Apa Salahnya Tunanetra Mencoba Hidup Mandiri?

Hai pembaca yang baik, berjumpa lagi dengan ocehan saya di sini. Kali ini saya ingin menyambung tulisan saya terdahulu tentang “Mengekang Anak Tunanetra, Awal Mula Ketidakmandirian”. Sebetulnya saya tidak berniat melanjutkan tulisan tersebut, namun karena tadi pagi saya membaca status Facebook seorang sahabat, maka naluri saya tergelitik untuk menyambung apa yang sebelumnya pernah saya tulis.

 

Pada tulisan sebelumnya saya mengutarakan pendapat saya tentang sisi negatif dari anak tunanetra yang terlalu dikekang seperti burung perkutut di dalam sangkar. Coba pembaca bayangkan, apa jadinya kalau pengekangan itu terus berlanjut sampai anak itu menginjak usia dewasa? Apa yang bisa pembaca pikirkan jika anak tersebut masih berada di bawah ketiak orang tua bahkan sampai dia menikah? Mungkin ilustrasinya seperti kejadian berikut ini.

 

Saya punya seorang sahabat (tunanetra) yang kebetulan sudah menikah sejak beberapa tahun yang lalu. Profesinya adalah seorang musisi. Dan kebetulan juga sahabat saya itu masih tinggal dengan orang tuanya. Sebagai seorang musisi, tentu saja dia membutuhkan “upgrade” peralatan yang dia miliki untuk mengimbangi perkembangan musik dari tahun ke tahun. Ambil contoh mudahnya saja, seorang pemain keyboard (organ tunggal) biasanya membutuhkan sampling atau expantion pack untuk memperkaya suara dari keyboard yang dia miliki. Begitu juga seorang gitaris, dia juga harus memiliki efek yang lengkap untuk menghasilkan musik yang bervariasi.

 

Ups, jadi out of topic begini. Mari kita lanjut. Masalah mulai timbul ketika sahabat saya itu ingin membeli tambahan peralatan untuk mendukung pekerjaannya sebagai musisi. Mungkin karena peralatan yang ingin dibeli harganya lumayan mahal, sahabat saya meminta bantuan dana dari orang yang ada di rumahnya. Bukannya bantuan dana yang didapat, dia malah dimarahi tanpa alasan yang kuat.

 

Karena jenuh dengan kondisi seperti demikian, sahabat saya berpikir untuk pindah dari rumah orang tuanya dan mengontrak rumah sendiri. Sahabat saya berpikir sudah saatnya dia mencoba hidup mandiri dan tidak “merepotkan” orang tuanya. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Orang tua sahabat saya itu malah melarang dengan berbagai macam alibi yang “menurut mereka” bisa menahan sahabat saya untuk tidak pindah.

 

Dari ilustrasi kejadian di atas, saya mengambil beberapa poin penting. Pertama, saya mempertanyakan, sebetulnya apa yang diinginkan oleh orang tua tersebut? Ketika sahabat saya meminta bantuan, mereka terkesan tidak mau membantu, tetapi ketika sahabat saya ingi pindah dan mencoba hidup mandiri, mereka malah menahan dengan alasan yang terkesan mengada-ada.

 

Poin kedua, apa salahnya membiarkan tunanetra mencoba untuk hidup mandiri? Karena umur manusia tidak ada yang mengetahui bukan? Tidak akan mungkin seorang tunanetra akan terus hidup dengan orang tuanya. Yang pasti, perpisahan itu harga mati dan pasti terjadi.

Lagipula, ketika seseorang sudah menikah, artinya tanggung jawabnya sudah tidak terfokus terhadap orang tua lagi, namun dia punya tanggung jawab yang lebih besar terhadap istri dan anak-anaknya.

 

Mungkin orang tua berpikir apa jadinya nanti jika anaknya hidup “sendiri” tanpa bantuan mereka di sebuah rumah kontrakan? Kembali lagi ke stigma umum di masyarakat yang menganggap tunanetra hanya bisa hidup mengemis dan meminta-minta. Memang masih banyak orang tua yang berpikir demikian. Namun, perlu diingat bahwa zaman telah berubah. Mungkin orang tua yang berpikiran konservatif seperti itu harus banyak melihat ke dunia luar dan melihat seperti apa dunia tunanetra yang sebenarnya.

 

Lagipula, mungkin sekarang anaknya masih mengontrak rumah. Tetapi siapa yang tahu beberapa waktu kemudian pada akhirnya dia bisa membeli rumah sendiri? Seperti pribahasa, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.

 

Nah, dari tulisan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa bagaimana pun keadaannya, setiap manusia harus mencoba untuk hidup mandiri dan orang tua seharusnya tidak boleh melarang. Karena kita tidak akan tahu kapan “perpisahan” itu terjadi.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

8 komentar

  1. Idealnya orangtua memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk mencoba hidup mandiri, tapi ketika anak-anaknya membutuhkan bantuan ya harus dibantu. Saya kira itu bukan cuma tunanetra, tapi orang pada umumnya.

    1. tapi menurut saya itu si tergantung dari orang tuanya deh, ada yang tetep manjain hingga mereka meninggal dunia, aga sulit kalau ideal hihihi

  2. tapi ada sudut pandang lainnya. biasanya apabila orang tua itu punya beberapa anak, dia menginginkan anak terakhir tetap tinggal bersamanya. dengan tujuan agar ada yang menemani dan merawat apabila terjadi hal2 yang tak diinginkan. Mungkin konsep untuk mengajak orang tua tinggal dengan anak itu baik, tapi tidak semua orang tua mau merepotkan anaknya. Bahkan ketika anak2 dia sudah mandiri semua dan bahkan lebih kaya dari orang tuanya, tetap saja tiap lebaran orang tua memberikan uang ke cucu-cucunya. tetap ada kebanggaan tersediri apabila orang tua mampu memberi untuk anak cucunya. jadi sebetulnya hal ini tidak dapat dilihat secara hitam-putih, tapi lihat juga karakter masing2.

  3. Kekhawatiran yang berlebihan dan sikap perendahan serta stigma negatif, aku muak dengan ini…

  4. Memang sudah seharusnya siapapun, termasuk tunanetra jika sudah berkeluarga bisa hidup mandiri. Tapi saya punya cita-cita, setelah saya punya rumah, saya ingin ajak orang tua saya untuk tinggal bersama saya. Jadi beda prospektif, kan?

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *