Tunanetra Rawan Bullying

Benarkah tunanetra rawan bullying? Bukankah orang-orang seperti ini (termasuk kaum difabel lainnya) justru yang paling mampu menggugah empati dan rasa kemanusiaan manusia? Taruhlah misalnya ketika seorang tunanetra sedang berjalan untuk suatu keperluan. Tiba-tiba seorang perempuan muda yang sedang rakus-rakusnya belanja sudi merelakan sebagian uangnya? Bahkan ketika uluran tangannya ditolak ia akan berusaha mati-matian agar niat baiknya diterima. “Tidak apa-apa. Terima saja. Saya ikhlas kok”

 

Luar biasa bukan? Seorang yang biasa melarutkan diri ke dalam hiruk-pikuk budaya konsumtif hedonistik sekalipun, mendadak berubah menjadi seorang filantropi sejati yang rela “menderita”, –ya, disebut “menderita” karena uang belanjanya menjadi berkurang. Hal itu sengaja dilakukan demi kebahagiaan orang lain. Begitu kuatkah daya magnet tunanetra sehingga dapat memutar tabiat orang seratus delapan puluh derajat dalam hitungan waktu yang sangat cepat?Kalau sekiranya demikian mengapa mereka tidak diberdayakan saja sebagai motivator pembangkit moral dan rasa kemanusiaan yang belakangan ini terasa semakin menipis di lingkungan masyarakat kita?

 

Ah, ini pastilah imajinasi yang telah kebablasan. Simaklah kejadian selanjutnya. Sekelompok anak muda yang sedang nongkrong di pinggir jalan begitu melihat peristiwa dramatik itu lantas ada yang nyeletuk: Wah, enak banget ya? Jalan aja dapet duwit he he he …

 

Sekilas celotehan itu hanyalah gurauan khas orang pinggir jalan yang selalu iseng berkomentar bila melihat apa saja yang melintas di hadapan mereka. Tetapi tidakkkah Anda merasakan betapa gurauan itu mengandung unsur pelecehan yang bisa dikatagorikan sebagai bullying? Tanpa harus menggunakan logika yang rumit kita sudah bisa menangkap apa yang tergambar di balik ungkapan itu. Mereka menganggap menjadi tunanetra itu enak karena bisa mendapatkan duwit dengan mudah. Tak usah bekerja,cukup jalan saja nanti duwit pasti menghampiri sendiri. Dengan kata lain seorang tunanetra bisa mengemis tanpa mengemis, meminta tanpa meminta dengan hasil yang sangat presisius, boleh jadi melebihi pengemis biasa.           Sampai di sini maka jelaslah betapa mereka telah memposisikan tunanetra pada posisi yang serendah-rendahnya, sehina-hinanya.

 

Bullying merupakan sebentuk perlakuan negatif yang mengandung unsur kekejaman, kasar, keras menindas, untuk menghina dan merendahkan seseorang, dengan atau sama sekali tanpa alasan apapun. Bullying tidak semata-mata merupakan kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak, melempar, dan seterusnya. Perlakuan negatif itu juga bisa berupa kekerasan dengan kata-kata (verbal bullying) dan kekerasan psikis (psychis bullying) yang menimbulkan luka tak kasat mata tapi bisa lebih menyakitkan dan berdampak distruktif. Bukankah pepatah mengatakan; bila pedang lukai badan dapat dicari obatnya, bila lidah lukai hati akan terbawa sampai mati.

 

Ketiga jenis bullying di atas, kalau boleh dikata, merupakan bentuk bullying aktif. Menurut hemat saya, paling tidak ini berlaku di kalangan tunanetra, ada bentuk bullying passif di mana pelaku tidak melakukan apa-apa tetapi efeknya tetap menyakitkan. Misalnya tidak mau diajak bicara, tidak mau menegur, mendiamkannya, serta menganggap kehadiran (keberadaan si pihak yang dibully) itu tak ada atau mungkin malah dianggap bukan manusia. Peristiwa ini biasanya terjadi pada acara-acara di mana seorang tunanetra harus berbaur dengan orang-orang bukan tunanetra. Misalnya pada acara resepsi pernikahan, syukuran 17 Agustus, di sini tunanetra sering terbiar duduk sendirian tanpa ada yang menemani atau mengajak ngobrol, sekedar basa-basi buat mengisi waktu. Padahal bukan berarti tak ada yang kenal, tetapi mereka lebih sukaberasyik-masyik dengan sesamanya (yang bukan tunanetra).

 

Demikian halnya ketika menjalani ibadah Shalat Jumat, sebelum khotbah dimulai (yang berarti orang masih diperbolehkan berkata-kata) seorang tunanetra harus mencari shaf (baris) yang masih kosong sendiri, tanpa ada yang membantu kecuali sudah nabrak sana-sini. Di lingkungan RT/RW atau di tempat-tempat kontrakan pun tak banyak orang yang berakrab-akrab dengan tunanetra walau mereka bertetangga. Bahkan seperti disebut tadi, ditegur sapa pun tak mau jawab, apalagi menegur dan sekedar saling beramah-tamah, berbasa-basi. Bukankah perlakuan seperti ini juga termasuk bullying?

 

Apa yang terpapar dalam ilustrasi di atas pasti tidak dialami oleh tunanetra gedongan yang tiap hari selalu dilayani keperluannya, dilimpahi dengan segala fasillitas, serta tidak pernah ke mana-mana kecuali mendapatkan pengawalan ketat dari “ajudan” pribadinya. Tapi gambaran itu akan sangat nyata pada tunanetra-tunanetra yang harus mandiri dan menghidupi diri sendiri karena keadaan, di mana jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang disebut pertama, termasuk para perantau yang jauh dari kampung halaman, jauh dari sanak saudara.

 

Di tengah kesulitan mengais rejeki mereka juga rawan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan. Tanyakan pada mereka maka semua pasti pernah mengalami bullying yang bisa saja jauh lebih menyakitkan dari yang diurai di atas. Yang membedakan barangkali hanyalah frekwensi atau tingkat keseringannya. Ada yang menjadikan peristiwa itu sebagai masa lalu karena sekarang sudah tidak lagi mengalami –mungkin karena ada perubahan status sosial yang lebih tinggi, atau karena sudah ada anak-anak yang disuruh ini itu sehingga ia tidak perlu ke sana ke mari sendiri. Sementara sebagian yang lain ada yang masih saja mengalami sampai kini walau agak jarang. Tetapi juga tak kurang yang mengalami bullying hampir tiap hari. Yang terakhir ini biasanya dialami oleh tunanetra yang setiap hari harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan jalanan seperti tukang pijat keliling atau mereka yang terpaksa harus menjadi penjual krupuk atau pengamen.

 

Memang untuk bullying fisik hampir tidak pernah terjadi, tapi untuk bullying verbal dan psikologis bisa terjadi di segala waktu dan tempat. Di masjid sekalipun, ketika sekelompok anak muda yang baru datang melihat tunanetra salah menghadap kiblat, mereka lebih suka menertawakan terlebih dulu sebelum mengingatkan. Di jalan, seorang yang menyeberangkan tunanetra justru mengotori jiwa penolongnya dengan melempar senyum dan isyarat tertentu kepada temannya sehingga teman tersebut tertawa ngakak bagai melihat setan botak. Jjuga ketika melihat tunanetra berjalan tertatih-tatih dengan tongkat di tangan, dua lelaki parobaya yang sedang duduk-duduk sambil mengumbar asap rokok menertawakannya sebagai orang yang berjalan sambil tidur. Malah tak jarang yang berteriak “kiri, kanan, kiri, kanan” layaknya memberi aba-aba dalam barisan. Atau yang lebih menjijikkan lagi, “Hati-hati, awas ada tai … “ Deret ini bisa diperpanjang lagi sepanjang kita mau dengan berbagai latar belakang dan kasus.

Tak dapat dimungkiri, bullying terhadap tunanetra memang benar-benar terjadi di tengah masyarakat kita yang konon ramah, religius, dan berkeadaban tinggi. Sayangnya persoalan ini seperti tak kasat mata. Para penggiat kemanusiaan, keagamaan, LSM-LSM ketunanetraan maupun organisasi tunanetra sendiri tak pernah memperhatikannya. Mereka seakan tak tahu atau menganggap hal itu terlalu kecil untuk dipersoalkan. Kalau demikian apakah untuk menyingkirkan duri di jalan harus menunggu menjadi sebesar pohon? Duri tetaplah duri. Meski kecil tetapi berpotensi melukai. Karena itu tidak ada alasan untuk tidak menyingkirkannya. Sebab jika tidak, dampak yang ditimbulkan bisa lebih besar dari yang kita bayangkan.

 

Akan halnya bullying walau hanya dengan kata-kata, menyindir atau memperolok kekurangannya, dapat berakibat fatal. Perilaku negatif seperti menciptakan situasi tak nyaman semacam mengeksploitasi keburukannya sebagai bahan tertawaan, mempermalukannya di depan umum, dan sebagainya adalah tindakan yang tidak boleh dibiarkan. Sudah banyak pakar yang menjelaskan dampak buruk bullying terhadap si korban, mulai dari terganggunya keseimbangan kepribadian, hambatan kesuksesan, serta keputus asaan yang akut. Entah sudah berapa orang korban bullying yang memilih mengakhiri hidupnya. Entah berapa pula yang hidup dalam stress berkepanjangan, pemalu, penakut, rendah diri dan menarik diri dari pergaulan, dan semacamnya. Yang pasti jumlahnya tentu lebih banyak dari yang bunuh diri tadi. Maka kita patut curiga jika sampai saat ini banyak tunanetra yang hobi tidur, enggan menghadiri kendurian, kondangan, dan semacamnya di mana di situ lebih didominasi orang bukan tunanetra, atau yang lebih parah lagi mereka kehilangan gairah dalam menjalani hidup, pemalas, miskin ide dan kreatifitas, miskin cita-cita. Jangan-jangan ini merupakan dampak bullying yang selama ini mereka terima.

Sekiranya kecurigaan itu benar, maka masyarakat juga harus bertanggung-jawab untuk memulihkan keadaan. Sebab jika hal ini dibiarkan terus-menerus, pasti akan menjadi noda bagi kemajuan peradaban bangsa. Tunanetra akan tetap menjadi warga subordinan, inferior, miskin, dan bodoh, yang pada akhirnya juga menjadi beban bagi masyarakat. Sebab yang tak berpendidikan akan benar-benar mengeksploitasi ketunanetraannya untuk mengais rejeki dengan menjadi pengemis seperti yang disangkakan. Dan yang berpendidikan akan rajin membuat proposal untuk kegiatan yang dibuat-buat.

 

Untuk memperbaiki keadaan tidak ada cara lain kecuali menghargai keberadaan tunanetra sebagai manusia bermartabat dan terhormat sebagaimana manusia pada umumnya. Hentikan bullying terhadap difabel dalam bentuk apapun. Tentu ini bukan soal yang mudah mengingat kebiasaan memperolok dan menertawakan kekurangan orang lain sudah menjadi budaya tersendiri di lingkungan masyarakat kita. Karena itu para pemangku kepentingan perlu mencari terobosan-terobosan baru yang memungkinkan tunanetra lebih dihargai dan dihornati.Jangan hanya membuat program-program besar yang layak ekspose di media massa tetapi kurang menyentuh masalah-masalah mendasar yang dihadapi mayoritas tunanetra. Memperjuangkan hak-hak politik kaum difabel memang perlu. Mengupayakan agar cap jempol diberlakukan bagi tunanetra yang melakukan transaksi perbankan memang penting. Tapi hendaknya jangan diabaikan persoalan-persoalan yang nampak kecil dan remeh-temeh tapi sangat merendahkan derajat tunanetra.

 

Pemerintah beserta dinas-dinas sosialnya hendaknya tidak hanya sibuk dengan lomba panti, pelatihan pijat, peringatan hari difabel, atau bagi-bagi sembako saat lebaran. Ada baiknya dibarengi dengan membuat kebijakan-kebijakan tertentu yang membangkitkan kesadaran akan arti pentingnya menghargai kaum difabel. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Wonogiri yang menerbitkan Perda tentang larangan menghina difabel berikut sanksinya. Apresiasi yang setinggi-tingginya layak kita berikan atas terobosan ini. Mudah-mudahan segera disusul daerah-daerah lain. Dan mudah-mudahan peraturan semacam itu benar-benar diimplementasikan secara nyyata sehingga tidak berhenti sebagai macan ompong di atas kertas.

 

Di samping itu   perlu pula membuat iklan layanan sosial tentang tunanetra. Adakan seminar dan kegiatan di mana tunanetra diberi peran aktif di dalamnya. Dengan adanya rekayasa sosial seperti ini sangat besar kemungkinan tunanetra bisa diterima masyarakat sebagaimana adanya. Di sisi lain, tunanetra bisa lebih aktif menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang berharga dan layak mendapat penghormatan seperti yang lainnya.(Kardono)

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *