Wahid, Perjalanan Bermusik sang Tunanetra Muda

Ismat Ulak (Wahid)Jakarta, Kartunet.com – Musik memang sudah menjadi hal biasa di zaman sekarang ini, tapi bukan berarti musik adalah hal yang mudah untuk dikuasai. Butuh ketekunan dan keseriusan untuk mempelajarinya. Tanpa keinginan yang kuat, rasanya mustahil untuk dapat menguasai satu atau beberapa jenis alat musik, apalagi jika dipelajari secara otodidak. Namun bagaimana jika seorang tunanetra dapat melakukannya?

Ismat Ulak, penyandang low vision sejak lahir, menguasai empat jenis alat musik. Alat musik yang dikuasainya adalah bass, drum, gitar dan keyboard. Ia mengaku bahwa untuk mempelajari keempat jenis alat musik tersebut, ia tidak pernah mengikuti kursus atau semacamnya, semuanya dipelajarinya sendiri.

Wahid, demikian panggilan akrab putra pertama dari empat bersaudara ini, menyukai musik sejak kecil. Ia mulai suka menyanyi sejak usia 3 tahun, kemudian di usia 5 tahun ia mulai mempelajari keyboard. Kegemarannya terhadap irama membuatnya tak puas hanya sampai di sana, sehingga pada usia 7 tahun pemuda kelahiran 6 Mei 1990 ini mulai mempelajari bass dan gitar. Di usia 9 tahun Wahid mulai mempelajari cara bermain drum. Alat musik pukul ini ia pelajari dengan cara yang cukup unik. Tiap kali menghadiri konser musik, Wahid selalu berjalan menaiki tangga belakang panggung untuk dapat memperhatikan cara pemain drum memainkan alat musik tersebut. Pada jarak sekitar 3 meter, Wahid dengan sisa pengelihatannya masih dapat memperhatikan permainan sang drummer, kemudian ditiru dan dipelajarinya sendiri. Bahkan pernah juga ia mencoba memainkan drum di atas panggung pada saat para pemain band yang tampil sedang beristirahat. Ketertarikan Wahid pada dunia musik tentunya sangat luar biasa karena kenyataanya ia telah mampu memainkan 4 jenis alat musik pada usia tak lebih dari 10 tahun.

Keunikan lain dari pemuda asal Gorontalo ini adalah kebiasaanya dalam bermain bass dengan posisi terbalik. Jika seharusnya seseorang menempatkan jemarinya pada kunci bass dengan memegang senar dari bagian bawah fingerboard, maka Wahid menempatkan jemarinya justru dari bagian atas fingerboard.

“Sebenarnya saya hanya mencari posisi yang nyaman untuk saya sendiri, tapi kebiasaan ini justru sering kali menarik perhatian orang lain,” ujarnya, ramah.

Anak angkat dari Bupati Boelemo, Gorontalo ini mulai hijrah ke Jakarta pada usia 14 tahun. Keluarga angkat Wahid tinggal di kawasan Kalibata, tetapi ia sendiri lebih senang tinggal mandiri di asrama SLB Lebak Bulus. Meski hidup terpisah dengan keluarga, tapi tentu saja, baik keluarga angkat maupun keluarga kandungnya di Gorontalo sangat bangga dengan bakat bermusik putra mereka. Pernah juga Wahid hamper direkrut oleh musisi papan atas seperti Roma Irama, Rama Aipama, dan band The Mercy’s yang digawangi oleh Charles Hutagalung. Akan tetapi karena usianya masih terlalu muda, keluarganya merasa khawatir jika Wahid terjun ke dunia keartisan, maka tawaran tersebut pun terpaksa diabaikan.

Pengalamannya bermusik juga dilengkapi dengan terbentuknya dua buah grup band. The Spirit, adalah band tunanetra di mana Wahid berperan sebagai bassis. Meski saat ini sedang vakum, namun The Spirit sempat meraih prestasi sebagai juara 1 pada lomba band se- DKI Jakarta pada tahun 2009, kemudian pada tahun yang sama kembali meraih juara 1 band nasional pada acara Gebyar Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) di Malang. Pada lomba band se-DKI Jakarta, Wahid juga terpilih sebagai pemain bass terbaik karena keunikannya dalam memainkan alat musik tersebut dalam posisi jari terbalik. Jadi pada saat itu, ia memperoleh dua gelar juara, yaitu untuk band-nya, The Spirit, dan untuk dirinya sendiri sebagai bassis.

Band lain yang diikuti oleh Wahid adalah Prodigies. Band yang berdiri tahun 2003 ini beranggotakan orang awas, atau berfisik normal. Di sini Wahid memegang alat musik keyboard. Prodigies juga beberapa kali mengikuti lomba, dan pernah diajak rekaman oleh Bapak Tamam Husein, salah satu figure ternama di dunia musik tanah air. Tentu Wahid dan teman-temannya cukup bangga dengan prestaasi tersebut.

Perjalanan bermusik Wahid terus berlanjut. Pada tahun 2010, ia bekerja di SLB Negri Semarang sebagai pengajar musik. Di sana, ia mengajarkan musik pada penyandang berbagai jenis disabilitas, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, sampai dengan penyandang autis. Ada kesulitan masing-masing ketika mengajar pada jenis-jenis disabilitas tertentu. Jika mengajar tunanetra harus merabakan jari-jari muridnya satu persatu pada alat musik, maka tentu akan diperlukan kesabaran lebih ketika mengajar anak-anak autis. Menurut Wahid, kesulitan terbesarnya saat mengajar penyandang tunagrahita. Mereka yang memiliki IQ di bawah 70%, terkadang agak sulit diatur dan diberi materi pelajaran.

Pelajaran musik bagi penyandang disabilitas ini cenderung dilakukan dengan praktik langsung tanpa teori. Meski sempat kewalahan, namun lama kelaman Wahid pun terbiasa dengan tugasnya sebagai pengajar musik di SLB campuran tersebut. Terbukti, di tahun 2010, Wahid berhasil mendidik salah satu siswa autis untuk mengikuti lomba bertajuk “Semarang Mencari Bakat”. Di sana, siswa autis tersebut memainkan solo bass, dan meraih posisi 10 besar di seluruh Semarang.

Pemuda yang kini kembali berdomisili di kawasan Lebak Bulus ini, sudah tidak lagi mengajar musik di Semarang. Sejak bulan Juli 2011, Wahid menjadi staf honorer di Depdiknas pada program anak-anak penyandang disabilitas. Meski demikian, pengalaman bermusik Wahid yang sudah cukup banyak tentu dapat menjadi bekal hidup yang cukup baik. Ia pun menuturkan, jika ada orang yang ingin diajarkan, ia pun masih ingin mengajar musik lagi. (RR)
Editor: Herisma Yanti

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *