Layanan Diskriminatif Maskapai Garuda

Saya ingin menceritakan pengalaman buruk dengan layanan maskapai Garuda, meski saya sudah menjadi pelanggannya sejak tahun 2005 terutama untuk perjalanan dinas. Saya kira peristiwa kemarin dengan GA 205 sudah tidak bisa dibiarkan berulang. Karena selain saya, sudah banyak teman-teman dengan disabilitas menjadi korban layanan diskriminatif maskapai Garuda Indonesia.

1. Tanggal 25 September 2011, penerbangan Cengkareng – Makassar, GA610, Class Y, Seat 9D, boarding pukul 14:00

Dua hari sebelum keberangkatan (tanggal 23 September), saya menelpon Garuda online memesan tempat duduk di baris paling depan. Pihak Garuda mengatakan bahwa itu bisa dilakukan pada saat check in. Saya meminta duduk di barisan paling depan untuk alasan memudahkan dan kenyamanan kaki sebelah kiri saya yang tidak sampai ke lantai. Jika saya duduk selain di baris pertama, kaki saya selalu tersandung oleh anggota badan penumpang lainnya yang membuat saya sangat tidak nyaman.

Pada saat check in (tanggal 25 September 2011), saya meminta duduk di baris paling depan kepada petugasnya (sayangnya saya lupa menuliskan namanya). Namun dengan nada dan layanan yang sangat ketus, dia tidak memberikan permintaan saya. Lalu, saya dimintanya untuk menunggu didepan meja Help Desk karena saya penumpang pengguna kursi roda. Di depan meja help desk saya dibiarkan lebih dari 30 menit, sementara beberapa petugas diantaranya malah asik bergurau dan bermain Blackberry. Saya bertanya ‘kapan akan dilayani?’ lalu petugas hanya mengatakan ‘tunggu ya Bu, kami sedang sibuk.’ Lalu saya pun protes karena sudah terlalu lama menunggu tetapi diacuhkan sementara para pegawainya malah tetap asik bergurau dan sibuk dengan Blackberrynya. Akhirnya ada satu orang petugas yang menyodorkan surat yang harus saya tandatangani. Surat itu adalah surat keterangan penumpang sakit, dimana salah satu klausulnya adalah maskapai Garuda tidak bertanggung jawab atas kejadian apapun, implikasinya adalah tidak dilindungi oleh asuransi. Surat itu harus ditandatangani 4 rangkap berikut materai Rp 6.000 tetapi harus dibayar Rp 10.000. Saya tidak pernah mau menandatangani surat tersebut. Penolakan saya mulai dari penyampaian secara halus, namun petugas tetap bersikukuh sampai mengancam saya tidak akan diizinkan untuk berangkat dengan maskapai Garuda. Saya sangat marah ketika itu, akhirnya saya pun menelpon rekan di Komnas HAM dan organisasi penyandang disabilitas lainnya. Mereka menguatkan bahwa isi surat tersebut adalah diskriminatif. Semua penumpang penyandang disabilitas tidak diharuskan untuk menandatangani surat diskriminatif tersebut.

Akhirnya saya dibolehkan untuk berangkat tetapi perlakuan para petugas itu sangat tidak ramah.

2. Tanggal 28 Oktober 2011, penerbangan Jogja – Cengkareng, GA217, Boarding 19:40, class Y, seat 5D

Saya telah diabaikan oleh awak kapal saat itu. Saya menunggu kursi roda saya yang tidak ada di depan pintu pesawat. Sebagai penerbangan malam dari Jogja, mendarat di Cengkareng tidak ada Garda Barata. Semua awak pesawat tak acuh lewat, sementara saya yang saat itu sudah menunggu kursi roda lebih dari 15 menit setelah semua penumpang turun dan pergi menumpangi bis transit bandara.

3. Tanggal 24 Mei 2012, penerbangan Jogja – Cengkareng, GA0213, Class Y, Seat 5E, boarding pukul 15:15

Ketika saya check in di Jogjakarta, petugas counter saya anggap sudah mulai mengerti karena dia tidak meminta saya untuk menandatangani surat sakit. Dia bertanya apakah ada barang yang akan dimasukkan dalam bagasi yang kebetulan saat itu tidak saya bawa. Petugas memberi tag number untuk kursi roda pribadi saya. Saya sudah meminta kepada petugas tersebut untuk memastikan kursi roda pribadi saya gunakan sampai depan pintu pesawat, juga ketika sampai di Cengkareng. Petugas check in tersebut menjanjikan untuk mengirim telex kepada cabin crew. Selain itu kursi roda saya diberi 2 tags khusus yaitu ‘priority’ dan ‘executive class’ untuk memastikannya. Koordinasi oleh ground staff cukup lancar sampai dengan boarding.

Setelah duduk di kursi pesawat, saya kembali mengingatkan pada seorang pramugari yang saat itu bertugas (lagi lagi saya lupa untuk mengingat namanya). Saya berkata “Tolong kursi roda pribadi saya siap didepan pintu pesawat ketika sudah mendarat”. Pramugari itu hanya berkata “ Saya akan informasikan”, yang ternyata dia menginformasikan kepada ketua regu flight attendants. Saya mendengar apa yang diucapkan oleh kepala regu itu “Terserah nanti pesawat parkirnya dimana, jika ada gardabarata mungkin bisa. Tetapi jika tidak, maka akan disiapkan mobil kecil”. Ucapan seperti itu sudah satu bentuk pelecehan verbal. Saat itu saya sudah merasa tersinggung. Dia menganggap kursi roda saya hanyalah barang pada umumnya. Padahal bagi saya, kursi roda yang saya gunakan adalah bagian dari anggota tubuh saya, bagian dari kaki saya dimana mobilitas saya sangat tergantung pada kursi roda ini.

Ketika pesawat mendarat di Cengkareng, seluruh penumpang sudah turun, tidak satupun pramugari yang meberi informasi pada saya apakah kursi roda saya sudah siap atau belum. Bahkan cabin crew  sudah bersiap dengan barang bawaannya untuk meninggalkan pesawat. Saya berujar “Saya masih disini, tolong ambilkan tas saya yang masih diatas, bagaimana dengan kursi roda saya?”. Sang kepala regu memerintahkan salah satu pramugarinya untuk mengambilkan tas saya. Lalu pramugari lainnya mengatakan bahwa kursi rodanya sudah ada. “Apakah itu kursi roda saya?” jawabannya “Saya tidak tahu, tapi ini sudah ada kursi rodanya”. Akhirnya saya keluar, betapa kecewanya yang disiapkan ternyata kursi roda maskapai yang kondisinya sudah sangat tidak layak. Saya sempat protes “Mengapa bukan kursi roda pribadi saya? Mana kursi roda saya?” Petugas ground mengatakan “Kursi roda ibu ada di bagasi”. “Lho kenapa di bagasi, bukankah saya sudah minta berkali kali agar kursi roda saya siap didepan pintu pesawat?’ kembali saya dikecewakan oleh Ketua regu yang berkata “Aturannya tidak boleh bu”. Mendengar itu, saya kembali telah dilecehkan oleh perlakuan sang Kepala Regu. Saya menanyakan “Aturan darimana? Bagaimana jika kaki anda yang diperlakukan seperti ini?” Dia malah berbalik tidak sopan dengan bahasa tubuh dan gerakan tangan yang seolah mengusir saya sambil berkata “Silahkan ibu complain ke Garuda”. Lho, bukankah anda dari Garuda?

Saya mengalah dengan menggunakan kursi roda tidak layak pakai. Petugas ground yang saat itu memberi asistensi mengatakan bahwa lift tidak bisa digunakan karena sedang renovasi. Saya dibawa keluar melewati pintu keberangkatan dan kembali ke pintu kedatangan tetapi dari arah berlawanan. Sesampainya didepan baggage claim, kursi roda saya ada didepan counter executive baggage. Setelah saya periksa, rem sebelah kiri saya bengkok! Ring salah satu roda besar saya juga banyak cacat goresan!

Saya membuat complain mengenai perlakuan kepala regu dan kerusakan kursi roda saya. Saya meminta untuk direspon oleh Garuda tidak melebihi dari 24jam. Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17:30, padahal pesawat landed pada pukul 16:40. Para petugas di counter claim tidak dapat menjajikan apapun.

4. Jumat, tanggal 25 Mei 2012 pukul 14:06, saya ditelepon suami yang mengatakan bahwa ada petugas dari Garuda yang akan reparasi kursi roda. Petugas itu datang sendiri menggunakan motor, begitu penjelasannya. Lalu saya berbicara langsung dengan petugas/teknisi dari Garuda tersebut lewat handphone suami saya. Cara bicara petugas itu sangat tidak sopan seperti “halo bu saya teknisi dari Garuda mau betulkan wheelchair ibu, kapan ibu tidak pakai wheelchairnya supaya bisa saya bawa untuk reparasi?” jawaban saya saat itu adalah “mas, saya itu pengguna kursi roda, saya berjalan memakai kursi roda, jika mas mau bawa kursi roda saya lalu saya berjalan dan mobilitas saya pake apa? Kursi roda itu kaki saya mas, bukan barang yang bisa seenaknya dibongkar pasang.” Petugas tersebut balik bertanya “terus ibu maunya apa, solusinya gimana?” Saya menjawab “Saya mau Garuda bertanggung jawab dengan mengembalikan kondisi kursi roda saya, mas datang saja ke kantor saya untuk temui saya lihat kondisinya, jika mas sudah siap dengan tools nya mungkin bisa dibetulkan di kantor saya”. Petugas itu kembali menyela “saya bukan teknisi wheelchair bu, saya teknisi koper”. Saya berkata “Lho, bagaimana ini, yang rusak kursi roda tetapi mengapa dikirim teknisi koper? Mas temui saya aja dulu di kantor, saya tunggu ya, alamatnya sudah saya SMS via handphone suami saya ini”.

Pukul 15:00 petugas yang mengaku teknisi dari Garuda itu datang ke kantor menemui saya atas permintaan saya. Petugas yang datang ternyata sangat jauh dari dugaan saya bahwa petugas dari Garuda ini adalah orang yang berpenampilan sopan, rapi, bersih, dan berkata santun layaknya melayani pelanggan. Petugas yang datang hanya menggunakan kaos oblong lusuh, celana jeans lusuh dan sobek, beralas sandal, tidak mengenalkan diri, langsung berkata “Mana yang rusak bu?” saya menunjukan bagian kursi roda yang rusak padanya. Kembali dengan nada yang tidak sopan, petugas itu berkata “ini sih gampang aja bu, saya copot biar saya bawa kesana cuman kaya gini doang”. Saya berkata “Mas, berapa kali saya bilang bahwa ini adalah bagian dari kaki saya, mana mungkin mas bisa seenaknya mengambil bagian ini begitu saja, kalau rem ini dilepas satu bahaya untuk saya.” Perdebatan antara saya dan petugas itu memuncak, sehingga dia berkata “Saya bukan orang Garuda, saya teknisi koper yang dikirim oleh Garuda di bandara Cengkareng”. Mendengar itu saya memintanya kembali untuk menyampaikan pesan bahwa yang diperlukan adalah teknisi wheelchair bukan teknisi koper.

Pukul 15:36 saya menelpon claim counter bandara Cengkareng, saya berbicara dengan petugas claim yang bernama Anna. Saya melaporkan kejadian dengan petugas teknisi Garuda yang baru saja terjadi. Anna meminta saya untuk berbicara langsung dengan supervisornya saat itu. Dia meminta saya untuk memutus telpon saya dulu dan dia akan telepon balik pada saya. Anna berjanji akan menghubungi saya kembali untuk berbicara dengan supervisornya.

Sampai dengan hari Selasa tanggal 29 Mei 2012 pukul 14:30 ini saya tidak pernah dihubungi oleh pihak Garuda.

5. Tanggal 9 Maret 2013, saya sebagai penumpang GA 205 dari Jogja ke Jakarta, duduk di kursi 5B. Saat check in tidak diminta untuk menandatangin Surat Pernyataan Sakit dan membuat saya senang, setidaknya sudah berpikir positif dengan perubahan ini. Ternyata hal itu tidak benar, sebelum boarding tetap diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan Sakit tersebut. Saya sudah capek berdebat soal Surat Pernyataan tersebut. Beberapa perjalanan terakhir saya, saya ‘sedikit’ mengalah tetapi dengan mencantumkan note “MY OWN WHEELCHAIR MUST BE READY IN THE FRONT OF CABIN’S DOOR, ON ARRIVAL TIME. DO NOT USE AIRPORT WHEELCHAIR” dan saya ‘asal’ paraf surat tersebut. Harapannya adalah memastikan kursi roda saya siap didepan pintu pesawat dan siap digunakan saya. Karena peraturan dalam surat tersebut sangat diskriminatif dan diberlakukan kepada semua penumpang dengan disabilitas.

 GA 205 landed di Bandara Soekarno Hatta tepat waktu yaitu pukul 11:00. Seperti biasa, penumpang dengan disabilitas diminta untuk turun setelah semua penumpang keluar. Ternyata, kursi roda saya tidak ada didepan pintu. Bahkan saat itu ada beberapa penumpang orang tua yang membutuhkan kursi roda, tetapi yang disediakan hanya 2 kursi roda dengan kondisi yang sudah tidak layak pakai. Saya menunggu kursi roda hampir 30 menit lamanya didalam kabin. Tidak seperti biasa, pilot beserta kru sangat bijak menemani dan bercengkerama sambil menunggu kursi roda. Rupanya sang kapten pilot punya pengalaman ‘ditegur’ oleh kerabatnya terkait lambannya pelayanan Ground handling maskapai Garuda.

 Pukul 11:45 kursi roda saya baru diantar ke dalam kabin pesawat. Karena sudah lelah menunggu dan situasi layanan yang selalu berulang di hampir setiap perjalanan, saya tidak sempat memeriksa kondisi kursi roda. Saya langsung diantar ground staff sampai pangkalan taxi. Ternyata setelah duduk tenang didalam taxi, bagian kursi roda yang saya simpan dikursi samping saya, ternyata kondisinya banyak kerusakan. Bagian yang parah adalah footrest, kondisi retak, tali pengikat merah putus, plat baja keluar, baut melonggar. Selain itu, lecet lecet di sekitar ring wheel dan penyangga footrest. Melihat itu saya sangat lemas, kesal, marah dan sedih. Saat itu saya menelpon suami dan rekan saya serta menceritakan pengalaman buruk yang baru dialami.

Kali ini saya sangat enggan untuk melapor ke lewat customer service GARUDA meski saya sempat post di twitternya. Karena pengalaman buruk yang sama pernah saya alami di bulan Mei 2012. Dimana saat itu, saya langsung lapor pada bagian klaim maskapai GARUDA yang ada di bandara tetapi tidak ada penyelesaian hingga saat ini. Kronologis peristiwa bulan Mei akan saya susulkan setelah email ini.

Teman-teman, rasanya kali ini saya tidak dapat membiarkan lagi ulah maskapai GARUDA, apapun itu. Yang paling sering dialami adalah ground handlingnya yang sangat buruk. Hal ini juga banyak terjadi pada teman teman selaku penumpang dengan disabilitas. Melapor pada KOMNASHAM? Terus terang saya sedikit ragu dengan hal itu, mengingat kondisi KOMNASHAM sekarang yang seperti kita ketahui bersama.

Teman-teman, sepertinya kita perlu lebih erat bergandengan tangan untuk menghadapi persoalan ini. Kejadian buruk tidak hanya di bandara Soekarno Hatta, di Denpasar lebih tidak manusiawi lagi. Kalo saya harus ceritakan semua perjalanan dengan maskapai Garuda ini mungkin bisa sampai berlembar lembar, karena setiap perjalanan dengan maskapai Garuda selalu ada cerita. Belum lagi kalo kita bicara dengan inaccessible boarding seperti harus naik atau turun tangga, sangat miris jika melihat penumpang yang harus digendong itupun dengan cara yang salah, sangat tidak menghormati kaidah privasi bagi perempuan.

 

Salam hangat,

 Cucu Saidah

Coordinator Disability Rights Australia Indonesia Partnership for Justice
Level 17, International Financial Centre (IFC)
Jl. Jenderal Sudirman, Kav. 22-23 Jakarta 12920
Tel: +62 21 571 0199 | Fax: +62 21 571 0221 | Mob: +62 812 248 930 1

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *