ANAK YANG BENAR BENAR SEBATANG KARA

Di depan saya, ada gundukan tanah pekuburan yang masih basah. Hujan baru ssaja lewat, langit masih dicengkram kelabu, sementara burung hantu bertengger di tangkai-tangkai pepohonan. Tak seperti biasanya, kali ini saya tak takut, malah menikmati hening pekuburan.

“Saya tinggal benar-benar sebatang kara,” kata saya seperti mengadu pada induk betina.

Tidak ada sahutan, orang yang saya rindukan setengah mati sudah bergelung bertimbun tanah.

“Rindu yang berat adalah saat kau bahkan tak punya apa-apa tentang dia.”
***

Hampir setiap sore bapak pulang dengan penat, dan senyum lebar. Lalu saya akan berlari menyambutnya di tangga rumah panggung kami, mengecup tangannya dalam, kemudian menyodorkan air gula merah segar untuk dia tenggak segera. Setelahnya, bapak akan masuk ke dalam rumah untuk bersih-bersih dan menyantap makan. Saya akan memandangnya ingin tahu, dengan sorot yang meminta untuk diceritakan kisah dari dunia luar.

Tahun 1974, di desa kami anak perempuan belum bisa berkeliaran. Jika saya tengok lebih teliti, hanya sayalah, yang walau jarang-jarang, tapi sering berkunjung ke rumah tetangga. Entah itu datang untuk melihat mamak-mamak tetangga, atau datang untuk mengantarkan buah tangan dari bapak. Tiap kali berkunjung ke rumah tetangga, saya selalu tertarik melihat perempuan seusia bapak yang sibuk berteriak-teriak memarahi anak mereka. Begitukah rasanya memiliki mamak? Apa mamak di muka bumi ini hanya dilahirkan untuk marah-marah saja? Saya tidak tahu, sebab saya tak punya ibu sejak lahir. Menurut bapak, mamak saya adalah orang yang paling sayang dengan saya.

“Apa kalau masih hidup mamak akan suka memarahi saya, Pak?” tanyaku pada bapak di satu waktu.

Bapak menoleh, terkekeh, lalu mulai menjawab dengan suaranya yang seperti alunan seruling.

“Tidak, Asse, tidak. Mamak kau itu adalah orang yang paling sayang dengan kau.”

“Melebihi bapak?” tanya saya ingin tahu.

Bapak mengangguk.

Selalu saja ada kisah yang menceritakan betapa orang yang melahirkan saya itu sangat menyayangi saya. Tidak hanya dari bapak sahaja, tapi juga dari tetangga dan anak-anak kampung yang lebih dewasa dari saya.

“Mamak kau selalu mengusap perutnya, Asse, menjaga kau dari apapun itu,” tutur seorang kawan mamak yang selalu datang ke rumah.

Saya tidak pernah bertemu dengan pemilik kaki surga saya, karena dia terbuang ke alam kematian saat berjuang melahirkan saya. Satu hal yang saya yakini hanyalah bahwa mamak benar-benar sayang dengan saya, dan sebab itulah ia rela terbuang di jalan sahid dalam persalinan.
o0o

Di muka bumi ini, sudah jelas saya hanya memiliki bapak. Orang yang paling-paling baik pada saya, tak pernah ingkar terhadap kegiatan mengecup kening saya di pagi hari. Deru mobil Mustang Boss 302 bapak selalu membangunkan saya dari tidur, memaksa saya berlari ke sumur dan cepat-cepat mandi. Sering kali, ssaya terlambat bangun dan naik ke atas mobil dengan keadaan belum mandi. Berangkat sekolah tanpa mandi, hanya menggunakan baju bekas kemarin, di zaman itu bukan hal yang tabu. Terlebih lagi di kampung kami. Daerah pelosok di sayap kanan kota Makassar.

Saya bahagia sekali di tiap paginya, karena bisa menunggangi mobil bapak. Di kampung kami baru bapak yang punya mobil. Bukan hanya itu, jalan poros pun masih sering menjada tanpa disentuh ban mobil.

Saya tak punya siapa pun lagi di muka bumi ini, kecuali bapak. Bapak yang baik, bapak pemilik pabrik terbesar di kabupaten kami, bapak yang rela hidup menduda seumur hidup untuk anaknya, bapak yang tak pernah absen menyentuh kening saya di pagi hari, bapak yang selalu bangga dengan kemahiran saya menghitung karung-karung beras, bapak yang berjanji untuk menyekolahkan saya hingga ke kota Makassar, bapak yang membela saya dalam keadaan apapun, bapak yang enggan memiliki anak lain lagi karena semua kasihnya telah tercurah untuk saya. Bapak ….
o0o

Hari itu, saya baru saja pulang dari sekolah, menjinjing tas plastik dengan riang. Saya heran melihat pintu rumah kayu kami yang sedikit terbuka. Tak pikir dua kali, saya langsung masuk dan begitu saja melihat pemandangan yang ada di dalam sana.

Rumah kami hanya rumah kayu umum yang dimiliki semua orang di desa, dengan tiang-tiang kayu kokoh dan ruangan tanpa sekat. Dapur, ruang tamu, dan kamar bersatu semua. Sumur terletak di bawah rumah, ingin buang air kecil kita harus turun ke bawah.

Maka, kagetlah saya melihat bapak menyentuh kening kawan mamak yang berbaring di dipan kayu kami.

“bapak?” bisik saya.

Mereka menoleh, bapak tersenyum ceria. Menghampiri saya, lantas berkata santai.

“Tante Ramlah akan jadi ibu tiri Asse.”

Saya paksakanlah senyuman, berpura-pura bahagia. Kala itu umur saya masih sepuluh tahun, masih sangat muda untuk mengerti bahwa setelah mereka menikah, saya akan sempurna menjadi anak sebatang kara.
o0o

Dua tahun pertama pernikahan mereka semua masih berjalan baik. Saya sekolah, sesekali ikut ke pabrik dengan bapak. Tahun ketiga juga begitu, pun dengan tahun keempat. Tahun kelima perut Tante Ramlah membuncit. Dia hamil, anak bapak. Saya bahagia, dia sebentar lagi meninggal seperti mamak yang melahirkan saya. Maka, tak proteslahh saya saat dia sibuk menyuruh segala macam pekerjaan. Mulai mengepel dinding kayu rumah kami, mencuci piring, memetik daun singkong di belakang rumah, menumiskannya jantung pisang, mengurut kakinya. Tak masalah, sungguh. Semakin besar perutnya, semakin giat pula saya bekerja.

Tapi, perkiraan saya salah adanya. Tante Ramlah hidup, tetap hidup dengan bayi mungilnya. Kenapa? Kenapa harus mamak saya yang meninggal, sementara dia tidak?

Bapak yang mulanya berubah, kini makin berubah lagi. Mereka bertiga menjadi sering menghabiskan wwaktu bersama, ke kota untuk membeli baju bayi, meninggalkan saya yang rindu kasih sayang bapak.
o0o

Tahun ketujuh, saya lulus SMA. Menyabet nilai terbaik dari tujuh belas siswa lain. Aduhai, bangganya saya pulang dengan ijasa yang terdekap erat. Membayangkan tatap berbinar bapak.

Tapi, salah. Rumah kayu kami sepi, sunyi tak berpenghuni. Lemari-lemari baju bapak, Tante Ramlah, dan adek bayi juga ikut sunyi. Ke mana mereka?

“Mereka pergi berlibur,” itu pikir saya.

Menunggu satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari. Satu minggu, dua minggu tiga minggu … dan seterusnya mereka tak pulang. Ke mana bapak?
o0o

Dan, di sinilah saya sekarang. Di pekuburan desa, dengan orang terkasih di bawah sana. Gelap semakin memeluk langit, sementara saya duduk menggigil dengan baju yang penuh tanah. Saya sedang menggali tepat di ssebelah kuburan mamak,

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Nabila Sweetha

Pembaca Novel remmaja, senang nulis dan makan coklat

12 komentar

  1. Ceritanya bagus de. Semangat terus ya bikin tulisan yg cerita-ceritanya keren kaya gini.

  2. Sukaaaa, aku bisa membayangkan ada di cerita itu.
    Sedikit saja typo, tapi nggak mengurangi isi cerita. Lanjutkan kakak.

  3. Cerita sedih, banyak cerita di dunia nyata yang sama di luar sana, tetapi dituturkan dengan gaya khas penulis cantik ini. Semangat menulis ya dek bila

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *