Akses Transportasi Publik Bagi Disabilitas

Jakarta — Jangankan berharap kemudahan bagi penyandang disabilitas agar mereka juga bisa menikmati pelbagai sarana transportasi kota, untuk masyarakat umum saja kondisi yang dihadapi sudah cukup membuat prihatin. Kini, coba bayangkan bagaimana sulitnya menjadi penyandang disabilitas netra atau disabilitas daksa yang ikut berhimpit-himpitan di antara penumpang busway atau kereta komuter di jam-jam sibuk warga ibu kota.

Menjadi penyandang disabilitas bisa bermakna ganda: Anda tidak masuk kategori warga yang berhak dilayani–-karena melayani mayoritas masyarakat umum saja sudah merepotkan—atau Anda adalah kelas sosial istimewa yang mesti disendirikan dalam pelbagai aspek pelayanan warga. Pengandaian pertama tentu sama saja dengan ketidakadilan, menafikan keberadaan mereka yang justru membutuhkan pengayoman lebih. Pengandaian kedua lebih merupakan over-estimasi. Pengandaian selanjutnya lahir manakala kedua pengandaian tadi ternyata sama-sama tidak diperhatikan pemerintah: penyandang disabilitas semestinya adalah mereka yang dilahirkan di kalangan kaum berada. Orang tua Anda, atau saudara dan kaum kerabat Anda adalah mereka yang duduk di kelas atas piramida ekonomi. Dengan demikian, Anda tidak usah menuntut macam-macam kepada pemerintah atau perumus kebijakan, dan cukup bergantung kepada mereka yang memang menyayangi Anda karena mereka adalah darah daging Anda sendiri.

Persoalannya: bagaimana dengan penyandang disabilitas dari kalangan ekonomi menengah ke bawah?

Oleh karena itu, pemecahan masalahnya harus dibalik: penyandang disabilitas dari kalangan dhuafa-lah yang seharusnya pertama kali menerima bantuan dan pemikiran serta kebijakan yang memihak mereka. Merekalah tolok ukur berlaku atau tidaknya suatu rumusan kebijakan.

Tak pelak lagi, memang ada manusia-manusia penyandang disabilitas yang berbakat istimewa, yang mampu menaklukkan keterbatasannya dan berprestasi di berbagai lapangan hidup. Di antara mereka malah ada yang sama sekali memandang disabilitas sebagai bukan masalah sama sekali dan melampaui prestasi mayoritas manusia yang dikaruniai Tuhan kelengkapan indera dan anggota badan. Namun demikian, yang namanya kebijakan haruslah mencakup “keumuman” dan harus bisa diterapkan secara merata pada suatu kelompok sosial, bukan pengecualian-pengecualian yang berlandaskan keistimewaan atau yang sifatnya serba-kasuistik.

Kebijakan yang berlaku bagi penyandang disabilitas netra misalnya, adalah kebijakan yang berlaku pada semua mereka, laksana huruf “braille” yang memang dapat dipahami oleh mayoritas kelompok sosial ini. Tanpa membedakan antara umpamanya penyandang disabilitas netra yang kaya atau yang miskin, yang berbakat atau yang tidak berbakat dan seterusnya.

Bagi perumusan kebijakan itu, tolok ukur pertamanya adalah kriteria yang berlaku bagi penyandang disabilitas dari kalangan duafa. Jika bagi mereka kebijakan itu nyaman, maka akan nyaman bagi semua. Jika kebijakan itu “terjangkau” oleh mereka, maka akan “terjangkau” oleh semua.

 Untuk mempermudah gambaran, cermati contoh kasus sebagai  berikut: untuk memberi akses transportasi publik (misalnya busway) kepada penyandang disabilitas netra, maka diterapkan kebijakan bahwa kernet busway harus memandu penumpang dari kalangan disabilitas netra dan memberinya kursi di bus yang di dindingnya sudah ditempeli stiker: beri tempat duduk kepada penyandang disabilitas terlebih dahulu. Penyandang disabilitas harus duduk tidak jauh dari posisi pintu dan kernet untuk memudahkan kernet bertanya tempat yang menjadi tujuan serta memperdekat jarak jalan untuk turun ke terminal. Antara bibir terminal dengan pintu bus juga disediakan semacam jembatan bongkar pasang instan manakala didapati ada penyandang disabilitas daksa yang hendak menumpang.

 Demikian pula dalam contoh kasus kereta komuter. PT KAI sudah cukup manusiawi dengan menyediakan gerbong khusus wanita lengkap dengan petugas sekuriti juga dari jenis kelamin yang sama. Perhatian serupa bukannya tidak mungkin diberikan kepada penyandang disabilitas. Misalnya dengan menempatkan penyandang disabilitas di bagian khusus dalam gerbong wanita dengan pertimbangan karena biasanya gerbong ini lebih sepi.

Akses Kebijakan, Akses Media, Akses Dana

 Prihatin bukan bermakna pesimis. Yang menjembatani antara kesediaan fasilitas publik dengan partisipasi dan akses penyandang disabilitas ke transportasi publik adalah kebijakan.

Karena itu, tidak ada salahnya bila komunitas penyandang disabilitas menyampaikan aspirasi mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat, baik Pusat ataupun Daerah, selain tentunya melancarkan kampanye opini lewat media. Dengan demikian, sebelum berbicara masalah akses ke transportasi publik atau sarana publik pada umumnya, yang perlu mendapat perhatian adalah akses ke kalangan penentu kebijakan, akses ke media, serta akses kepada para penyandang dana. Dari ketiganya, menurut saya, akses ke medialah yang harus lebih intensif sekaligus ekstensif dilakukan, karena kelak medialah yang menyediakan “bahan perenungan” dan “barang bukti” ke hadapan para penentu kebijakan.

Akses yang luas dan intensif ke media adalah semacam penggalangan opini sekaligus simpati, yang memungkinkan kelompok penyandang disabilitas memperoleh dukungan dari lingkup publik yang lebih luas. Sehingga, kelak status pemberitaan media dapat meningkat dari sekedar “bahan perenungan” menjadi “barang bukti” dan kemudian meningkat lagi menjadi “alat penekan” bilamana penentu kebijakan mengabaikan aspirasi yang disampaikan.

 Akses kebijakan ini sifatnya mutlak diperlukan, sejauh menyangkut masalah akses ke sarana publik. Karena sekuat apapun komunitas penyandang disabilitas menggalang kekuatan dan menghimpun kemandirian, sumber daya yang dibutuhkan akan terlampau besar dan terlampau menguras tenaga dari yang semestinya. Dapat pula disampaikan bahwa akses ke sarana transportasi publik bagi para penyandang disabilitas akan mendongkrak citra pelayanan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang transportasi, khususnya transportasi darat. Bukan saja perusahaan pelayanan transportasi yang diuntungkan, namun juga pemerintah kota menerima faidah politik dari masa pemerintahannya yang begitu merakyat dan begitu manusiawi. Selain itu pula, publik juga harus disadarkan bahwa ada kelompok-kelompok sosial yang perlu didukung di luar urusan kantor dan urusan perut mereka masing-masing.

Betapa  manusiawinya suatu masyarakat yang memihak dan mengakui kelompok penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga kota dan negara. Mereka dapat hidup berdampingan dan bersama-sama menikmati fasilitas publik yang disediakan oleh pemerintahnya. (Deny)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 5 tahun by Redaksi

Oleh Redaksi

We provide information, news, articles, opinion, and tutorial that not only inspire you, but also encourage yu to contribute in building Indonesian inclusive society.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *