Laras Sang Embun Hitam

“Ratna pergi sekolah ya, Bu” teriak Ratna, lalu menghampiri Ibu dan Ayahnya dan mencium kedua tangan orang tuanya, dengan terburu-buru Ratna langsung menuju mobilnya, yang sudah ditunggu Pak Eman. Itulah kebiasaan sehari-hari Ratna yang sering telat bangun.

 

Ratna adalah putri keturunan keraton, yang berusia 16 tahun, dengan paras yang cantik, berkulit sawo matang, berambut hitam panjang, bermata besar berbinar dan bertubuh cukup tinggi, selain itu Ratna termasuk gadis yang ceria.

 

Tiba di sekolah, pagar sekolah sudah ditutup, dengan muka tergesa-gesa Ratna berusaha memberikan alasan terlambat kepada guru piket, dengan alasan ban mobilnya pecah. Akhirnya Ratna diberi masuk dengan hukuman lari mengitari lapangan sebanyak 3 putaran.

 

“Pagi Hil, Dev” sapa Ratna kepada dua sahabatnya dengan keringat yang mengucur disekitar keningnya,

 

“Pasti kamu dihukum lari lagi sama Bu Retno? Tanya Devi

 

“Untung saja Bu Wanti lagi keluar sebentar” sambar Hilma,

 

“Namanya juga putri raja, jadi datang sekolah semaunya saja” saut Andri, teman sekelas Ratna yang selalu mengusili Ratna. Ratna hanya tersenyum saja menanggapi perkataan teman-temannya.

 

Ratna menjadi anak tunggal yang tinggal bersama Ayah dan Ibunya yang memiliki usaha hotel, tetapi sebenarnya Ratna mempunyai adik yang bernama Laras. Laras sejak lahir dititipkan di rumah neneknya di daerah pegunungan, hal itu membuat Ratna bingung, ditambah lagi Ratna tidak pernah dipertemukan dengan adiknya. Laras selalu bertanya kepada Ayah dan Ibunya, mengapa adiknya tidak tinggal bersama mereka, namun Ayah dan Ibunya tidak pernah memberikan jawaban yang jelas.

 

“Devi, Hilma, nanti pulang sekolah main ke rumah aku ya, biasa pasti Ayah dan Ibuku tidak ada dirumah” ajak Ratna,

 

“Bukannya aku tidak mau, nanti  Kak Putri ajak aku pergi jalan-jalan” Jawab Hilma,

 

“Kalau aku nanti ada sepupu yang mau datang kerumah, besok saja Na?” jawab Devi,

 

“Baiklah kalau kalian tidak bisa” jawab Ratna dengan santai.

 

Siang itu terasa sangat terik dan panas, setelah berpisah dengan teman-temannya Ratna langsung lari ke mobilnya, yang sudah ditunggu oleh supirnya. Setelah menempuh perjalanan pulang selama 30 menit, Ratna langsung lari kedalam rumah, untuk meminum jus jeruk kesukaannya.

 

Langkah Ratna terhenti, belum sampai kulkas yang ia tuju, ia berhenti di ruang tamu, ia melihat sosok gadis berambut hitam pendek sebahu, agak kurus, sedang tersenyum padanya. Dengan muka kaget dan terpaku Ratna menatapi gadis itu, Ayah dan Ibu Ratna datang mengagetkannya.

 

“Ratna, ini Laras adikmu yang Ibu titipkan di rumah nenek, Laras sekarang akan tinggal bersama kita, kamu senang, Nak?” tanya Ibu dengan baju batik berwarna coklat muda dipadu dengan rok formalnya.

 

Ratna tidak menjawab, ia langsung berlari ke kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya dengan kencang. Ibu pun langsung mengejarnya, sedangkan Ayah memeluk Laras yang ketakutan dengan sikap Ratna.

 

Ibu terus mengetuk pintu kamar Ratna, tetapi Ratna tidak menjawab, ia hanya menangis, Ibu pun akhirnya menangis.

 

“Dia bukan adik Ratna, Ratna tidak mungkin punyak adik seperti itu Bu, Ratna tidak mau punya adik seperti dia, Ratna malu Bu” teriak Ratna. Ratna tidak terima adiknya yang penyandang disabilitas Down Syndrome. Ratna merasa malu dengan keadaan itu. Laras tidak tinggal bersama neneknya lagi karena neneknya sudah cukup tua dan tidak bisa merawatnya lagi.

 

“Jaga adikmu baik-baik nak, Ibu dan Ayah ada bisnis dibandung selama 6 hari, setiap pulang sekolah kamu jangan main ya, kamu harus menjaga adikmu” demikian isi sepucuk surat dari Ibu yang membuat Ratna geram.

 

“Aku harus bisa mengeluarkan Laras dari rumah ini” tekadnya dalam hati.

 

“ Na, main kerumah kamu yuk?” tanya Hilma dan Devi,

 

“Maaf ya teman-teman, hari ini aku mau pergi bersama Ayah dan Ibuku” jawab Ratna sinis,

 

“Bukannya Ibu dan Ayahmu tidak pernah dirumah ya jam segini?” sinis Devi kepada Ratna, Ratna hanya terdiam dan kedua temannya berlalu.

 

Sepanjang perjalanan pulang cuaca mendung ditemani dengan supir Ratna yang sudah bekerja lama semenjak Ratna lahir. Ratna termenung memikirkan rencananya mengeluarkan Laras dari rumahnya.

 

“Pak Eman, sudah tau yah, kalau aku punya adik seperti Laras” tanya Ratna dengan marah,

 

“Bapak tidak tau Non Ratna, kan sejak lahir Non Laras langsung dibawa rumah Ibu besar, jadi saya tidak tau sama sekali” jawab Pak Eman dengan gugup,

 

“Pak Eman pasti bohong, Pak Eman kan sudah lama kerja disini” sambung Ratna dengan sinis,

 

“ Benar Non, saya tidak tau apa-apa” jelas Pak Eman.

 

Sesampainya dirumah Ratna menuju kamar Laras, adiknya Ratna yang hanya berumur setahun dibawah Ratna, Ratna mengajak Laras ketaman bermain, Laras yang sikapnya seperti anak kecil itu langsung mau.

 

Taman bermain anak-anak penyandang disabilitas letaknya cukup jauh dari rumah Ratna, taman itu menjadi sasaran utamanya untuk membuang Laras. Di taman itu Laras sesekali diajak main oleh Ratna, Laras sangat gembira, ia tersenyum bahagia, bahkan ia sering memeluk Ratna karena terlalu senang, hal itu terjadi karena Laras selama ini tidak punya teman sama sekali, hanya nenek saja yang menemaninya. Akhirnya, Ratna pura-pura membeli minum, Laras pun hanya tersenyum saja.

 

Malam pun tiba, dibalut dengan udara yang dingin dan butiran air gerimis, Laras terus menunggu sampai tidak ada orang lagi, rautnya sangat ketakutan dan akhirnya ia berlari sangat kencang dan menabrak Dion yang sedang mendorong motornya yang mogok, Dion adalah tetangga Ratna yang sudah lama ia suka. Dion langsung mengantarkan Laras ke rumah Ratna, karena Dion tadi sempat melihat Ratna-lah yang berjalan bersama Laras.

 

Bel ditekan sampai 3 kali, baru lah Ratna membukakan pintu dengan muka marah, melihat Dion membawa Laras pulang kerumah, Ratna langsung malu ketika tahu, bahwa Dion tahu kalau Ratna punya adik seperti Laras. Ratna langsung menarik Laras kedalam dan menjelaskan kepada Dion kalau Laras itu hanya pembantunya.

 

”Mungkin rencana ini belum berhasil, masih ada jalan lain” dalam hati Ratna berbicara dan tersenyum sinis.

 

Laras menangis ketakutan di dalam kamar, pembantu Ratna menemaninya, tetapi diusir oleh Ratna, parahnya Ratna mengurung Laras dikamar mandi dengan lampu dipadamkan, Laras hanyak bisa teriak-teriak ketakutan sampai pingsan, hal itu terus dilakukan Ratna selama 3 hari belakangan ini.

 

Sampai pada akhirnya Laras pingsan lama sekali dan dibawa kerumah sakit, terakhir Ratna mengurung Laras digudang selama seharian dari pergi sekolah sampai malam, karena ia lupa membukakannya, sepulang sekolah ia langsung tidur dan malamnya baru ingat, pembantunya pun tidak ada yang tahu karena tidak ada terikan Laras, dipikirnya pasti sudah dibukakan Ratna.

 

Orang tua Ratna langsung pulang ketika mendengar kabar itu, meskipun pekerjaan mereka di luar kota belum selesai. Mendengar cerita pembantunya tentang perlakuan Ratna kepada Laras yang sudah diluar batas, Ratna dimarahi dan dihukum tidak boleh keluar kamar.

 

Dokter yang menangani Laras keluar dari ruang ICU, memberi kabar buruk, bahwa nyawa Laras tidak bisa diselamatkan lagi, Laras sudah meninggal. Ibu dan Ayah memeluk jenazah Laras dan meneteskan air mata yang teramat dalam, bahkan Ibu sempat pingsan. Ayah memberi kabar kepada Ratna, Ratna pun melamun kaget dan menitihkan air mata.

 

Didepan jenazah Laras, Ratna terus mengeluarkan air mata, terkenang kenangan bermain ditaman bersama Laras, perasaan bersalah yang amat besar kepada adiknya yang dulu dianggap sebagai embun hitam yang merusak kehidupannya, padahal Laras adalah sosok gadis yang cerdas dan memiliki banyak bakat seperti bermain piano dan menulis puisi, tetapi penyesalan yang sudah tidak berarti lagi, bahkan Ibu pun sampai saat ini belum mau menyapa Ratna untuk menghukumnya atas perbuatan yang sangat tidak terpuji. 

Editor: Putri Istiqomah priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *