Karina

Ia menengadah menatap figura foto keluarga. Ibunya, sosok wanita jangkung berambut ikal tersenyum di samping sang ayah dengan alis mata lebat. Kakaknya, Ratu, dengan rambut panjang di kuncir kuda melambai kearah kamera. Karina menemukan dirinya yang duduk canggung di atas kursi roda. Sepanjang ingatannya, foto itu diambil ketika mereka berlibur ke pantai Pangandaran. Karina menatap hampa wajahnya di foto itu. Ia mengarahkan kursinya ke figura agar lebih jelas melihat dirinya.


”I-bu, Ka-r-in p-i-ngi-in ke-te-mu I-bu!” gumamnya lirih.


Karina bosan berada di kamar terus. Ia kepingin keluar dari kamar sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Namun setiap kursi rodanya menggelincir menuju pintu kamar, peringatan Kak Ratu terngiang dalam kepalanya. ”Kamu tunggu di dalam. Jangan kemana-mana! Kalau bosan, nonton TV aja. Nanti kalau kamu keluar diisengin.”


Ia mengurungkan niatnya sambil sesekali terisak parau. Karina mengarahkan kursi rodanya menuju pintu, kali ini ia tak ingin keluar.


”Ka-rin ha-us, Ka-rin want-to dr-ing!” Bisiknya gagap. Karina menggelincir ke arah kulkas. Kulkas mini itu telah disesuaikan dengan kondisi tubuhnya. Kakaknya membeli kulkas mini khusus untuknya, agar ia tidak kesulitan bila ingin mengambil makanan di dalamnya. Karina meraih pintu kulkas dengan kedua tangan mungilnya, mengambil sebotol susu, menutup kulkas, lalu mengelincir kembali ke kamar.


”Non-ton Do-ra-E-mon.” Ia menyalakan TV dengan tangan kirinya, semantara tangan kanan memegang botol susu.


”Se-ben-tar la-gi gu-r-u Ka-rin da-ta-ng.” Matanya melirik bergantian antara TV dan figura. Saat menatap lekat wajah ibunya, Karina tersenyum dan sebentar kemudian terisak. Perempuan yang tak pernah mengeluh sedikitpun tentang kondisinya, kini hanya berupa gambar yang tak mungkin bisa dipeluk Karina. Tangan halus ibu tak pernah merasa pegal ketika menyuapinya makan. Hanya pada di pangkuan ibu, ia bermanja tanpa harus menerima ekspresi jijik. Hanya pada ibu, ketika ia berbicara tergagap tak ada ekspresi kesal diwajahnya. Dan hanya ibu, yang mengerti tentang keadaanya.


”Bu …” Karina mendesah sedih.


”Ka-pan I-bu pu-lang? Ka-ta Kak-Ra-tu … I-bu per-gi.”


Karina masih ingat, ketika mobil yang dikendarai ayah mengalami kecelakaan. Waktu dia bangun dari pingsan, dokter mengatakan pada kakaknya bahwa kedua orang tua mereka tak bisa diselamatkan. Saat Karina menanyakan apa maksud dokter itu, Kak Ratu hanya menjawab, ”Orang tua kita sudah pergi, Kar.”


Sejak itulah, Karina selalu berharap ibu akan muncul di depan pintu rumah kemudian memberinya senyum dan belayan hangat. Terkadang ia mendengar ibu mengucap salam, mirip kalau ibu pulang dari pasar. Kira-kira, kenapa ibu gak pulang-pulang? Apa dia pergi untuk selamanya? Mungkin ibu kepingin ngasih surprise padanya? Tapi kalau mau ngasih surprise, kenapa Karina harus menunggu lama? Hhh … pertanyaan-pertanyaan itu selalu terngiang dalam kepalanya.


Setelah menghabiskan susu, Karina menggelincirkan kursi rodanya kearah tempat sampah di sudut kamar. Saat botol susu itu masuk ke tempat sampah, telinganya menangkap suara ketukan di pintu diiringi ucapan salam. Karina terperangah, baru saja ia berharap suara salam ibu kembali didengarnya, masa sih sekarang kejadian? Karina mendengarkan dengan teliti ketukkan itu.


”Karina, ini Kak Ratu!” ujar suara di luar. Karina menggerakkan kursi rodanya perlahan. Perlu beberapa menit bagi Karina untuk mencapai pintu. Tangannya yang mungil terasa sulit mengendalikan kursi roda. Karina sedikit mengangkat tubuhnya agar bisa membuka pintu. Otot-ototnya terasa ngilu ketika gagang pintu berhasil di putarnya. Senyum tipis Kak Ratu muncul kemudian, kali ini dia tidak sendiri. Seorang perempuan gemuk berkacamata di sebelah Kak Ratu tersenyum pada Karina.


”Ini Bu Sartini. Guru bahasa Inggris yang mau ngajarin Karin.” Jelas Kak Ratu seraya melangkah ke dalam.


”Halo Karina, duh-duh cantiknya. How are you?” tanya Bu Sartini seraya menjabat tangan Karina.


”I-am fine, Mum.” Gagapnya.


Ratu mempersilahkan guru separuh baya itu duduk di sofa. Karina mengarahkan kursi rodanya ke samping sofa. Ratu merasa gembira saat melihat Bu Sartini mampu mengambil hati Karina. Adiknya mudah akrab dengan Bu Sartini. Bu Sartini ngobrol ringan dengan Karina. Sesekali ia menanyakan beberapa kosakata Inggris disela-sela obrolannya dengan Karina.


”Ok, Karina paling suka makanan apa?” Tanya Bu Sartini saat mereka sedang menikmati hidangan.


”Hmmm … orange.” Karina menunjuk potongan jeruk di piring. Karina mulai bisa menyesuaikan diri dengan cara mengajar Bu Sartini.


“Adikmu berpotensi, Ratu. Dia cukup antusias dengan Bahasa Inggris.” Kata Bu Sartini ketika Ratu mengantarnya pulang.


”Darimana Ibu tahu?”


”Saya punya teman yang pernah menangani disabilitas seperti Karina. Ya … meskipun saya tidak terlalu mengerti dunia disabilitas, teman-teman saya banyak menceritakan pengalaman mereka.”


Mereka tiba di gerbang kompleks. ”Terimakasih, Ibu mau mengajar Adik saya.”


”Beri Adikmu semangat. Perhatian dan motivasi dari kamu akan mendorong kemauan belajar Karina.”


Sebuah taksi meluncur menuju jalan di depan mereka. Ratu melambaikan tangan, menghentikan taksi tersebut. Taksi membawa satu-satunya harapan Ratu agar Karina kelak bisa mengganti kondisinya dengan keterampilan yang dibimbing Bu Sartini.


Ratu baru saja membuka kunci gerbang ketika terdengar dari dalam rumah jeritan. Ratu panik, hampir saja tangannya terjepit gerbang. Ia berlari dan langsung mendorong pintu depan, bayangan rampok berkelebatan di matanya. Namun yang dilihat Ratu hanyalah Karina yang terisak histeris sambil menggenggam robekkan foto yang terpasang di figura kamarnya.


”Karina! Kamu kenapa?” Ratu merangkul bahu adiknya. Karina menjerit semakin keras.


”Ka-rin ma-u bi-lang sa-ma I-bu, ka-lau Ka-rin bi-sa Ba-ha-sa ing-ris.” Karina mendekap robekkan foto di dadanya.


Ratu meminta lembut foto itu, ia bertanya-tanya bagaimana Karina mengambil foto itu di figura yang cukup tinggi. Ketika Karina membalikkan foto ke arahnya, Ratu terpana dan mulai terisak.


”Kamu kepingin Ibu tahu? Kamu mau bilang sama Ibu?”


Karina mengangguk lemah.


”Kamu tenang, Rin. Besok kita ke rumah ibu.”


”Kakak ma-u nga-jak Ka-rin ke-te-mu I-bu?”


”Iya, besok kita ke rumah ibu. Sekarang Karin jangan teriak-teriak lagi, nanti banyak orang kesini. Tenang ya.”


Gadis itu mulai tenang. Isakkannya perlahan berhenti.


”Gimana kamu ngambil foto itu?” tanya Ratu.


”Karin tarik, terus solasi yang nempel buat nahan foto itu, Karin gunting.”


Ratu tersenyum haru, keinginan adiknya yang kuat ternyata mampu mendorong Karina merusak figura.


”Untung figuranya bukan kaca, Kar. Kalau iya, tangan kamu bisa berdarah.” Ratu mendorong kursi roda kembali ke kamar. Tertatap olehnya, sisa robekkan foto di figura.


”Ibu, sampai kapan Ratu kuat ngadepin Karina?”


Sosok yang selama ini sering mengganggu pikirannya, mendadak bersuara dalam kepalanya. ”Sabarlah…adikmu masih membutuhkan kasih sayang.”


Kemudian kalimat Bu Sartini kembali terngiang. ”Adikmu punya potensi. Beri adikmu semangat. Perhatian dan motivasi dari kamu akan mendorong kemauan belajar Karina.”


Keraguan dan semangatnya hilang timbul di antara dengung kata-kata dari sosok-sosok di kepalanya. Lelah dengan semua itu, Ratu meninggalkan Karina setelah memberikan minuman untuk menenangkannya. (Senna)

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *