Aksesibilitas Kampus Bagi Mahasiswa Tunanetra

Tulisan ini merupakan sedikit bahasan hasil penelitian skripsi S1 penulis, dengan mengambil sampel penelitian di sebuah universitas yang menerima dan menyediakan layanan bagi mahasiswa tunanetra. Banyak hal yang melatarbelakangi kenapa penulis terfikir mengambil penelitian ini. Selain karena kapita selekta yang penulis ambil adalah tunanetra, salah satu hobi penulis yakni mengamati lingkungan sekitar dan orang-orang di dalamnya adalah faktor utama penelitian ini.

Mengutip dari sebuah media cetak, “Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) melakukan survei pada tahun 2005, tercatat hanya ada 250 orang tunanetra di Indonesia yang berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Sementara, data Kementerian Kesehatan mengungkapkan angka kebutaan di Indonesia adalah satu setengah persen dari jumlah penduduk, yang berarti, ada lebih dari tiga juta tunanetra di Indonesia; dengan demikian, 250 orang bukan angka yang menggembirakan (Spirit th. V edisi 35).”


 


Tujuh tahun berselang, bukan waktu yang sebentar memang, namun hingga saat ini pun tidak banyak teman-teman tunanetra yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Terfikir oleh penulis dengan keterbatasan pengetahuan, mungkin ada faktor eksternal yang menyebabkan kenapa hanya sedikit teman-teman tunanetra yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Pandangan mengarah ke sekeliling, hmm… lagi-lagi dengan pengetahuan yang masih terbatas, penulis mencoba menjawab dengan dugaan sendiri.


 


Penulis mengamati beberapa teman tunanetra yang ada di kampus. Mereka melakukan mobilitas dengan menggunakan tongkat bersama teman yang juga tunanetra atau teman awas. Beberapa yang lainnya melakukan mobilitas seorang diri. Suatu ketika, penulis melihat seorang teman tunanetra yang melakukan mobilitas seorang diri dengan tongkatnya. Ia tampak kebingungan menentukan orientasi arah ke tempat yang dituju. Dia kebingungan menentukan landmark. Penulis menghampiri dan menanyakan tempat yang akan ia tuju. Jelas dia bingung karena sedang berlangsung proses pembangunan kampus. Ada beberapa bangunan yang mengalami rekonstruksi, sehingga hal-hal yang mungkin dijadikan landmark atau clue oleh teman-teman tunanetra mengalami perubahan. Terlebih  tidak adanya  guiding block (jalur pemandu untuk tunanetra).


 


Mengobrol memang hal yang menyenangkan, akan banyak ilmu yang didapat secara sengaja ataupun tidak dari obrolan berkualitas. Mengobrol dengan beberapa teman tunanetra membuat wawasan penulis bertambah, rasa ingin tahu lebih banyak, dan sampai akhirnya mendapat secercah jawaban dari pertanyaan sebelumnya, aksesibilitas.


 


Apakah aksesibilitas itu? Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, pada pasal 1 ayat 4 menegaskan bahwa “Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Lalu disambung pada pasal berikutnya, pasal 6 ayat 4 berbunyi: “Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya”. Mengutip dalam Universal Design Handbook, “Accessibility is a function of compliance with regulations or criteria that establish a minimum level of design necessary to accommodate people with disabilities”.


 


Terciptanya aksesibilitas merupakan bentuk kepeduliaan dan kesadaran bahwa manusia hidup dalam lingkungan sosial yang heterogen. “The environment can support or prohibit participation as people with disabilities seek access to the same facilities and services as other people” (UFAS Retrofit Guides: Accessibility Modification For Existing Building).


 


Secara etimologi aksesibilitas bagi penyandang tunanetra berarti kemudahan yang diberikan kepada para penyandang tunanetra, berupa pengadaan atau modifikasi sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, termasuk lingkungan fisik, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penyandang tunanetra, agar mereka dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.


 


Dalam desain bangunan dan lingkungan berdasarkan rancangan universal bagi penyandang tunanetra meliputi: pencahayaan (baik secara alami ataupun buatan), ukuran huruf pada petunjuk, huruf timbul pada petunjuk, braile pada petunjuk, informasi yang bisa diraba pada pegangan/handrails tangga, informasi yang bisa diraba pada pegangan/handrails di koridor, informasi yang bisa diraba pada pintu, informasi yang bisa diraba pada permukaan lantai, informasi suara dan petunjuk, informasi penciuman dengan penanaman tumbuhan, area sirkulasi yang tertata, permukaan lantai dan dekorasi dinding tidak membingungkan penglihatan.


 


Aksesibilitas ruang publik kampus yang baik dapat menunjang pendidikan mahasiswa tunanetra setara dengan mahasiswa lainnya. Belum tersedianya aksesibilitas fisik ruang publik kampus bagi mahasiswa tunanetra menunjukkan bahwa pihak universitas kurang mengkaji ulang dalam penyediaan fasilitas fisik kampus yang “ramah” bagi mahasiswa tunanetra. Mahasiswa tunanetra membutuhkan aksesibilitas fisik ruang publik kampus yang mempertimbangkan keamanan dan kemudahan dalam proses pendidikan. Dengan keterampilan orientasi dan mobilitas yang telah mahasiswa tunanetra miliki, tidak cukup membantu untuk mandiri karena tidak didukung oleh ruang publik kampus. Ruang publik kampus belum “ramah” bagi mahasiswa tunanetra.


 


Kebutuhan mahasiswa tunanetra yang tidak terlayani akan berdampak pada proses belajar mengajar. Mahasiswa tunanetra dapat mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan. Hambatan yang dialami mahasiswa tunanetra  berpengaruh pada prestasi belajar mereka. Hambatan belajar juga berdampak pada pencitraan lingkungan terhadap ketidakmampuan akademik mahasiswa tunanetra dengan keterbatasan yang mereka miliki.


 


Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Mohon maaf apabila terdapat kekeliruan dalam tulisan ini. Bersama kita wujudkan aksesibilitas bagi seluruh penyandang ketunaan.(Erma)

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *