Ketika Anak Rela Menyakiti

Jakarta – Dalam teori tabularasa, Jhon Locke mengibaratkan manusia yang baru lahir layaknya selembar kertas putih, bagaimana nantinya manusia tersebut tergantung pada apa yang orang-orang terdekat dan lingkungannya torehkan.  Sama halnya dengan seorang anak, ia tumbuh sesuai atau bahkan sama persis, meneladani yang terjadi di sekelilingnya. Berdasarkan teori ini menjadi penting bagaimana pola asuh yang dilakukan, khususnya orang tua, terhadap anak.


 


Kita pastinya miris melihat  anak yang lulus sekolah dasar saja belum gemar berbicara kotor, atau menindas teman sebaya dengan ekspresi menikmati. Yang lebih besar pun tidak jauh lebih baik, bukannya sibuk menyiapkan masa depan dengan belajar serius, mereka malah sibuk tawuran disana-sini, petantang-petenteng merasa jagoan. Hal tersebut fenomena di negeri kita, mungkin saja ini hasil dari tidak tepatnya pendidikan yang dilakukan di rumah oleh orang tua maupun di sekolah oleh guru.


 


Sebuah kasus yang belum hilang dari ingatan, penusukan keji yang dilakukan seorang anak SD terhadap teman sekolah yang juga tetangganya. Kronologi kasus ini banyak terdapat di media. Si anak SD, sebut saja dia AMN, mencuri HP milik teman sekolahnya, Syaiful Munif. Orang tua Syaiful Munif adalah tunanetra, AMN memanfaatkan kondisi ini dengan diam-diam mengambil HP syaiful munif di kediamannya saat  Ibu Syaiful Munif sedang di dapur. Namun Syaiful Munif mengetahui kejadian ini dan HP tersebut gagal dicuri. Di lain kesempatan, Syaiful Munif dan AMN berangkat sekolah bersama. AMN telah merencanakan hal ini kemudian menusuk Syaiful munif delapan kali dan meninggalkannya bersimbah darah di pinggir jalan.


 


Ini tentu saja kejadian luar biasa menyedihkan, seorang anak SD, yang bahkan belum aqil baligh, hampir saja jadi pembunuh sekaligus pencuri. Kita patut mempertanyakan bagaimana anak ini dididik sehingga bisa sampai melakukan tindak kriminal tersebut. Dalam sebuah berita dikatakan AMN telah menjalani tes psikologi dan terdapat indikasi bahwa ia dididik dengan kekerasan oleh orang terdekatnya. Disana di jelaskan bahwa AMN merupakan koban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Orang tuanya yang kemudian bercerai sehingga ia tinggal bersama kakaknya yang bekerja sebagai satpam.


 


Seorang anak yang terbiasa diperlakukan kasar dan kebutuhannya tidak terpenuhi baik secara materiil maupun non materiil akan menjadi seorang anak yang tak segan melakukan tindakan kejahatan dan mencari perhatian dengan menyakiti karena tidak merasa dicintai. Percobaan pencurian yang dilakukan AMN dapat diartikan sebagai kebutuhan materiil yang tidak tercukupi, dan percobaan pembunuhan dengan menusuk temannya sebagai sikap menghindari konsekuensi karena ia telah ketahuan melakukan tindakan pencurian. Bagi AMN, menusuk Syaiful Munif adalah penyelesaian dari rasa malunya yang tertangkap basah mencuri.


 


AMN yang diperlakukan kasar oleh orang terdekatnya, tidak mengenal  bagaimana menghargai dan menghormati sesama, terbukti dengan perilakunya yang sengaja mencuri karena memanfaatkan kebutaan yang dialami oleh orang tua Syaiful Munif. Perilaku diskriminasi AMN ini harusnya dapat membuat kita berkaca, apakah kita sudah menanamkan nilai-nilai moral yang baik bagi orang-orang di sekitar kita dan telah cukup memberikan hak, baik secara materiil dan non materiil.


 


Saya mungkin belum pernah jadi orang tua, tapi satu hal yang saya percayai. Ketika anda mendidik anak dengan kekerasan, anda sedang menempa anak tersebut menjadi monster. Anak seperti AMN bukan satu, mereka adalah korban kegagalan pendidikan yang dilakukan orang dewasa di sekitar mereka. Penjara mungkin bukan satu-satunya jalan keluar untuk perilaku AMN, menurut saya AMN lebih membutuhkan orang-orang dewasa yang sanggup mendidiknya dengan baik dan memberikan dia kebutuhan akan kasih sayang.


 


Apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, anak adalah bagaimana orang tuanya. Jika anda seorang pendidik, baik orang tua, guru, kakak, mapun kerabat terdekat, mulai sekarang berhati-hatilah memberikan contoh, berusahalah menjadi orang dewasa yang mengayomi dan bijaksana. Luka dikulit dapat hilang, tetapi ketika anda menyakiti seseorang pada hatinya, ia tak akan pernah lekang.(Isti)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Putri Priyatna

Staf redaksi Kartunet.com (2012)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *