Zainal, Dunia Sosial Tanggung Jawab Moral

Jakarta, Kartunet.com – Louis Braille, tunanetra berkebangsaan Prancis, telah menciptakan huruf khusus bagi tunanetra yang kita kenal dengan huruf Braille. Kehadiran huruf tersebut sangat membantu tunanetra dalam mengakses buku bacaan, sehingga tunanetra tak lagi kekurangan informasi dan kesulitan dalam belajar. Meski kini telah ada screan reader untuk computer, atau pun digital talking book (DTB), sampai saat ini huruf Braille masih digunakan. Seiring perkembangan zaman, produksi buku Braille telah dipermudah dengan adanya printer Braille. Namun tentu saja, pengoperasian mesin tersebut haruslah dilakukan oleh seorang berpenglihatan normal.

Sebut saja, Muhamad Zainal Abidin. Ia bekerja di YMN sebagai staf produksi buku Braille. Zainal telah mengabdi untuk dunia tunanetra sejak tahun1997. Ia mengajar mengaji pada tunanetra, serta menggawangi proyek-proyek produksi buku Braille, mulai dari input data, sampai percetakan.

Zainal mulai mengenal dunia tunanetra sejak tahun 1996. Ketika itu, ia mengikuti pesantren di Kediri, tanah kelahirannya. Ketika lulus dari pesantren, Zainal bermaksud mengadu nasib di Jakarta. Karena tidak memiliki kerabat lain, ia pun tinggal di rumah salah seorang temannya yang sama-sama menuntut ilmu di pesantren tersebut. Tak disangka, ternyata teman Zainal itu memiliki orang tua tunanetra. Saat itu Zainal merasa kagum, karena meski tunanetra, ternyata kedua orang tua tersebut dapat memasak serta melakukan pekerjaan rumah tangga lain, layaknya orang normal pada umumnya.

Di Jakarta, pria kelahiran 7 Mei 1977 ini, melakukan berbagai aktivitas, khususnya yang berkaitan dengan keagaman. Ia sempat mengajar mengaji di TPA di lingkungan rumah keluarga tunanetra tersebut. Kemudian, Zainal direkomendasikan keluarga tersebut untuk mengajar mengaji di Yayasan Raudlatul Makfufin. Yayasan Raudlatul Makfufin adalah lembaga nonformal yang mengkaji Al Quran Braille secara intensif. Di sanalah ia mulai mengenal banyak tunanetra dan huruf Braille. Satu bulan menumpang tinggal di rumah keluarga temannya, agaknya membuat Zainal sedikit tak enak hati. Akhirnya, setelah mengenal Yayasan Raudlatul Makfufin, ia pun tinggal mandiri di asrama Yayasan Raudlatul Makfufin dan menjadi pengurus asrama. Berbekal ilmu yang diperoleh dari pesantren, Zainal mengajar mengaji dan bahasa Arab pada para tunanetra. Mengajar tunanetra memang tak semudah mengajar orang awas. Setiap hal harus dideskripsikan secara verbal. Menurut Zainal, meski harus mengajar dengan cara yang berbeda, para tunanetra juga memiliki tingkat pemahaman yang sama. Mereka tetap dapat memahami materi yang disampaikan walaupun hanya melalui penjelasan verbal.

Seiring berjalannya waktu, Zainal mengenal Bapak Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, yang saat itu juga sedang aktif di Yayasan Raudlatul Makfufin. Bapak Bambang mengenalkan Zainal pada YMN, serta prihal proyek pembuatan buku Braille. Beberapa tahun berlalu, Ia memperoleh kabar bahwa YMN sedang membutuhkan karyawan. Zainal mencoba mengajukan lamaran, namun ia diminta Bapak Bambang untuk tetap membantu kepengurusan Yayasan Raudlatul Makfufin.

Tahun 2003, Zainal mulai bekerja di YMN. Sekian lama berkawan dengan tunanetra, membuat putra keempat dari enam bersaudara ini merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membantu sesama. Hal inilah yang membuat lulusan jurusan Manajemen Informatika dari BSI ini akhirnya mengabdikan diri untuk tunanetra dengan berperan aktif dalam proyek percetakan buku Braille. Meski penghasilannya di lingkungan sosial seperti ini tidak dapat dikatakan besar, toh Zainal tidak meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Ia mencari tambahan penghasilan dari kegiatan-kegiatan lain, seperti mengajar TPA, atau membantu orang yang memerlukan jasa perbaikan komputer. Mencari pengalaman baru di lingkungan kerja lain, sempat juga terpikir olehnya. Namun ia merasa tidak ingin meninggalkan dunia tunanetra seratus persen. Bagi Zainal, mengabdi di dunia sosial, serta mengajar mengaji di Yayasan Raudlatul Makfufin maupun TPA lainnya merupakan tabungan untuk amal zariahnya kelak.

Keluarga kecil Zainal yang tinggal di kawasan Bintaro, cukup mendukung pekerjaanya. Mereka tidak pernah mengeluh meski penghasilan Zainal tidak berlebih. Dalam acara-acara yang diadakan oleh tunanetra, Zainal pun tidak enggan untuk membawa serta keluarganya. Hal ini dimaksudkan, agar istri dan kedua anaknya pun terbiasa dengan dunia sosial serta dapat menghargai para penyandang disabilitas. (RR)
Editor: Herisma Yanti

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *