Antara realita dan idialitas dalam pernikahan bagi seorang tunanetra

Sorry sorry, judul tulisan ini memang dirasa nggak penting, tapi dalam kehidupan nyata manusia dari generasi ke generasi sering kali terjadi.

Banyak sekali hikmah dalam realita yang kita alami kalau kita mau menyadarinya. Ada kisah seorang laki-laki tunanetra yang berusia 26 tahun yang sedang berdiskusi dengan ibunya di ruang tamu sembari mendengarkan lagu-lagu Koes Plus di salah satu stasiun radio melalui aplikasi radio fm di handphone bututnya. Meski tidak ditemani oleh roti dan secangkir teh atau kopi hangat di meja, karena si laki-laki tunanetra dan ibunya sedang puasa sunnah senin kamis, namun diskusi antara ibu dan anak tetap dilaksanakan. Meski lapar dan dahaga yang menyerang kerongkongan, tidak menyurutkan semangat mereka.

Mulailah laki-laki tunanetra ini berkata pada ibunya: “bu, ternyata di kehidupan pernikahan orang-orang yang dianugerahi kekurangan dalam pengelihatan seperti aku itu sama dengan yang diberi pengelihatan ya bu?”.

Ibunya menjawab: “Ya jelas ta le, kamu, teman-temanmu yang sama-sama tunanetra, juga teman-temanmu yang diberi pengelihatan itu sama seperti kita ini le. Kowe ki piye ta le?”.

Laki-laki tunanetra itu menjawab: “Begini lho bu, aku pernah dengar cerita dari teman-teman sesama tunanetra. mereka cerita soal nikah, mereka punya pasangan yang bisa melihat, ada juga sebagian dari teman-temanku punya pasangan yang sama-sama tunanetra”.

Ibunya kembali bertanya: “Terus, apa yang menjadi tanda tanya besar dalam hatimu kui le?”.

Laki-laki tunanetra itu terdiam sejenak. Sambil menarik napasnya, dia mencoba untuk mengungkapkan isi hatinya. Menit demi menit, detik demi detik, hingga jarum jam menunjukkan pukul 10:00 pagi, akhirnya sang laki-laki tunanetra tadi menjawab pertanyaan ibunya. Anehnya, jawaban itu berupa pertanyaan dan pernyataan.

Berkatalah si laki-laki tunanetra itu: “Bu, … Selama ini aku mendengar cerita mereka yang punya pasangan entah yang sama-sama tunanetra, atau salah satu dari mereka bisa melihat. Rata-rata mereka ini perawan atau jejaka. Aku belum mendengar kabar kalau pasangannya ada yang statusnya duda atau janda. Kira-kira ada tidak bu?”

Ibunya tersenyum sembari menjawab pertanyaan dari putranya: “Le, … Jelas ada ta le. Sik le, ibu arep matur. Kowe pernah cerita nek ada satu temanmu sesama tunanetra jadi duda. Kelingan ora le ceritamu saebelum acara syawalan tahun-tahun kepungkur kae ora le?”

“Injih bu, … Aku pernah cerita sama ibu beberapa tahun lalu. Memang ada bu, teman yang duda, beliau juga tunanetra, padahal beliau itu guru lho bu”. Jawab si laki-laki tunanetra tadi.

“La ya kui le, padha. Wis ta, percayalah dengan ibumu ini. Siapapun dia entah tunanetra, entah tunadaksa, entah apapun itu, soal pasangan baik statusnya jejaka dan perawan, atau duda dan janda, semua sudah ditentukn sama Allah le.” sahut ibunya.

“Terus apa lagi le?” Ibunya bertanya lagi.

“Ada bu”. Jawab laki-laki tunanetra itu.

“Ngaten bu. Beberapa tahun lalu sampai sekarang, aku pernah tanya soal idialitas ke teman-teman tunanetra. Jawabannya beragam, ada yang sebagiannya ingin punya pasangan yang bisa melihat, tapi ada juga sebagiannya yang lain menjawab ingin punya yang sesama tunanetra. Al-hamdu lillah ada yang kesampaian semua keinginannya, ada juga yang tidak sesuai. Namanya juga hidup”

Laki-laki tunanetra tersebut menceritakan idialitas atau keinginan teman-temannya yang sama-sama tunanetra entah yang menginginkan punya pasangan yang bisa melihat, atau yang sama-sama tunanetra.

Laki-laki tunanetra itu melanjutkan ceritanya: “Ada juga lho bu sebagian tunanetra punya keinginan punya pasanngan baik yang diberi kelengkapan fisik, atau diberi kekurangan itu rata-rata kok semuanya jejaka dan perawan ya bu? Aku jadi heran je bu”.

Ibunya menjawab sembari melontarkan senyumnya: “Ha, … ha, … Rumangsaku kok ceritamu fokus ke situ ta le? Apa yang kamu herankn? Ngene lho le, rasah gumun kalau semua teman-temanmu itu nikah dengan status perawan atau jejaka. Uwis le, … Pisan meneh rasah gumun.” tutur sang ibu kepada laki-laki tunanetra itu.

Laki-laki tunanetra dan ibunya pun terdiam sejenak, namun jarum jam terus berjalan. Hingga suatu ketika, si anak-anak laki-laki tunanetra itu memberikan pendapatnya kepada ibunya:

“Bu, … Pangapunten kalau pendapat ini mengagetkan ibu. Ngaten bu, duda tunanetra pernah dengar beritanya dan pernah juga mendengar langsung dari beliaunya. Sepertinya kalau kaum adam jadi duda lebih-lebih tunanetra itu tahan uji. Yang berat itu kalau seorang tunanetra punya istri yang statusnya janda, lebih-lebih sama-sama tunanetra lho bu.”

Ibunya bertanya: “Alasane apa le? Kok bisa kowe ngomong ngana?”

Laki-laki tunanetra itu menjawab sembari membenahi posisi duduknya dan menarik napas panjang:

“Bu, yang namanya janda itu banyak godaannya, apa lagi dia punya paras yang cantik, masih muda, bahkan posturnya dibilang aduhai kata orang. Pastinya banyak laki-laki yang kepencut dengannya. Yang lebih ekstrim bu, ada juga laki-laki yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan si janda bu. apapun usianya, asalkan bisa mendapatkan janda. Oh iya, aku ingat sebuah kalimat dari beberapa lagu yang ada di radio yang isinya begini: “Ora kena perawane, tak enteni randhane”. Ada juga yang kalimatnya seperti ini: “Ku tunggu jandamu”, terus … Senajan tilas, tak enteni randhane.”

Ibunya mengela napas panjang dan berkata: “Hmm, … Cen iya le, nek bab janda malah nggak ada habisnya, apa lagi banyak yang menyukainya. Jujur, … satus janda lebih-lebih yang punya paras ayu, entah yang difabel atau yang bukan difabel sama saja. Justru malah ujiannya dobel.”

“Nah, … itu bu yang aku maksud. Ujiannya luar biasa bu, ada satu bu yang menjadi pertanyaan. Ada tidak laki-laki tunanetra dengan janda?”

Ibunya menjawab: “Wah wah wah, ya ada, … piye piye piye?”

Laki-laki tunanetra itu menjawab pertanyaan ibunya ke sekiian kali: “Ya, … mudah-mudahan ada bu teman-temanku yang bisa menikahi janda, kalau memang ada yang menyukai janda. Soalnya kalau laki-laki tunanetra menikahi janda apalagi berparas cantik, tunanetra, masih kinyis-kinyis, waduh, harus bertarung mati-matian demi mendapatkan janda tadi. Yassalaaam, … elok tenan ujiane nek rabi ro randha. Sudah mendapat gunjingan orang, belum lagi ujian yang lain.”

Ibunya pun menanggapi pernyataan anaknya: “Bener le. Ning ana lho le janda yang lenjeh.”

Seketika itu juga laki-laki tunanetra kaget dan berkata: “Ha? … Ami-amiiiiiiiiit, … aku keingat acara pembacaan buku yang kisahnya tentang seorang janda yang begituan. Masya Allah! Na’uzhu billahi min zhalik, … semoga tidak mengalami yang seperti itu.”

Ibunya mengamini doa anaknya: “Amiiin, … Ya Rabbal Alamiiiin.”

#SalamAdemAyem

Kotagede,

Ramadhan 1441 Hijriyah.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Prima Agus Setiyawan

Saya seorang tunanetra total yang mau berkarya

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *