadaan masyarakat di kampung ini, Mbak!” tutur Rahayu panjang lebar.

Aku terkesima. Rahayu sangat mengetahui kondisi sosial masyarakat di kampungnya. Apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Warga kampung yang asal historisnya adalah petani, tetapi memaksakan diri menggapai mimpi di kota besar yang berbasis industri. Mereka tidak berusaha membangun ekonomi dari tanah garapannya sendiri. Mereka tidak berusaha memberdayakan lahan yang dimiliki. Tak heran bila kemudian banyak tanah-tanah di kampung yang dijual oleh pemiliknya karena tak tahu harus diapakan.

Orang-orang kampung yang telah menjual tanahnya pindah ke tempat lain atau malah ada yang pergi ke kota. Entah, bagaimana nasib mereka. Rahayu lalu menghitung beberapa orang tetangganya yang sudah lenyap dari kampung ini. Mereka tak diketahui lagi dimana rimbanya. Beberapa teman bermainnya semenjak kecil pun sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabar beritanya.

“Dulu aku punya teman yang namanya Ratna, Ani, Wulan dan Siti. Dulu rumah mereka berada di lahan yang sekarang menjadi kompleks perumahan itu,” kata Rahayu sambil menunjuk kompleks perumahan tempat aku dan keluargaku tinggal. Tak pernah terpikir dalam benakku bila rumah yang kami tempati berdiri di atas reruntuhan rumah orang-orang kampung.

“Tapi sahabat-sahabatmu yang hilang kan sudah berganti dengan sahabat-sahabat baru. Di kompleks itu juga banyak anak-anak,” ucapku beretorika.

“Lain Mbak, mereka anak-anak orang kaya dan bergaya hidup kota. Lagi pula mana mau mereka bermain sama anak-anak kampung?”

“Tapi aku mau kok bermain sama anak kampung…”

“Kalau Mbak Mayang lain. Sejak pertama melihat mbak, aku sudah yakin mbak orangnya baik. Tidak seperti tetangga-tetangga mbak. Jika berpapasan di jalan, tak ada satu pun yang mau menyapaku. Mereka memandangku sebelah mata. Bahkan ada yang mencibir dan mencemoohku karena kecacatanku ini!”

Aku terdiam. Aku bisa merasakan getirnya perasaan Rahayu menghadapi tingkah orang-orang kaya yang sombong dan angkuh. Padahal derajat mereka sama sebagai manusia. Tapi aku merasa beruntung karena terlepas dari penilaian negatif Rahayu.

“Belakangan ini ada orang-orang yang datang hendak menawar rumah dan kebun kami. Mereka berani menawar dengan harga tinggi. Tapi aku meminta bapak dan emak untuk tidak menjualnya. Kami memang bisa membeli rumah baru di tempat lain dengan uang itu dan sisanya buat modal usaha, tapi aku tak tertarik. Orangtuaku bukan pedagang, mereka adalah petani. Jiwa kami, nafas kami adalah petani!” lanjut Rahayu kemudian menegaskan sikapnya. Sikap seperti itu yang membuat keluarganya masih tetap bertahan.

“Bagaimana kalau semua tetanggamu pada pergi, karena telah menjual tanah mereka, apakah kalian akan tetap bertahan?” Aku sebenarnya tak enak mengajukan pertanyaan ini, tapi kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Bahkan sepertinya tanda-tanda itu sudah mulai terlihat. Saat menyusuri jalan kampung, aku menyaksikan beberapa rumah penduduk tampak kosong dan di pintu pagarnya terpasang tulisan “TANAH INI MILIK PT ADI KARYA.”

Rahayu terdiam. Dia menundukkan kepala sambil menggigit bibirnya. Bisa kurasakan gejolak batinnya yang tak karuan. Dia lalu menarik napas panjang seraya membuang pandangannya jauh.

“Tidak tahulah, Mbak. Aku tidak tahu apa yang terjadi nanti!” ujarnya dengan suara tertahan.

Aku tak mau membuatnya jadi sedih. Aku lalu mengalihkan ke topik lain. Aku mengajaknya bicara tentang tanaman hias dan bunga. Rahayu sangat antusias jika bicara tentang hal itu. Di halaman rumahnya banyak tumbuh tanaman hias dan tanaman bunga beraneka jenis. Ada mawar, melati, anggrek, adenium, anthurium dan banyak lagi. Rahayu memang hobi menanam tanaman hias atau tanaman bunga. Wajahnya berseri-seri memancarkan cahaya seperti kelopak bunga mawar yang tumbuh di halaman rumahnya.

“Aku ingin punya kebun yang khusus ditanami tanaman hias dan tanaman bunga, Mbak. Di kebun itu aku bisa menyalurkan kesenanganku!” ujarnya.

“Bagus itu! Tanaman hias yang kamu pelihara bisa dijual. Nilainya juga sangat tinggi, apalagi bila tanaman itu tergolong langka seperti Jenmanii atau Bunga Anggrek Hitam. Kamu bisa menjadi pengusaha tanaman hias atau pengusaha bunga!” sahutku memberi semangat.

“Benarkah itu, Mbak? Tapi bagaimana cara menjualnya? Siapa saja yang mau beli? Dan lagi di mana mau menanamnya? Halaman rumahku sangat sempit, tidak cukup lagi untuk bercocok tanam.”

“Kenapa tidak di kebun orangtuamu?”

“Nanti bapak dan emak tidak bisa menanam lagi sayur mayur!”

Aku tersenyum kecil. Rahayu punya tekad dan keinginan besar, tapi sayang potensi terpendamnya itu tak bisa tersalurkan. Aku tergerak untuk membantunya. Aku akan mencarikannya brosur atau informasi tentang budi daya tanaman hias dan tanaman bunga. Hal itu bisa didapat mudah di internet. Untuk sementara Rahayu harus belajar dulu sebelum terjun ke dunia yang disukainya itu.

Tiba-tiba aku membayangkan ke depan Rahayu menjelma menjadi sosok pengusaha Florist yang sukses. Gadis kampung yang hanya berbekal ijazah SMP dan penyandang disabilitas, namun mampu memberdayakan dirinya menjadi perempuan mandiri berkat ketekunan dan kerja kerasnya. Dia berhasil karena buah usahanya sendiri. Diam-diam aku tersenyum membayangkan semua itu.

Namun senyumku mendadak lenyap ketika siang itu Rahayu datang menemuiku dengan wajah sendu. Dia menceritakan tentang kondisi orangtuanya yang mulai lemah. Mereka tak sanggup lagi meneruskan usaha menanam sayur mayur. Pendapatan yang diperoleh tidak sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan. Apalagi barang-barang kebutuhan pokok semakin mahal, karena mereka tidak lagi hidup di kampung melainkan sudah di kota. Mereka berniat menjual rumah dan kebun warisan keluarga. Mereka akan pindah ke pelosok desa. Mencari tanah yang lebih murah dan bisa dijadikan lahan garapan.

“Aku ke sini sekalian pamit, Mbak. Mungkin besok atau lusa, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Terima kasih atas persahabatan kita,” ucap Rahayu dengan suara serak dan bola mata berkaca-kaca.

Perasaanku ikut terkoyak. Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang meleleh di pipi memperlihatkan kesedihanku. Sungguh, aku akan sangat merindukannya bila nanti dia pergi. Aku lalu memeluknya untuk terakhir kali. Aku bisikkan kata-kata penghibur dan pemberi semangat. Sebelum dia pergi, kuberikan sebundel copy-an tentang budidaya tanaman hias dan bunga yang kuunduh dari internet. Dia tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih.

Kini, setiap pagi aku tak lagi menjumpai sosok gadis berkerudung merah bata mengayuh sepeda roda tiga melintas di depan rumah dengan membawa sayuran. Aku pun tak bisa membayangkan gadis itu memboncengkan sekeranjang tanaman hias atau bunga untuk dijual ke toko-toko. Aku hanya membayangkan, kelak suatu hari bisa menjumpai sosok perempuan berkerudung merah bata dengan lesung pipi kiri yang manis mempromosikan dirinya di media massa sebagai pengusaha Florist yang sukses!

Atau malah sebaliknya, aku tak akan pernah mendapatkan kabar beritanya sama sekali. Seperti ketika Rahayu tak mendapatkan kabar berita tentang teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Tiba-tiba aku baru merasakan betapa pedih dan pahitnya kehilangan! (*)

 Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Eko Hartono

Kontributor sastra di Kartunet.com

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *