Ketegaran Lee

Makassar, di masa-masa permasalahan etnis Tiong Hoa masih diliputi suasana mencekam, masih terisolirnya budaya yang terkenal dengan Barongsai dan film Kung Fu atau yang biasa disebut Sersil (Serial Silat),  lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Lee Sau Ran. Dengan Perawakan sedikit berbeda dengan anak kebanyakan dan melihat dari marga keluarga serta wajah orientalnya pastilah ia anak keturunan Tiong Hoa. Kehadiran anak laki-laki yang merupakan anak pertama keluarga Go  disambut suka cita dan setiap saat dipanjatkan doa-doa yang kelak ketika besar bayi Lee Sau Ran  dapat membawa berkah, sehat sejahtera dan limpahan rezeki bagi keluarga besarnya. Setelah menginjak usia sekolah, Lee Sau Ran, yang sehari-hari dipanggil Lee oleh orang tua dan keluarganya, dimasukkan ke taman kanak-kanak, TK Barunawati. Hari – hari bocah  berkulit putih dan mata sipit ini, sangat ceria, aktif dan pengetahuannya akan sesuatu membuatnya semakin disayang oleh guru-guru di sekolah.  

Sifat aktif dan serba ingin tahu  dibanding teman-teman TK-nya, sampai Lee  menamatkan sekolah dasar. Prestasi yang di raih Lee  selalu membanggakan orangtuanya yang sehari – hari membuka bengkel dikawasan Jl. Kalimantan. Setelah menduduki sekolah lanjutan pertama, kelas dua, kehidupan Lee  dan keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat. Keluarga kecil ini mendapat ujian dari Allah. Lee  yang  selalu membuat keluarganya bangga akan sifat santun dan patuh pada kedua orangtua, mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Lee  remaja dan tentu  saja keluarga besarnya. Lee  yang suka musik,  mengalami kebutaan yang disebabkan oleh sakit mata putih yang dideritanya.

Hal inilah yang menyebabkan jiwa Lee  terguncang dan seakan dunia ini tidak adil padanya. Bayangan masa remaja begitu sulit dan suram.  Dirinya tak menyangka seketika penglihatannya yang begitu terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Cobaan ini begitu berat, apalagi menurut dokter,  penglihatannya tak dapat dikembalikan lagi, walau Ibunya ingin mendonorkan matanya untuk Lee. Ia dan keluarganya harus menerima kenyataan pahit. Kenyataan bahwa sehari-hari Lee akan menabrak benda-benda yang ada disekitarnya, kenyataan bahwa Lee  harus memulai  dari nol untuk mengenal seisi rumah dan lingkungannya, kenyataan bahwa Lee  akan masuk ke dalam masyarakat yang senantiasa termarginalisasi menerima tertawaan, cemoohan dan rasa kasian  yang berlebihan dari orang–orang disekitarnya.

Dengan mata berkaca-kaca Lee  mencoba membesarkan hati ibunya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata semenjak mengetahui  mata Lee  tidak berfungsi lagi,

“Sudahlah Bu…” , kata Lee  bijaksana sambil mengusap air mata Ibunya.

Ibu Lee  belum bisa menerima kenyataan pahit itu, ia pun rela mendonorkan kedua mata untuk anak kesayangannya, namun dokter tetap saja mengatakan tidak ada  harapan untuk mengembalikan penglihatan Lee. Dengan sisa-sisa semangat yang ada di hati  Lee, penyuka  mie pangsit ini mencoba membesarkan hati orangtuanya dengan selalu berusaha mandiri dan ceria   walau itu dilakukan dengan susah payah dan terkadang Lee  menangis  sembunyi-sembunyi dikamar mandi.

 Lee  remaja putus asa melakukan itu semua, putus asa harus selalu menampakkan wajah  gembira padahal dalam hati Lee  begitu tersiksa. Apalagi ketika berjalan, kakinya terantuk kaki kursi karena ia belum mengenal betul letak perabot rumahnya, sehingga menimbulkan memar, dan terpaksa rasa sakit ini ditelannya sendiri, kuatir Ibu Bapaknya sedih.  Itu belum seberapa, ketika  telapak kaki kanan laki-laki penyuka warna biru ini,  menginjak paku  payung yang ujungnya sudah berkarat, dengan rasa sakit yang tertahan, Lee  meraba-raba telapak kakinya, mencari letak paku. Dengan menahan perih yang amat sangat dia berhasil juga mencabut paku itu. Lee remaja meringis kesakitan sehingga mengeluarkan air mata. Bertambah putus asa, membayangkan hari-hari yang dilalui hanya menjadi beban orang tua dan  setiap hari  yang dilakukan  makan dan tidur. Hati Lee berontak namun dia tidak bisa melakukan apa-apa,  khawatir membuat repot orang tuanya jika ia mengatakan kebosanannya dengan rutinitas sehari-hari semenjak dia mengalami kebutaan.

Hari berganti hari, setahun telah berlalu, remaja tanggung ini  masih merenungi nasib yang dialami, dan Lee belum berani menyampaikan  kepada orang tuanya  keinginan untuk beradaptasi diluar rumah. Namun  diam-diam Ibu Lee  mengetahui kegelisahan anak sulungnya dan berusaha mencari tahu  sekolah khusus bagi penyandang tunanetra. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah, doa yang setiap hari dipanjatkan,  akhirnya Ibu Lee  menemukan sekolah yang dikhususkan untuk tunanetra tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama. Hal ini sungguh sangat menggembirakan bagi Lee  yang sudah berada di tingkat jenuh menghadapi kesehariannya.  

Dengan harap-harap cemas, ibu dan anak ini memasuki halaman asrama Panti Guna YAPTI. Bayangan kecemasan sempat membuat Lee  putus asa. Bagaimana cara dia mengikuti proses belajar, bagaimana  bergaul dengan komunitasnya, yang kesemuanya adalah tunanetra. Beribu macam pertanyaan dan kecemasan bergelayut dihatinya. Ibu Lee  melirik anak sulungnya sambil senyum bijaksana, walau Lee  tidak melihat senyum Ibunya. Ibu Lee  yang bernama asli Hartiaty,  bisa merasakan kecemasan  anaknya. Digenggamnya tangan Lee  erat  seakan-akan memberi kekuatan pada anaknya yang berumur 14 tahun sambil menuju  ruang kepala sekolah.

 ”Hayo nak, kamu pasti bisa menjalani ini semua. Ibu memang sedih dan cemas berpisah denganmu, apalagi dengan kondisimu seperti saat ini. Tapi ibu juga tidak mau  melihatmu begini terus tanpa masa depan”. Bisik ibu yang masih cantik diusia yang ke 43 tahun.   

Dengan ramah Ibu Iis, kepala sekolah SLB-A YAPTI menerima kedatangan Lee  dan Ibunya,   melakukan wawancara seperlunya  dan pendataan.  Lee  diperkenalkan dengan bapak, Ibu guru yang berada di ruang kepala sekolah SLB-A YAPTI, sekolah khusus untuk penyandang tunanetra, dimana SLB ini satu-satunya sekolah bagian A di kota Makassar. Nampak Lee  senyum malu-malu, walau masih ada kecemasan tersendiri yang dirasakannya. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan administrasi,  Lee  diantar oleh Ibu Iis, Ibu Abital beserta Ibu Lee  menuju  lantai dua, dimana Lee  diasramakan selama mengikuti proses belajar di SLB-A YAPTI.

Kamar Lee  berada diujung barat asrama YAPTI. Sedang diujung timur merupakan asrama yang dihuni oleh tunanetra khusus wanita. Kamar Lee  dihuni oleh sepuluh orang yang kesemuanya laki-laki, dan nantinya menjadi teman Lee  selama diasramakan. Kamar bercat putih  ini  mempunyai lima tempat tidur susun,  masing-masing tempat tidur diselingi dengan lemari dua pintu dan  tiga meja belajar. Dengan sigap  Ibu Abital guru matematika, meraih  tangan kanan Lee  untuk memperlihatkan seisi kamar dengan cara meraba satu persatu letak  tempat tidur , lemari, meja dan letak kamar mandi.

”Nah…disini  Lee  tidur. Lantai dua ditempati  Fadli, nanti ibu  kenalkan ya”. Terang Ibu Abital dengan dialek daerah yang kental sambil menyentuhkan tempat tidur kasur  beralaskan seprei biru.  Lee  dengan wajah kekanak-kanakannya tersenyum  sambil mengingat-ngingat letak seisi kamar. Hatinya masih diliputi rasa cemas, tidak percaya diri.

”Bagaimana aku bisa menjalani  semua ini tanpa  Ibu disampingku. Siapa yang  akan mencuci  pakaianku, siapa yang menyiapkan makananku, siapa……..”, batinnya  berkecamuk.

”Lee  melamun ya?”. Tegur Ibu  Iis ramah. ”Ditanya kok tidak dijawab?”. Kata ibu yang berjilbab ini. Lee  gelagapan menyadari dirinya jadi pusat perhatian. Wajah putihnya bersemu merah lalu menunduk malu.

 ”Tidak bu”. Jawabnya dengan suara kecil namun jelas.

”Ada yang ingin Lee  sampaikan ke Ibu, sebelum kita keruang kelas?” tanya Ibu Iis lagi sambil menyentuh pundak Lee   yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jerawat kecil.

”Tidak bu” , jawabnya malu-malu.

 ”Baiklah kalau tidak ada yang ingin disampaikan, mari kita kekelas”. Ajak Ibu Iis sambil meraih telapak tangan kanan Lee , mendampingi, diikuti Ibu Lee   dan ibu Abital.

Sepanjang menuju kelas 1 SMP di lantai satu , Ibu Iis menjelaskan secara detil  letak ruangan dan kegiatan ekstrakulikuler di SLB-A YAPTI, serta memberi motivasi agar mulai sekarang Lee  harus mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, walau dengan kondisi visual yang terbatas, namun  kemandirian harus dibina. Melakukan kegiatan seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan kamar dan tempat tidur, mencuci pakaian, melipat pakaian dan merapikannya dilemari. Lee  hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Buatnya masih  asing untuk memulai hal yang baru lagi . Namun  dalam hati, dikumpulkan  segenap tekad untuk merubah hidupnya kelak. Lee  remaja menyadari, tak satupun bisa tercapai tanpa suatu perjuangan dan tekad yang kuat, seperti  yang dikatakan papanya jika berbincang-bincang dengannya .

Di tempat yang baru ini, Lee  mulai beradaptasi dengan  hal-hal yang baru. Setelah dibina dan digembleng oleh guru-guru dan pembina di yayasan ini, dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga melakukan kegiatan kerumah tanggaan dengan mandiri seperti mencuci pakaian, piring, menyapu, dan setiap hari minggu kerja bakti, seperti non tunanetra lainnya. Dia teringat pertanyaan teman sekelasnya ketika bertandang diasrama sehabis pulang sekolah, dengan heran dan penasaran Hamzah melontarkan pertanyaan,

”Bagaimana kalau seorang tunanetra mandi,  sikat gigi, apa dimandikan atau disikat gigikan?”. Lee  yang mendengar pertanyaan temannya ini ketawa terbahak-bahak.

”Yah… pengalaman saya selama ini”, kata Lee memulai penjelasannya sambil senyum-senyum,  ”Kalau kami-kami ini mau mandi dipanggilkan mobil kebakaran lalu kumpul di lapangan, berdiri berjejer kemudian disemprot air . Trus kalau sikat gigi, kami punya   sikat gigi yang panjang terbuat dari kayu dan sisi-sisinya dipasangi tasi tebal, kami juga  berdiri berjejer, lalu pembina mulai menyikat gigi kami, dengan satu gerakan sepuluh gigi tersikat ”. Tambah Lee, kali ini tawanya memecah ruang  musik.

”Sorry  man……becanda. Ya nggaklah. Sama kok dengan  orang awas. Mandi seperti biasa dan sikat gigi seperti biasa juga tanpa dibantu”. Jelasnya setelah ketawanya reda.

”Hamzah, memang kami tidak bisa melihat, tapi kalau soal semangat, kecerdasan, skill,  bolehlah  kami diadu”. Saya dan kamu cuman beda tipis kok, beda di visualisasi. Selebihnya sama saja. Kamukan sudah lihat kegiatan-kegiatan diasrama ini . Jadi saya harap kamu menjadi mitra kami untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa, walau keadaan kami  yang kurang namun jangan dipandang sebelah mata. Kami juga punya hak yang sama dengan warga lainnya. Hak hidup lebih baik dan sejahtera, hak mendapat pekerjaan, hak pendidikan, hak berkreasi serta mengekspresikan diri. Kami ini tidak butuh dikasihani atau diberi bingkisan pada acara ceremonial saja, tapi kesempatan untuk meraih cita-cita dan hidup layak seperti orang normal lainnya”. Jelas Lee panjang lebar dengan mimik serius. 

Hari- hari yang dilalui Lee  bersama 35 orang tunanetra  sangat menyenangkan, apalagi  hobinya dimusik terutama gebuk drum semakin  tersalurkan dengan fasilitas yang tersedia di asrama. Hal yang baru saja dia kuasai adalah mengoperasikan  komputer. Dengan tekhnologi JAWS (Job Access With Speech) seorang tunanetra dapat  dengan mandiri  mengetik dikomputer seperti orang melihat lainnya,  mendengar buku serta menjelajah di internet.

”Allah maha penyayang, dengan kondisiku yang tidak sempurna ini, Allah memberi pengetahuan untuk menciptakan tekhnologi komputer bicara, sehingga saya dengan mudah dapat menuangkan hobi menulisku secara mandiri”, bathinnya penuh syukur  sambil mengetik naskah cerpen.

”Ah…. dibalik semua kejadian,  Allah  memberi hikmah yang sangat luar biasa. Saya tidak menyesali apa yang terjadi dengan penglihatanku, karena mataku ini punya Allah, jadi kapanpun maha pencipta memintanya kembali, sebagai mahluknya tidak berkuasa untuk menolak. Walau demikian, dengan kondisi  terbatas,  aku masih punya pendengaran, tangan, kaki, otak dan nuarani untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Insya Allah akan kupergunakan apa yang tersisa pada diriku untuk selalu menikmati karunianya”. Tambahnya  membathin sambil terus menyelesaikan naskah cerita pendek. Ada senyum manis tersungging dibibirnya.

Tanpa terasa waktu terus bergulir,  berputar mengiringi  berbagai aktifitas keseharian penghuni asrama YAPTI. Hari ini tahun keenam Lee  berada di asrama, itu berarti  tahun yang menegangkan buatnya, karena tahun ini akan menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas . Sekolah inklusi, istilah untuk  institusi pendidikan yang menerima komunitas penyandang cacat bergabung dengan   siswa-siswi non penyandang cacat. Hatinya mulai diliputi rasa cemas, apa dia akan lulus ujian atau malah harus mengulang dikelas tiga. Tak dihiraukannya, seseorang dari kejauhan yang juga cemas melihat sikapnya, sebatar- sebentar mondar-mandir bak setrikaan, sebentar – sebentar duduk.

            ”Lee, sudah sarapan belum?”. Sapa Fadli teman sekamar Lee,  yang kini tumbuh menjadi pemuda dewasa. Yang disapa tidak mendengar, asyik mendudukkan kepala sambil kedua tangannya  bergerak mengikuti gebukan drum. Istilah dalam ilmu ketunanetraan adalah blind nisem yaitu gerakan refleks yang dilakukan tunanetra sehingga menimbulkan kesan  lucu atau kikuk. Biasanya seorang tunanetra akan melakukannya dalam keadaan diam.

”Hai…!! pagi-pagi melamun”. Sekali lagi Fadli menegur temannya yang dipanggil friend sambil menyenggol pergelangan tangan Lee .

 ”Eh……,mm….sudah”. Jawabnya datar. 

Kembali laki-laki yang diatas bibirnya sudah mulai ditumbuhi kumis tipis, melakukan aktifitas seakan-akan gebuk drum. Fadli hanya angkat alis melihat sikap sahabatnya.

            Seratus meter dari tempat duduk  sahabat  kental ini, wajah manis berambut sebahu, yang sedari tadi  memperhatikan Lee, melirik malu –malu kearah laki-laki marga Go . Pingin menegur dan memberi semangat, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Wanita muda ini hanya memperhatikan wajah Lee  dari tempatnya duduk, nampak wajahnya  bersemu merah menyadari kelakuannya yang sangat memalukan.

 ” Siapa  disitu !”. Menyadari ada yang memperhatikannya, Lee  bersuara.

 ” Saya…, eng…..”.  Jawab Suci dengan suara tipis,  wajahnya menunduk.

”Duh…..kenapa jadi begini. Aku harus bagaimana?. Duh… bodohnya diriku. Aku salah tingkah, padahal Lee  tidak bisa melihatku’. Kata Suci dalam hati.

 ”O….”. Lee  menjawab dengan suara bulat, kemudian melanjutkan lamunannya.

Suci bertambah  bodoh dibuatnya. Dengan keberanian yang tersisa didiri Suci, gadis berwajah putih ini mencoba memecahkan kesunyian.

” Kak Lee, besok jam berapa pengumuman ujiannya?” Sebetulnya pertanyaan bodoh karena Suci sudah tahu jam berapa pengumuman ujian kelas tiga,  Suci sendiri satu sekolah dengan Lee, Lee kakak kelas Suci.

 ” O……, jam sebelas mungkin”. Jawab Lee sekenanya, kemudian berdiri dan berlalu dari ruang tamu asrama tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

Suci sangat dongkol melihat sikap acuh Lee. Namun Suci hanya diam sambil bolak-balik lembaran buku smart emotion karangan Anthoni Deo Marthin yang dipegangnya. Lee mengeluh pendek.

 ” Maafkan saya Suci. Kamu sangat baik padaku. Dari kelas satu SMA sampai sekarang kamu selalu membantu saya membacakan buku, menulis tugas sekolah. Kamu selalu ada setiap saya membutuhkan pertolongan. Aku sangat menyukaimu. Tapi, aku ragu, apakah kamu juga menyukaiku. Memang kamu sangat perhatian padaku tapi apa itu berarti kamu juga menyukaiku?”. Perang bathin berkecamuk dihati Lee.

Sebetulnya hati Lee  sakit. Sakit menunjukkan sikap acuh pada Suci. Tapi  mau bagaimana lagi.  Bergegas Lee masuk kekamarnya, mengambil compack disk lalu memasukkan CD rekaman buku bermain dengan drum.

”Maafkan saya Suci”. Bisik Lee sekali lagi sambil mendengarkan rekaman tersebut.

Suci masih duduk diruang tamu asrama. Nampak Muli, salah seorang tunanetra wanita asyik menyimak buku yang  dibacakan oleh Suci. Suci yang sehari-hari sebagai volunteer atau istilah di asrama YAPTI ini adalah mitra bakti, membantu dengan sukarela. Mempunyai kegiatan membacakan buku, mengantar seorang tunanetra kesuatu tempat  yang baru dikunjungi, dan mengerjakan pekerjaan yang tidak memungkinkan seorang tunanetra mengerjakannya sendiri. Selama dua tahun bermitra di yayasan ini banyak pengalaman yang didapat Suci, semangat baca bukunya meningkat, pengetahuannya  bertambah dan beragam, semakin mengenal karakter seseorang, serta pengalaman organisasinya berkembang.   Bagi Suci yang berkulit putih,  ini pengalaman yang sangat luar biasa, dan  membuatnya betah berlama- lama bila berkunjung  diasrama bercat coklat. Suci semakin memahami kebesaran  Allah. Allah Maha Benar,  tidak ada yang membedakan dirinya yang melihat dengan seorang tunanetra.

Selama ini orang menganggap, penyandang cacat khususnya tunanetra hanya bisa merepotkan orang lain, tapi kenyataannya seorang tunanetra bisa juga melakukan hal – hal diluar dugaan seperti memperbaiki  lemari,  kursi,  bahkan menjadi pilot pesawat sekalipun. Yang membedakan hanya cara pandang akan sesuatu dan semangat untuk meningkatkan diri keluar dari kebodohan. Inilah yang membuat Suci kagum pada Lee, semangatnya untuk menjadi yang terbaik  selalu  diperlihatkan. Hatinya berdesir mengingat nama laki-laki yang mempunyai senyum misterius ini.

” Mul, sudah jam enam sore, Insya Allah besok bacaannya dilanjut lagi ya. Kakak mau pulang”.

”Eh… iya…, sampai  lupa. Abis suara kakak merdu sih, jadi ngak bosan dengarnya”. Puji Muli. Yang dipuji hanya senyum – senyum sambil beranjak dari tempat duduknya.

”OK sampai ketemu lagi. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.

” Waalaikum Salam  Warahmatullahi Wabarakatuh, makasih ya kak”.

”Iya…..”.

 

********************

 

Angin semilir berhembus halus  di wajah Lee. Didepannya ada secakir  susu Ovaltine panas dan roti Sandwich. Sore ini hatinya suka cita karena minggu depan, akan memulai kehidupan yang baru dan semangat baru.

”Menjadi seorang mahasiswa. Semoga aku bisa menjalani semuanya dengan lebih baik dan lebih tabah”. Doanya dalam hati  penuh semangat.

”Cie…..mahasiswa ni ye….., iyo tawwa. Jadi kapan mulai kuliah?”. Tiba-tiba   salah seorang mitra bakti , Lina, menghampiri  Lee yang duduk sendiri dibawah pohon jambu.

” Insya Allah minggu depan”.  Balas Lee sambil senyum.

” Iya pale,  selamat, semoga menjadi mahasiswa yang terbaik. Jangan segan-segan minta tolong kalau memerlukan sesuatu. Poko na’ bilang sajalah”. Tawar Lina dengan logat Makassarnya.

” Pergi ka’ dulu nah, ada buku mau ku bacakan Ruslan”.

”Iye makasih”.

Lee bersyukur banyak teman-teman yang memperhatikan dirinya, memberi semangat untuk selalu berjuang menjadi yang terbaik. Lee sadar ketunanetraannya akan menjadi halangan tersendiri  bila sudah aktif di kampus nanti. Namun Lee bertekad akan melalui itu semua . Ini hanya masalah penglihatan. Allah tidak akan meninggalkan hambanya yang selalu meminta pertolongan. Toh….senior-seniornya juga mengalami hal seperti dirinya tapi berhasil juga , malah sekarang ada yang berhasil menjadi salah seorang anggota KOMNAS HAM. Lagian hari-harinya akan lebih bersemangat karena disampingnya  ada Suci.

”Ops, Suci…..?” . Lee kaget sendiri dengan kata hatinya. Tiba-tiba rasa kangen mendera disetiap relung hatinya. ”Ya, aku harus ketemu Suci. Mungkin terlambat mengatakan perasaanku, atau mungkin Suci akan menolak diriku. Tapi setidak-tidaknya semua semakin jelas dan hatiku akan tenang menahan rindu.

            Siang begitu terik, namun hati Lee sangat teduh. Tongkat putihnya diayun kiri kanan menyusuri jalan kecil menuju asrama. Dengan tongkat ini, mobilitasnya sangat terbantu.  Karena tidak mungkin sepanjang hidupnya didampingi seorang mitra untuk mengantarnya kemana-mana. Karena mitra-mitra tersebut juga manusia, punya kesibukan tersendiri. Memang dalam waktu – waktu tertentu, dia harus ditemani, didampingi oleh orang awas, namun sebisa mungkin Lee melakukan aktifitasnya  secara mandiri. Bagi Lee, dia harus bangkit menjadi yang terbaik, sudah waktunya untuk mandiri. Membuktikan pada diri sendiri dan pada dunia, bahwa tunanetra yang disandangnya, bukan suatu penghalang untuk meraih kesuksesan.

            Hati Lee kebat kebit tidak karuan. Makanan didepannya hanya disentuh sesendok. Lee tidak berselera melanjutkan makan siangnya. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berdesir aneh, rasa bahagia.  Lee menekan tombol kecil disudut jam talking yang ada dipergelangan tangan kirinya. Terdengar suara yang menunjukkan pukul 14.37. Itu berarti dua jam lagi dari sekarang Suci akan datang . Pagi tadi dikampus, Lee janjian ketemu Suci di asrama ini. Lee bertekad akan menyatakan perasaannya. Sebetulnya disudut hati yang lain, Lee ragu. Apa benar Suci juga punya perasaan yang sama dengannya. Berlahan-lahan Lee menepis keraguannya tersebut.

”Tidak, aku tidak bisa menundanya. Aku menyukai Suci. Aku harus mengatakannya sekarang. Mungkin terlambat atau mungkin saya ditolak. Namun setidak-tidaknya perasaanku ini ada kepastiannya”.  Berkecamuk bathin Lee. 

            Lee asyik  mendengarkan e-book (elektronik book) Hary Potter ketika Suci memasuki ruang komputer.

”Siapa itu?”. Dengan langkah-langkah kaki Suci, Lee tahu bahwa yang baru masuk itu pasti Suci. Cewek yang membuat hari-harinya semakin berwarna.

”Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.

” Waalaikum  Salam  Warahmatullahi Wabarakatuh”.

” Kak, katanya ada yang ingin disampaikan ?” Tanya Suci sambil menarik kursi dan duduk di belakang Lee. Lee mematikan komputer. Lalu membalikkan badan kearah Suci, memperbaiki duduknya. Hatinya kembali berdesir aneh. Lee tersenyum manis kearah Suci. Suci membalasnya. Walau Lee tidak melihat senyum gadis didepannya namun kepekaannya sangat luar biasa.

”Suci….., saya minta maaf memaggilmu kemari. Memang ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu”. Lee diam sejenak menyusun kata-kata yang tepat, agar tidak menyinggung perasaan Suci dan maksud hatinya juga kesampaian.  Suci menahan napas dibuatnya. Hati kewanitaanya merasa apa yang akan disampaikan Lee, itu juga yang ada dihatinya. Namun Suci  menunggu pernyataan itu keluar dari bibir Lee sendiri.

 ” Ayo dong  kak, lama sekali lamunannya. Buruan neh” . Desak Suci dalam hati. Penasaran melihat sikap Lee.

” Aku juga punya perasaan yang sama dengan kakak  kok”. Bisik Suci lagi.

”Suci…..saya me……………”.

”Suci ….. hai….lho kok masih disini. Katanya mau menemani saya nonton. Kata mamamu kamu keasrama, jadi saya susul kesini. Aku sudah izin sama macemu. Kita nonton di TO ya. Ayo dong buruan ”. Tiba – tiba Hanung nyelong masuk keruang komputer.

” Hai ..Lee, apa kabar?” Hanung beralih kearah Lee,  meraih tangan kanan Lee menjabat erat. Hanung salah seorang mitra bakti yang baru saja bergabung di yayasan ini.

” Alhamdulillah baik. Kak Hanung baik juga”. Lee sangat dongkol dengan kehadiran Hanung yang secara tiba-tiba. Apalagi dengan ajakan Hanung. Mereka sudah janjian nonton rupanya. Hati Lee sakit. Tapi Lee mencoba tersenyum tulus. Nampak Suci serba salah. Wajahnya merah menahan marah.

’Siapa yang janjian nonton”. Gerutu Suci dalam hati.

” Kak Lee ta……”

” La….ok besok saja ya , tugas bahasa inggris saya ditulis . Ini bukunya. Makasih sebelumnya. Selamat bersenang-senang”. Potong Lee sambil menyerahkan buku tulis ketangan Suci. Lee beranjak pergi setelah pamit pada Hanung. Hancur hati Lee.

”Bodohnya diriku ini. Semestinya dari awal aku tahu, Hanung juga punya rasa terhadap Suci. Saya memang tidak pantas kok”. Lee berjalan gontai  menuju lantai dua, kekamarnya.

” Pasti Suci lebih memilih Hanung dari pada diriku yang tidak bisa melihat. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang tunanetra sepertiku”. Resah Lee dalam hati. 

Masih ditempat duduknya, Suci hanya memandang buku Lee. Hatinya kacau, kecewa, sakit hati. Pingin nangis sejadi-jadinya tapi malu dengan penghuni asrama ini. Tak dihiraukannnya desakan Hanung untuk segera beranjak dari tempat duduknya .

”Ah…. semestinya saya tahu, perasaan Lee cuma sebatas minta tolong dibacakan buku. Tidak lebih. Apalah saya ini, masih SMA. Tentu cewek-cewek dikampusnya banyak yang cantik dan lebih cerdas dariku. Lebih loyal untuk membantunya”.

”Ayo dong buruan, sudah jam setengah lima”. Desak Hanung lagi.

Perlahan Suci beranjak dari tempat duduknya, mengikuti langkah Hanung.  wajahnya masih muram. Berat sekali kakinya untuk melangkah. Ketika melewati asrama, kepala Suci mendongak kearah kamar Lee berharap ada bayangan Lee atau terdengar suara Lee. Namun hatinya kecewa. Ada sepotong hatinya tertinggal diasrama. Suci menarik napas panjang mengeluarkan sesak didadanya.

            Lee duduk diujung tempat tidurnya. Sepotong hatinya terbawa langkah kaki Suci. Berkali-kali Lee manarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ada air bening jatuh disudut mata Lee. Lee tidak menyekanya, membiarkan air matanya jatuh menyentuh lantai.

”Aku harus tegar, rasa ini hanya sedikit dari cobaan yang harus kuhadapi untuk meraih masa depan yang lebih cerah”. Bisiknya mencoba menghibur diri. Diingatnya semua bacaan dari pakar motivasi.

”Ya…! Aku harus bangkit. Mungkin belum waktunya merasakan hal seperti ini. Akan tiba saatnya. Yang penting aku harus semangat menyelesaikan kuliah. Menyusun semua target hidupku. Membuat bangga komunitas dan tentu saja kedua orang tua dan adikku”.

Senyum Lee kembali berkembang, manis dan tulus.

”Bantu aku ya Allah”.  Doanya dalam hati.

Lamat-lamat terdengar lagu Naff ”kesempurnaan cinta”   

Kau begitu berarti, sungguh sangat berarti

Kesempurnaan cinta kau beri…….

Aku menyayangimu dalam senyum dan tangisku

Dan aku mencintaimu dalam hidup dan matiku…

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Muhammad Firman

Seorang tunanetra sal Makassar

1 komentar

  1. Endingnya kusuka 🙂 Hmm, aku baru merasakan perasaan sebagai orang tua ketika aku sudah mempunyai anak. Mungkin, dengan ketunanetraanku aku tak terlalu terpukul, karena aku menyandang tunanetra sejak usia relatif masih kecil, 11 tahun. Tapi saat ini, aku membayangkan bagaimana perasaan orangtuaku waktu itu? mungkin sama dengan perasaan orang tua li, atau mungkin lebih parah.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *