Hopeless

Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. 

Suara jam yang melekat pada dinding tengah sibuk menggangguku, sibuk memecahkan lamunanku terus dan terus. Namun aku hanya termenung, membungkam mulutku rapat–rapat, kemudian melambungkan angan terindahku sejauh mungkin. Membiarkan segala sesuatunya menjauhi sebuah kenyataan yang tak mampu bahkan tak sanggup aku terima sampai kapanpun.

Aku sangat berharap, seandainya ku dapat berlari mengalahkan segerombolan serigala liar. Dan seandainya saja ku mampu melihat setajam mata seekor elang memandang. Seandainya saja. Namun sayang, segala sesuatunya hanya sebatas harapan kosong tak berisi. Sesuatu yang selalu menghasilkan angka nol besar, NIHIL!

Rasa putus asa, marah, kecewa juga benci setia menemani dan setia mendampingi, mungkin hingga suatu hari ku mati. Meninggalkan segala sesuatu yang tak pernah ku inginkan. Sesuatu yang tak pernah ku pinta, namun menghampiriku dan kemudian diberikannya kepadaku. Entahlah apa maksudnya. Agar sekiranya aku mampu membedakan rasa tulus dan sebuah rasa yang terkesan sebagai keterpaksaan? Atau ini sebuah pelajaran? Atau hadiah terindah? Atau malah ini adalah hukuman bagi orang–orang yang tinggi hatinya? Pertanyaan mendesakku, memojokkanku, juga memenuhi isi kepalaku seketika.

Resah dan gelisah setiap mengingat jikalau tak akan pernah ada lagi sebuah harapan didepan sana. Tak akan pernah lagi ada keindahan yang ku nikmati. Tak akan pernah ada lagi sebuah warna selain hitam. Dan tak ada lagi rerumputan atau jalan raya yang bisa ku pijaki.

Tak ku sadari air mata mengalir membasahi kedua pipiku. Entah bagaimana wujud ragaku saat ini. Mungkin rambutku sudah tidak teratur, gigiku sudah tidak bersih lagi, kulitku sudah tidak terawat dan badanku mulai kurus kering. Semua itu terjadi karena aku putus asa, aku depresi dan aku tak sanggup melampaui segala sesuatunya.

Menangispun rasa–rasanya sudah tak sanggup lagi ku lakukan. Karena ku tahu, hingga menangis darahpun tak akan merubah segala sesuatunya. Aku menjauh dari hingar bingar dunia ini, aku terpelanting dari gegap gempita dunia ini dan aku terbuang jauh di sudut hitam  dunia ini. Aku merasa diasingkan pasca kejadian malam itu. Malam yang menjadi awal kegelapan ini.

– – –

Segala sesuatunya masih berjalan baik hingga hari ini. Popularitas, eksistensi, materi dan kondisi fisik yang jelas sempurna dihadapan cermin maupun dihadapan mata–mata yang melihat. Semua berjalan dengan aman, lancar dan terkendali, membuat mata dan telingaku tertutup oleh kecongkakan juga tingkat arogansi yang tinggi. Dalam kamus hidupku, tak mengenal yang namanya terima kasih atau sekedar maaf. Buat apa? Toh mereka tak melakukan apapun padaku, begitu pula sebaliknya. Hidupku bebas dan merdeka, hidup masa muda yang begitu nikmat dirasakan.

Hobiku fotografi, melihat dan kemudian mengabadikannya melalui kamera. Mataku begitu dimanjakan dengan hobi yang ku jalani sekian tahun lamanya. Dari mulai pergi ke pantai dan menunggu matahari terbit kemudian tenggelam dan terbit lagi. Hingga berpergian ke puncak gunung untuk mengabadikan momen dari atas sana. Aku begitu bersemangat dan penuh rasa bangga terhadap apa yang mampu aku lakukan. Dunia ini menyimpan berjuta keindahan dan ku sadari hal itu. Begitupun dengan kehidupan, hidup ini begitu indah. Bahkan sangat indah.

– – –

Indah memang, namun tidak seindah setelah kejadian di pagi buta itu. Pagi itu, aku dan lima orang teman akan kembali menuju kota dimana tempat kami semua tinggal. Mobil yang dikendarai berjalan lancar hingga setengah perjalanan. Ban seketika mengalami selip dan tidak mampu dikendalikan. Aku yang kala itu duduk dibagian depan sebelah kiri, kehujanan oleh serpihan kaca diseluruh badan dan terjepit pada bagian kaki. Semua berlalu tanpa ku sadari, hingga terjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit besar. Aku kehilangan kaki kanan hingga sebatas lutut dan kehilangan penglihatan pada kedua mata. Semua menjadi gelap gulita dan tiada lagi harapan terhadap apapun.

Aku stres dan depresi, membuat mentalku terguncang hebat hingga harus menelan beberapa pil bagi saraf. Ditambah lagi, tiada seorang teman pun yang mau memberikan aku motivasi dan dukungan. Mereka semua meninggalkan aku di tengah keterpurukan yang sedang ku jalani. Emosiku menjadi tidak stabil dan memperparah kondisi mentalku. Setiap harinya hanya melamun dan itu saja yang dilakukan sambil meratapi nasib. Sempat aku marah pada Tuhan, merasa kehidupan ini menjadi tidak adil bagiku.

– – –

Namun suatu ketika, disaat sinar matahari menyentuh kulitku dengan lembut, seseorang datang kepadaku. Dia mengajakku berbicara, menjabat tanganku dan mengajakku mendengarkan lantunan instrumen yang lembut. Dia seorang pria yang ku rasa sebagai malaikat pelindungku. Dia satu–satunya orang yang mau menjadi temanku, mendengarkan aku dan menemaniku selama berada di rumah sakit ini. Dia begitu baik dan lembut hatinya. Dia memperlakukan aku dengan sangat sopan, dia begitu menghargaiku tanpa melihat kondisi fisikku yang jauh dari kesempurnaan. Belakangan aku menjadi termotivasi karenanya, aku jadi memiliki harapan untuk melihat dunia lagi. Memiliki harapan untuk berlari lagi dan pastinya aku ingin melihat dia, yang begitu baik padaku. Dia datang seperti air segar di dalam fatamorgana. Aku tak sabar ingin melihatnya. Memeluknya dan berterima kasih padanya.

– – –

Waktu terus berlalu setelah satu bulan aku mengenalnya. Dia masih sering mengunjungiku di rumah sakit dari pagi hingga malam hari. Sampai disuatu pagi, dokter memberikan kabar baik bagiku. Jika ada kornea mata yang akan didonorkan bagiku dan ada sebuah kaki palsu bagian kanan yang akan diberikan padaku. Mendengar kabar tersebut, ku cari dia, ku ceritakan mengenai kabar tersebut. Dan dia turut bahagia, melihat air mataku mengalir. Tak perlu waktu lama, dua minggu kemudian aku menjalani operasi mata dan pemasangan kaki palsu. Dia bilang akan menemaniku di ruang operasi hingga operasi itu selesai. Dan benar saja, dia terus menggenggam tanganku erat selama proses tersebut.

Satu hari kemudian, ketika mataku sudah bisa dibuka secara perlahan untuk adaptasi terhadap cahaya, aku ingin cepat sembuh dan langsung menemuinya. Beberapa minggu kemudian, mataku kembali normal dan aku menggunakan kaki palsuku dengan lancar. Namun tak pernah lagi dia datang, padahal aku belum sempat mengetahui namanya dan dimana dia tinggal. Aku sedikit menyesal, aku tidak mampu menemukan sosoknya. Aku berusaha bertanya pada dokter dan perawat pihak rumah sakit, namun mereka tidak memberikan informasi apapun kepadaku.

Aku kembali di taman belakang, dekat sebuah pohon besar, tempat ketika pertama kali dia menyapaku. Dan sayangnya, tempat itu sepertinya sudah ditempati seorang pasien yang lain dengan sebuah kursi roda. Sepertinya sedang menikmati matahari pagi. Dia seorang laki–laki. Pandangan matanya kosong, menatap pada satu arah, sinaran matanya tajam dan dia tampan. Aku berdiri dihadapannya, namun orang itu tetap diam dan melihat pada arah yang sama tanpa menanggapi apa yang aku lakukan. Aku mendekati wajahku padanya, memainkan telapak tanganku dihadapan wajahnya. Namun tetap tidak bergeming. Sepertinya dia buta. Aku diam – diam meninggalkannya, menjauhinya perlahan, aku tidak mau mengganggunya. Seketika aku terkaget dan menyadari sesuatu disaat dia berbicara

“ Sepertinya kondisimu membaik Nona, senang mendengarnya ..”. Aku diam dan menitikkan air mata, itu suara milik seseorang yang menemaniku selama ini.

“ Ya Tuhan jangan katakan jika kornea mata ini miliknya ..”, kataku dari dalam hati. Aku menghampirinya, memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih.

“ Apa ini kornea milikmu dan sebuah kaki palsu darimu? ..”

“ Iya ..”

Sekali lagi aku menangis semakin menjadi, aku berpikir ternyata masih ada orang yang begitu tulus dan begitu baik padaku. Ternyata masih ada orang yang peduli padaku.

“ Kenapa? ..”

“ Aku sudah tidak membutuhkannya lagi, untukmu saja ..”, katanya sambil tersenyum tanpa disadarinya jika dari hidungnya keluar darah segar.

Sepertinya dia sakit. Aku berjanji akan menjaganya dan menemaninya seperti apa yang pernah dia lakukan kepadaku. Sampai disekitar dua minggu kemudian, dia meninggal dunia karena penyakit kanker darah yang menyerangnya.

Aku merasa kehilangan malaikatku. Beruntung mata malaikatnya ditinggalkan bagiku. Dan dihadiahkannya kaki palsu bagian kanan ini bagiku, sehingga kini aku dapat menjalani kehidupanku secara normal. Bekerja, berjalan, berlari dan mengurus keperluan keluargaku dirumah. Aku selalu mengingatnya. Mengingat segala sesuatunya dengan baik. Dia mengajarkan aku mengenai ketulusan dan perjuangan dalam hidup. Dia tak sekedar membuka kembali mataku yang sempat kehilangan pandang, melainkan membuka juga mata hatiku untuk melihat sebuah ketulusan, sebuah persahabatan, sebuah cinta kasih, sebuah hal yang disebut dengan keikhlasan.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *