Suara-Suara

Malam belum menuai lapuknya ketika pria tengah baya itu mematikan lampu teplok di atas meja. Dalam gelap, ia membuka satu bagian gentengnya sambil berdiri di meja. Harga minyak mahal, jadi harus diminimalisir penggunaannya. Ia tak tahu bahwa di bagian dunia lain, minyak bahkan menimbulkan sengketa dan perang berkepanjangan.

Papan lapuk berkaki bambu yang aus termakan cuaca itu adalah satu-satunya meja di ruang tamu gubuk renta tersebut. Sebuah peti kayu terletak di pojok ruangan, pada bagian bawahnya berlubang digerogoti rayap. Tidak jelas apa fungsinya, tapi ke-sepuluh anaknya biasa rebutan untuk bisa duduk di peti tersebut sepulang bermain atau membantunya menyabit rumput untuk ternak tetangga. Sebuah bilik sempit terletak agak ke belakang, dindingnya sudah berlubang sebesar tempayan sehingga angin menerobos masuk melalui celah-celahnya. Pintunya yang reyot berbatasan langsung dengan dapur berisi tungku tanah liat dan perkakas dari gerabah, hanya sedikit terdapat peralatan alumunium.

Gubuk itu terlalu kecil untuk meniup nyawa duabelas penghuninya. Bapak, emak dan sepuluh anak-anaknya. Paceklik terlalu lama bertahan di kampung kecil itu. Membawa duka dan nestapa bagi penghuninya yang tak kenal belasungkawa. Bagi mereka, ternak bisa minum di sungai yang nyaris kering dan makan rumput layu sisa kemarin adalah kebahagiaan, menanak segenggam beras dicampur gaplek adalah kebahagiaan, anak-anak pulas meski tidak kenyang mendapat jatah makan pun kebahagiaan.

Tapi tidak untuk keluarga di ujung kampung itu. Hari ini si bungsu tak kebagian jatah makan. Badannya yang paling kecil dan tipis merangsek di antara abang-abangnya yang sedang berebut grontol jagung dan keladi rebus. Tak ada beras. Beras sudah dikirim ke kota musim lalu dan kemarau panjang tak mampu menumbuhkan benih yang hanya ditanam petani setahun sekali itu. Pada musim seperti ini, hanya ketela pohon yang berhasil tumbuh di ladang dekat hutan, itu pun kalau tidak didahului celeng atau babi hutan dan pencuri. Kelaparan kadang membuat orang bertindak seperti celeng. Keterpaksaan karena keadaan menjadikan mereka nekad, mati rasa, tak peduli dicerca dan dimaki.

Sore tadi, bapak tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak bicara tentang umbi keladi di kebun abah Asep yang digalinya sepulang mencari kayu bakar di hutan, ia tidak bicara tentang dua tetangganya yang mempergoki ketika ia sedang memotong kuncup pisang di tegalan mereka, ia bahkan tidak bicara tentang ancaman orang-orang kampung lain yang hasil kebunnya mendadak raib entah kemana.

Emak membuka kelambu di bilik belakang setelah memastikan anak-anaknya terlelap. Bau apek bantal yang kapuknya menyeruak keluar berbaur dengan asap jelaga sisa pembakaran klaras dan kulit jagung, cara praktis mengusir nyamuk. Ia menuju ruang tamu dimana bapak selesai mengganti lampu minyak dengan cahaya keperakan yang lebih alami. Di langit, bulan bertengger seperti bidadari merindukan pangeran, sinarnya menerobos melalui genteng yang terbuka dan lubang-lubang lain yang lupa ditambal. Asap tungku memberi kesan aneh di ruangan itu, abu-abu, hitam, mengalir membelesak tertimpa cahaya bulan. Derik jangkrik, desau angin, kepak sayap kalong dan cericit tikus di langit-langit gubuk membaur dan mengabur menjadi harmoni yang setiap hari mereka nikmati. Hidup dalam kegelapan sudah biasa bagi keduanya.

Terdengar teretak suara kambing membuang kotoran di kandang tetangga belakang rumah. Satu-satunya tetangga yang paling dekat dengan mereka di dekat bantaran sungai itu.

“Jagung dan gaplek mulai menipis, besok anak-anak kubuatkan biji nangka rebus saja untuk sarapan, sulung dan adik-adiknya harus menyabit rumput pagi-pagi sekali, keburu didahului orang. Sekarang yang kerja mencari rumput bukan cuma mereka.” Ujar emak seolah sedang bergumam. Bapak diam.

“Aku masih punya simpanan kepala ikan asin sisa kenduri pak lurah dua hari lalu. Aku tahu kau belum makan dari pagi.” Ia melanjutkan

“Anak-anak sudah pulas, tidak baik menahan perut kosong.” Mata bapak pedih sekali. Entah karena asap jelaga atau karena ada sesuatu yang mengiris-iris hatinya.

Sangat tidak pantas makan diam-diam sementara anak-anaknya terlelap sambil berharap besok mendapat jatah lebih banyak. Malam itu juga, bapak dan emak menanak gaplek dua genggam dan membakar sepotong kepala ikan asin. Mereka makan dalam kegelapan, dalam kebisuan, dalam rintihan batin yang mengoyak segenap harapan. Hidup harus disambung.

Ah, seandainya semudah itu. Seandainya bau kepala ikan itu tak membangkitkan selera makan. Seandainya bau kepala ikan itu tak terbawa angin menyelusup melalui celah-celah pintunya yang reyot. Seandainya bau kepala ikan itu tak membuat si bungsu terbangun karena perutnya yang melilit. Lapar selalu membuat orang lupa akan kenikmatan tidur.

Dengan tertahan, hidungnya yang mungil mengendus-endus udara di sekitarnya seperti singa kelaparan mencium bau mangsa. Ia membangunkan abang-abangnya. Mereka terjaga begitu mencium bau yang sangat menggoda. Salah satunya memberanikan diri mengintip. Berjingkat. Sangat pelan, membaur dengan suara angin.

Di dapur dekat tungku, dalam keremangan bara api, ia melihat bapak dan emak mengais-ngais daun keladi yang telah kosong. Tak bersisa. Seolah itu adalah makanan terakhir mereka. Hati anak-anak itu hancur. Orangtuanya menyembunyikan sesuatu dari mereka. Tidak tega melihat si bungsu yang terus mengeluh lapar, mereka akhirnya memutuskan sesuatu. Orangtuanya bertindak diam-diam, mereka juga. Orangtuanya makan ikan, mereka juga bisa.

Satu per satu ke-sepuluh anak itu menerobos keluar lewat lubang dinding bambu sebesar tempayan. Menerobos keluar, menjangkau pekat malam, dingin udara dan selasar kegelapan yang lengang. Saling berpegangan, mereka merayapi lereng bukit dekat rumah menuju ke sungai. Melalui padang ilalang dan delta pasir.

Gemericik air terdengar pelan. Konon, pada tengah malam ketika semua makhluk nyaris tak memperhatikan, air akan tidur dari aktivitasnya selama satu detik. Hanya satu detik setiap hari yang dimilikinya untuk istirahat, berhenti, tidak mengalir, diam, selama satu detik. Tapi tak pernah ada yang benar-benar tahu secara detail, tak ada narasumber, karena tak ada yang berhasil kembali lagi dan menceritakan semuanya.

Sampai di tepian sungai, mereka kebingungan. Tak ada penerangan, hanya sinar bulan yang remang-remang tertutup awan.

“Aku mau ikan…” rengek si bungsu. Mereka lalu menyusuri sepanjang bantaran sungai, berharap sesuatu berkelebat dalam air sehingga bisa ditangkap ramai-ramai.

Tanpa sadar, mereka telah jauh dari tempat semula ketika tiba. Belum ada tanda-tanda ikan atau kepiting yang melintas, tapi rasanya malam ini sedikit ganjil. Dingin yang menusuk kulit, kaki-kaki telanjang yang menginjak rumput basah dan becek, serta mata lelah yang dipaksa waspada dalam gelap memaksa mereka terus konsentrasi memperhatikan sungai.

Lalu dalam sepersekian detik, air tiba-tiba berhenti mengalir. Benar-benar diam. Penghuninya pun diam. Mereka kaget, panik, tak menyangka menemui keganjilan sedemikian rupa. Karena begitu ketakutan, mereka terus memanggil-manggil berharap orangtuanya mendengar teriakan mereka. Seandainya tidak menuruti kehendak untuk menghukum kedua orang yang sudah renta itu dengan melarikan diri karena merasa tidak diperhatikan lagi, tentu saat ini mereka tengah nyenyak berselimut tikar pandan. Di rumah.

Dengan tangan tetap tergenggam erat, mereka berlari. Mereka berusaha naik ke tempat tinggi menjauhi sungai. Seolah tersedot, tidak ada yang mampu menggerakkan kaki barang sejengkal. Air menarik mereka. Merayunya dalam sihir yang tak terduga. Akhirnya ke-sepuluh anak itu menjerit sejadi-jadinya. Sekeras-kerasnya. Tapi mereka sudah jauh dari pemukiman. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang penasaran. Hanya saja, sayup-sayup terdengar suara-suara bersahut-sahutan, bukan lagi suara manusia, melainkan makhluk-makkhluk malam sejenis serangga.

**** *** ****

Betapa terkejutnya emak ketika membuka pintu bilik dan mendapati anak-anaknya tak ada di tempat. Ia memanggil bapak sambil meracau. Keduanya mencari di sekitar rumah, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Dengan putus asa mereka kembali.

Malam di luar masih menggigit. Emak masuk ke dapur dan duduk tepekur di dekat tungku. Tanpa berkata apa-apa lagi. Matanya nanar memandang periuk berisi biji nangka yang akan direbusnya besok. Asap masih mengepul-ngepul menciptakan jelaga yang makin pekat warnanya bercampur duka dalam malam yang makin menggila.

Klaras; daun pisang yang sudah kering

Tempayan; tempat air dari gerabah atau tanah liat

Delta; endapan pasir dekat sungai ketika banjir usai

27 Pebruari 2008

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *