Di Tengah Kisah

Setahun sudah aku dan Findia menjalin kasih. Hubungan kami semakin erat dan rasanya tidak ada yang dapat memisahkan kami selain maut. Prestasiku di kelas juga berangsur-angsur semakin membaik setelah yang sebelumnya aku tidak mementingkan belajar dan hanya mencari kepuasan dengan gonta-ganti pacar dengan perempuan-perumpuan cantik di sekolah ini. Semua perubahan ku itu disebabkan karena Findia yang masuk ke dalam kehidupanku. Aku jadi lebih semangat dalam belajar karena kami sering sekali belajar bersama-sama. Aku sering menanyakan hal-hal yang tidak aku mengerti kepada Findia. Yang membuatku semakin kagum kepadanya adalah, ia tidak pernah meremehkanku karena nilai-nilai akademisku yang lebih rendah daripadanya, dan ia selalu dengan senang hati menjelaskan hal-hal yang tidak aku mengerti walaupun jurusan studi kami berbeda.

Aku mengambil jurusan IPS karena ingin mengambil ilmu Ekonomi nanti dan untuk melanjutkan perusahaan ayahku, dan Findia mengambil jurusan IPA karena keinginannya menjadi seorang dokter. Oleh karena itu, semakin hari aku rasanya semakin mencintai Findia. Jika satu hari saja tidak bertemu, rasanya seperti ada salah satu organ tubuhku yang hilang. Selain itu, Findia juga tulus mencintaiku. Ia mencintaiku bukan karena aku anak orang kaya, tetapi karena aku benar-benar tulus mencintainya.

Frekuensi bertemu kami semakin tinggi di saat kami mau menghadapi ujian akhir sekolah. Kami lebih sering belajar bersama untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian akhir. Pada saat belajar itu aku sering mengeluh karena aku terlanjur tidak menguasai pelajaran-pelajaran pada saat kelas 10. Sehingga aku agak kesulitan dalam mengerti pelajaran-pelajaran yang telah lalu. Dalam kondisi seperti itu, Findia terus menyemangati dan memotifasiku agar tidak putus asa dan yakin bahwa kita akan lulus bersama-sama. Findia itu memang gadis yang cerdas, baik hati, santun peringainya, dan bagus imannya. Memang tidak salah pilihan hatiku itu. Merupakan sosok sempurna bagiku yang tidak ku temukan sebelum ini.

***
Gemericik hujan membangunkanku pada pagi hari pertengahan bulan Mei. Hari ini adalah hari pertama aku menghadapi ujian akhir nasional yang akan berlangsung selama tiga hari. Aku memandang ke jendela, ku lihat awan mendung yang memayungi langit kota Jakarta ini. Aku berharap semoga hari ini bukanlah hari yang buruk bagiku dan aku berdo’a kepada tuhan agar dilancarkan dalam mengerjakan soal-soal ujian dan diberikan hasil yang terbaik untukku. Aku melangkah ke kamar mandi dengan gontai karena masih sedikit mengantuk, akibat tidurku yang terlalu larut menghafalkan materi-materi yang masih sedikit belum ku kuasai. Setelah sarapan dan berpamitan kepada kedua orang tua agar diberi restu, aku berangkat ke sekolah dengan menumpang angkot yang sudah aku jalani selama aku mengenal Findia. Kenikmatan naik angkot yang tidak kurasakan sebelum ini. Di dalam angkot, kita bisa bertemu orang-orang baru dan teman-teman kita. Selain itu aku juga bisa merasakan bagaimana rasanya ketika kita harus berlari menuju gerbang sekolah karena jalan yang dilalui oleh angkot itu macet. Sesampainya di sekolah yang syukurlah jalannya tadi tidak macet, aku langsung menyusuri tangga sekolah dan ke tempat biasa untuk bertemu dengan teman-temanku.
”Hai pras, optimis bener muka luh!” kata Yofi yang sedang sibuk membolak-balik buku Ekonominya. “Iya dong, buat apa kita pusing. Toh ujian itu pasti akan tiba kan!” kataku sambil menawarkan kacang atom yang ku beli di warung depan sekolah. “Iya elu sih enak punya pacar yang pinter jadi bisa pacaran sambil belajar deh. Lah gua, pacar gua gobloknya sama kayak gua. Mau digimanain lagi!” Kata Jhonny yang sedang sibuk mencatat-catat contekan untuk ujian nanti. “Ya terima aja deh nasib luh Jhon, gua sih merasa beruntung banget dapet pacar yang baik, cantik, dan pintar pula.” “Ya good luck deh bung kalo gitu” jawab Jhonny dengan agak sedikit gusar.
Bel tanda masuk kelas telah berbunyi dan kami semua segera mempersiapkan diri untuk masuk ke kelas ujian.
”Wah mati deh gua, contekan gua belum selesai nih” jerit Jhonny sambil menulis cepat dan melipat kertas-kertas itu ke dalam sakunya. “Ah gua belum ngerti ini lagi. Ini ngitung rumus pajak bumi dan bangunan panjang amat sih!” cemas Yofi sambil membantingkan buku Ekonominya ke dalam tas. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka dan kami saling mendo’akan agar kami semua berhasil.

Saat aku menuju ke kelas tempat ujianku, aku merasa sepertinya ada sesuatu yang membuatku menjadi cemas. Pada saat yang bersamaan, aku melihat Findia juga mau masuk ke kelas ujiannya yang hanya bersebelahan dengan kelasku. Pada saat itu aku tersadar, bahwa aku membutuhkan dukungan dari Findia. Saat kami beradu pandang, kami langsung berjalan saling mendekati seperti memang sudah ada tali penghubung antara hati kami.
”Fin, do’akan aku ya” kataku ketika kami sudah berada di tepi pagar pembatas lantai. “Aku akan selalu mendo’akan untuk keberhasilanmu pras”, “Tapi aku merasa tidak yakin dapat mengerjakannya dengan baik jika tidak kamu di sisiku”, “Tenang saja, do’aku berserta kamu. Ingat bahwa kita akan lulus bersama, good luck ya!” kata-kata findia yang lembut itu serasa memberikan semangat baru dalam diriku. Aku menggenggam tangan Findia lalu ku angkat dan ku cium tangan halus itu sambil mengucap “Terima kasih sayang, aku juga mendo’akan kamu agar sukses”. Kemudian kami saling melemparkan senyum dan berpisah ke kelas masing-masing untuk menghadapi ujian kami. Aku melangkah dengan langkah-langkah pasti sambil melihat-lihat nomor di setiap meja dan mencocokkannya dengan nomor di kartu ujianku. Ternyata aku dapat di deretan belakang meja ujian yang sebenarnya sangat strategis sekali untuk melihat kertas contekan. Tapi aku sudah berkomitmen kepada Findia untuk tidak mencontek dalam ujian ini dan menggunakan seluruh kemampuan yang ada dalam diriku. Aku melihat Jhonny di seberang mejaku sedang mencorat-coret meja dengan contekannya dengan wajah yang sedikit tegang. Sedangkan keadaan yang paling parah kulihat pada Yofi. Ia mendapatkan tempat duduk paling depan tepat di hadapan meja pengawas yang pasti ia tidak dapat berkutik sedikitpun. Yofi sesekali menoleh padaku dan memperlihatkan senyumnya yang getir. Aku membalasnya dengan senyum yang penuh optimisme sekedar hanya untuk memberikan sedikit semangat padanya. Terdengar langkah-langkah berat kaki menuju ke kelas ujian yang sunyi senyap dalam ketegangan itu. Seorang laki-laki setengah baya dengan tampangnya yang agak sedikit garang siap berdiri di depan kelas. “Siapkan peralatan tulis anda, dan jangan lupa untuk berdo’a sebelum mengerjakan ujian akhir ini. Karena ini adalah test yang akan menentukan nasib anda berikutnya” kata laki-laki itu sambil menunjukan senyumnya yang ramah di balik wajahnya yang agak sedikit menyeramkan. Aku berdo’a kepada tuhan agar diberkahi saat mengisi soal demi soal ujian itu sebelum aku membalik kertas soalnya. Aku mulai mengerjakan soal-soal itu berusaha untuk tetap tenang dan berfikir jernih. Waktu sudah berjalan kira-kira satu jam saat aku sudah menyelesaikan hinggal soal ke tiga puluh dengan lancar. Saat mulai mengerjakan nomor-nomor akhir, aku kehilangan konsentrasi dan get stuck. Ku letakan dulu pensil ku dan mengalihkan pandangan ke sekitar mencoba mencari kesegaran dalam berfikir. Di sekitarku yang ku lihat adalah ada yang sedang memain-mainkan pensil sepertinya sedang berfikir, ada yang sedang menggaruk-garuk kepala, ada yang sedang sibuk mengintip-intip contekannya, dan bahkan ada yang sedang tidur mungkin karena lelah berfikir. Melihat pemandangan seperti itu, bukannya kesegaran, malah semakin penat fikiranku ini. Tiba-tiba aku teringat oleh kata-kata Findia “Yakin lah kalau kamu bisa melaluinya, dan ingatlah bahwa kita akan lulus bersama-sama”. Terlintas wajah cantik Findia dengan ekspresinya yang sedang menyemangatiku ketika aku merasa putus asa. “Aku tidak boleh menyerah, aku sudah berjanji pada Findia” aku berkata dalam hati. Kemudian fikiranku menjadi jernih kembali dan soal-soal akhir itu dapat ku selesaikan tepat pada waktunya.

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

7 komentar

    1. wah kok bisa nyasar ke cerpen ini ya? haha. terima kasih ya sudah membaca. hati2 di perjalanan.

  1. isi tulisannya dalem banget tapi jangan terlalu baper bro dengan wanita, takutnya terlalu baper malah menjadi sebuah kekecewaan *pengalaman*

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *