Asa Dua Suara, Satu Cermin

Matahari sudah meninggi, dengan kegagahan sinarnya, tak berkesudah mencecap berkali kulit ribuan manusia di kota ini. Riuh gumpalan awan berdesakan, bergerak serias seirama mengikuti gerak rotasi bumi. Hilir-mudik orang-orang di sepanjang jalan seolah menyatakan bahwa “ini kota padat”.

Langkah seorang wanita paruh baya bergerak cepat. Dengan nafas memburu, terengah menuju rumah sakit demi memastikan bahwa anak gadis yang dicinta telah mendapatkan penanganan medis yang tepat.

“Bagaimana keadaan Safira, Dok?”

Sejenak hening, raut muka sang dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU menyiratkan ketidakpastian hingga membuat jantung wanita itu berdegup tak berirama.

“Maaf, kami harus mengatakan ini. Kecelakaan yang dialami Safira memposisikannya harus kehilangan kaki atau nyawanya akan terancam. Karena itu, kami membutuhkan persetujuan Anda sebagai keluarganya untuk operasi secepatnya sebagai tindakan keselamatan.”

Allah….! Hatinya menjerit. Kakinya terasa lemas, hingga tak mampu menopang tubuhnya. Dia bergerak mundur dan bersandar pada dinding tembok. Dirinya tak lagi berada dalam kendali. Matanya berangsur menuai bibit-bibit berembun, tumpah meruah tanpa henti.

******

Pagi begitu cerah menyeduhkan udaranya yang sejuk. Deretan melodi kicau burung menghampar ditengah matahari yang mulai tertatih berdiri. Dalam hingar bingar pasien rumah sakit, kami terduduk bersama di sebuah kursi taman, berhadapan dengan pancuran air berhias ikan-ikan penuh warna didalamnya. Ikan-ikan yang lincah mengerlingkan sirip-siripnya, melukis bulat berulang riak demi riak gelombang air. Namun, harmoni alam yang disunggingkan pagi ini, sangat kontras dengan kondisi Safira sekarang.

“Adakah asa ditengah pergumulan derita? Adakah cinta tulus tanpa khianat? Adakah yang masih mampu menerima kondisiku sekarang?”

“Safira…asa itu ada, selalu ada. Kehadiran asa mampu menghadirkan keajaiban, dan keajaiban tak mampu dijangkau oleh nalar logika manusia.”

“Tapi…orang yang kucintai saja meninggalkanku, bahkan telah mengkhianatiku sebelum aku mengalami kecelakaan ini. Setelah cacat ini, mungkin dia semakin mengejekku dan berkata, ‘tidak salah bila aku pergi dengan wanita lain’. Aku….”

Matanya meredup dan perlahan berkaca-kaca. Membuat hati yang melihat terasa berjeruji sembilu. Keriangannya kini berubah menjadi duka pekat kepedihan. Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, segera kupeluk ia erat-erat untuk membesitkan untaian kekuatan.

“Safira, aku mengerti. Sangat mengerti…menangislah sampai kamu merasa lebih lega. Aku di sini, bersamamu.”

Angin mengisyaratkan kami dalam rantai nasib yang sama, terluka karena gores lukis khianat. Atas nama dan atas rasa persamaan nasib jugalah yang menjadikanku ingin berada di sisi Safira. Menemaninya, menjadi topangan baginya tuk melewati bait demi bait lantunan luka menjadi bait demi bait gemericik ceria.

******

Pagi ini sama dengan pagi yang sudah, pun tempatnya. Alam masih mengulas senyum harmoni dengan manisnya. Namun, ada yang membuatku merasakan aura lebih dari sekedar manisnya harmoni alam. Yah, Safira…Safira yang terlihat berbeda.

Safira sepertinya telah bisa menikmati pagi. Semburat alunan cerianya perlahan menyatu dengan rentetan kicau “selamat pagi” yang terceletuk lewat paruh-paru kecil itu. Matanya memejam, merasakan sinar mentari mengukir hangat kulitnya. Senyumnya berbias, seindah bias warna-warni ikan yang meriakkan kolam penghidupan.

“Bantu aku menorehkan mimpiku, yah? Mimpi yang bukan sebatas angan dan angin. Mimpi yang keberadaannya berwujud.”

“Safira…kamu masih ingat kan, aku pernah bilang ‘aku akan menjadi setiamu’. Kamu tahu artinya itu bukan? Aku akan selalu di sisimu.”

“Iya…. Kau tahu? Aku ingin menjadi orang yang dipandang bukan karena pandangan ‘kasihan’, tapi orang yang mampu memberikan sentuhan inspirasi bagi orang-orang sepertiku atas nama senasib dan serasa. Aku ingin membantu mereka, mengatakan kepada mereka bahwa ‘Kalian tidak sendiri’. Ingin…ingin sekali kulakukan semua itu.”

“Pasti…pasti kamu bisa. Selalu ada jalan dan keajaiban. Keajaiban-Nya mampu mengalahkan kemustahilan, karena keajaiban-Nya hanya bisa teraba oleh hati yang berpikir, hati yang yakin dan percaya penuh kepada-Nya.”

Begitulah aku mengokohkan diri dengannya. Menyokong ketidakberdayaan menjadi celah keajaiban baginya. Menajamkan cengkraman mimpinya setajam cengkraman elang.

******

Hari ini, kali pertama Safira diijinkan keluar dari rumah sakit setelah operasi. Menurut dokter, kondisinya kian membaik. Dokter juga berkata,

“Memang sebaiknya Safira diijinkan sedikit menghirup udara luar, untuk menghilangkan jenuh.” Namun…aku sedikit bertanya, sudah siapkah dirimu menghadapi dunia luar?Dunia yang akan memandangmu berbeda dari biasanya….

Pagi ini, lukisan alam mengingatkan kembali wanita paruh baya itu dimana dia pernah terengah menuju rumah sakit demi sang putri tercinta. Sama. Masih dengan stempel matahari yang panas dan kota yang padat penuh sesak lalu-lalang manusia. Yang membedakan adalah pandangan orang-orang yang berlalu-lalang. Terkadang, langkah mereka yang bergegas menjadi terhenti sekian detik hanya untuk memandanginya dengan tatapan “kasihan”. Padahal Safira bukan orang yang hina lagi papa.

“Sudah, tak usah kau perdulikan mereka!” ujarku.

Wanita paruh baya itu berhenti menuntunnya, kemudian mengusap lembut rambutnya sebagai tanda “Ada ibu di sini, Nak”, senyum tegarnya terpancang untuk Safira.

“Iya, Ibu…aku baik-baik saja.”

Sampailah Safira di sebuah gedung menjulang tinggi dengan atap mencakar langit. Orang-orang masih memandangnya dengan tatapan yang sama. Namun, Safira tetap berlalu. Dengan lift, ia bersamaku dan ibunya mencapai ruangan yang dituju. Tertulis di atas pintu masuk “Ruang Redaksional”. Seorang lelaki berbadan tegap penuh wibawa duduk dengan santai, kemudian mempersilakannya duduk.

“Ini naskah yang saya janjikan, Pak.”

“Baiklah, silakan tunggu sebentar.”

Lelaki itu, bolak-balik mengernyitkan alis sambil menghilir-mudikkan kertas demi kertas. Ronanya tak menentu, tak mudah ditebak. Dan Safira hanya bungkam, menelisik dengan cemas. Pikirannya mengawang jauh tanpa harus tahu dimana ia memijakkannya.

“Maaf, sepertinya saya bukan orang yang tepat untuk Anda. Apa yang anda tulis, kurang sesuai dengan apa yang kami usung di perusahaan ini.”

Safira sedikit kecewa, namun dia tetap tersenyum sembari mengucap terima kasih sebelum akhirnya berpamitan. Di tengah parkiran gedung, tak dinyana dia bertemu dengan manusia khianat yang telah merenda luka dengan benang-benang kepedihan dihatinya. Tak tanggung-tanggung, lelaki itu menggandeng wanita penggoda yang mencerai-berai jalinan kasih diantara mereka. Pandangan mereka seolah mengolok-oloknya.

“Jangan menangis Safira, jangan! Tiada guna kamu menangisinya. Jadikan ini sebagai pemantik untuk kamu bangkit. Jadikan kamu yang terlihat terbatas menjadi luar biasa tanpa batas. Jalankan terus mimpimu tanpa asa yang putus, tanpa asa yang terjegal.” Aku langsung membentenginya.

“Tapi…aku hanya manusia biasa, luka ini masih terus bergelanyut, tak semudah itu terbuang. Sekalipun terbuang, akan ada luka yang menjejak.”

“Iya…aku sangat mengerti, sangat mengerti. Karena itulah aku selalu bersamamu. Kamu tahu? Aku mampu melihat apa yang terluput. Aku tahu, kamu tak selemah itu! Bahkan, tak ada seorang manusia pun yang bisa memberimu ‘ketok palu’ bahwa kau tidak berbakat karena cacat. Di atas langit masih ada langit, dan langit tertinggi adalah langit ketujuh dimana Arsy-Nya terletak, kerajaan tertinggi tempat-Nya bersemayam. Dia Yang Maha Agung, manusia hanyalah mahluk kecil tanpa kuasa. Jadi, tak perlu khawatir dengan ‘ketok palu’ itu, karena masih ada Dia yang mampu merubahnya dalam kejap tak terduga.”

Safira akhirnya mengangguk, dia kembali tenang. Sementara sang ibu selalu menghadirkan senyumnya, seakan sealur denganku.

Mega dilangit merapat. Matahari merunduk mundur menuju barisan belakang. Majulah gugusan mendung menjadi tamengnya. Serabut hantaran kilat memberikan isyarat tuk langit melantunkan musiknya. Buih-buih air berderet teratur, bersiap merintik perlahan menyapa tanah kering. Bersama dengan rinainya, rahmat-Nya turun ke bumi.

“Berdoalah…berdoalah dengan segenap hati. Karena saat ini, hatimu sedang teraniaya dan saat ini bersamaan dengan turunnya hujan. Ini adalah kesempatan-Nya untuk mengijabah do’amu,” bisikku pada Safira.

******

Sekali lagi, di pagi hari, berulang dari cercah pagi yang lalu, di rumah sakit yang sama jua. Yah, kini…Safira telah lekat dengan pagi. Pagi adalah saat yang paling ditunggunya untuk bersenda gurau melantun melodi bersama harmoni alam. Tak hanya pagi, jauh sebelum pagi. Di sepertiga malam-Nya, dia lebih dulu berteman dengan keheningan sujud, berintim dengan decap doa dan keindahan ayat-ayat-Nya. Hingga pasung keterpurukan lamat-lamat menjauhinya.

“Bu, aku ingin berbagi dengan yatim piatu…merasakan berada ditengah-tengah mereka. Aku juga ingin mengunjungi Yayasan Penyandang Cacat…larut bersama mereka.”

“Iya…. Ibu ijinkan. Apapun keinginanmu, Nak… Ibu akan berusaha untuk penuhi.”

“Terima kasih, Bu.” Sang ibu menariknya dalam hangat dekap, membuat Safira dalam damai.

Kicau burung mendendang, berpadu dengan tarian sederet kupu-kupu karya-Nya. Semua itu seakan menjadi sebuah persembahan bagi Safira. Hingga bungahnya membuncah kian merekah.

“Safira…tampaknya kau mulai menemukan dirimu. Kau tidak perlu lagi kehadiranku.” Aku memecah riang gempita dalam matanya.

“Tidak! Aku tetap membutuhkanmu, tinggallah bersamaku. Kau dan aku saling terkait. Tak bisa terpisah. Terkunci dalam satu asa. Bersamamu, jejak kaki ini akan merentas dunia. Menapakinya dengan gurat-gurat mimpi yang tak pernah padam.”

“Yah… Aku mengerti.”

******

Kali ini bukan pagi, tapi menjelang magrib dimana senja telah mengusung kelambu benderang malam. Lebih tepatnya, Siang-Nya telah berganti malam. Dan bukan di rumah sakit, tapi di sebuah Yayasan Penyandang Catat sekaligus Panti Sosial Asuhan Anak. Safira benar-benar melaksanakan niatnya untuk meluruh bersama mereka yang kurang beruntung dan mengalami “keterbatasan” seperti dirinya.

Begitu banyak pelajaran yang ia dapatkan di sini. Di sinilah ia merasa teramat keberuntungan yang dilimpahkan-Nya disela keterbatasannya. Penghormatan tertinggi terhadap rasa syukur terpatri kuat dalam diri masing-masing, baik itu penyandang cacat, yatim piatu maupun pengurus yayasan. Hingga hidup terasa luas, tanpa terkotak-kotak perbedaan. Di sini pulalah ia semakin menghujamkan mimpinya, hingga menadi dan mendarah.

Mozaik bintang tercecer acak penuh sinar, sepadu dan sepadan dengan temaram purnama yang bulat sempurna. Malam ini, ia telah memutuskan untuk tinggal di sini. Bahkan, terpikirkan olehnya ia akan bertahan di sini untuk mengisi hidupnya. Menjadi salah seorang pengurus yayasan sosial dan menyatukan diri sebagai bagian dari mereka yang ada didalamnya.

“Safira, sedang apa di sini?” suara ibu Nur, salah seorang petugas panti mengagetkannya.

“Menikmati malam, Bu,” ucap safira dengan senyum.

“Boleh, Ibu menemani? Oh, ya…pakai jaket ini. Malam ini dingin.” Ibu Nur begitu hangat terhadap Safira.

“Silakan, Bu. Terima kasih untuk jaketnya. Senang rasanya, ibu begitu perhatian.”

“Ah…itu bukan apa-apa. Kehadiranmu di sini lebih menyenangkan bagi kami.”

Safira tak pernah berhenti menatap lekat wanita itu. Wajahnya bersih bercahaya seperti arti namanya. Nur, yang artinya cahaya. Pembicaraan demi pembicaraan semakin merekatkankan mereka. Sampai akhirnya sejenak hening, hening yang teduh.

“Sudahkah kau berhasil mengecap nikmat kemenangan impian, Nak?” tanya wanita itu memecah sunyi.

“Belum, Bu. Aku masih dalam langkah mengejarnya. Aku tak akan berhenti begitu saja apalagi membuang mimpiku. Bila aku tak lagi memiliki mimpi, bukankah itu artinya aku tak punya tujuan hidup? Tepatnya, membuang hidup.”

“Yah, teruslah hidup dengan tekad kuat untuk memetik mimpimu, tak menyerah ketika harus bergulat dengan batu penghalang. Bergeraklah tanpa henti. Letakkan keyakinan dan kepercayaanmu pada-Nya, seperti proses yang telah kau lewati. Pupuki itu, agar tumbuh menyubur,” petuah ibu Nur mengiringi malamnya. Safira mengangguk pertanda sekata.

Malam telah berlalu, pagi kembali menyapa. Begitu cepat detik waktu berjingkat, membolak-balikkan hari…siang menjadi malam, kemudian ke pagi hingga nantinya beranjak siang kembali. Kini, saatnya Safira kembali ke rumah sakit. Pagi itu, Safira harus menjalani general check-up.

******

Hasil check-up menunjukkan keadaan baik, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bekas luka operasi amputasi juga berangsur mengering.

“Aduuuh….naskahku di mana, yah?”

“Mungkinkah kamu meninggalkannya di suatu tempat? Tenang dulu, baru kamu coba ingat-ingat kembali. Kapan terakhir kali kamu membawanya?” Aku menenangkannya.

“Aku tak bisa mengingatnya….” Safira hampir menangis, naskah itu sangatlah berharga baginya. Naskah itu asa impiannya.

“Tenang Safira! Panikmu tidak akan menyelesaikan masalah!” hentakanku memaksanya untuk tenang. Dalam diam, deru nafasnya terasa berkejaran tanpa ritme teratur. Safira sedikit lebih tenang ketika ia berkali menyebut nama-Nya. Samar menjadi terang, hingga membuatnya mampu mengingat.

“Iyah, semalam tertinggal di Yayasan Penyandang Cacat itu. Aku harus segera ke sana untuk mengambilnya.”

Detik itu juga Safira putuskan untuk kembali ke Yayasan Penyandang cacat itu. Bersamaku dan sang ibu.

“Tidak ada di sini Safira, tadi ibu sudah mencarinya di seluruh sudut ruangan. Coba kamu ingat-ingat lagi. Di mana kamu meletakkannya?” tanya ibu Nur.

 “Di atas meja ini, Bu. Saya yakin.”

“Mmm…sebentar. Oh, ya…ibu baru ingat, mungkin tercampur dengan proposal bantuan dana yang baru saja ibu kirimkan kepada donatur. Ibu tadi tidak sempat memeriksa tumpukan itu karena terburu-buru.”

“Lalu, di mana alamat donatur itu, Bu? Atau, adakah nomornya yang bisa dihubungi?” Ibu Nur mengangguk. Dengan cekatan, beliau memberikan daftar alamat dan nomor telepon donatur tersebut. Setelah selesai, Safira segera kembali ke rumah sakit. Serentas jalan terjejak hingga rumah sakit, Safira bersungut gelisah. Pikirannya memanas, akankah jerih yang aku kumpulkan dengan goresan pena di lembar demi lembar kertas terbuang sia tanpa jeda selamat?

“Janganlah kamu cemas dan khawatir berlebih. Itu akan menghadirkan buruk prasangka. Ingat, Allah mengikuti apa yang diprasangkakan hamba-Nya. Tetaplah yakin dan percaya kepada-Nya seperti harimu yang telah tercecap. Jangan kau luluhlantakkan nikmat iman yang dengan payah kau pahat detik demi detik hingga sekarang. Sekali lagi percayalah pada keajaiban-Nya,” tak henti aku mengiang di telinganya.

“Iya…aku mengerti.” Safira berlalu, jengkal demi jengkal kakinya beringsut menuju mushola rumah sakit. Waktu belum menunjukkan jam 11.00 WIB. Dia menunaikan Duha. Salah satu amalan pembuka pintu rezeki. Gelitik gelisah leleh melebur bersama mutiara do’a.

******

“Safira, Anda berbakat. Sungguh, naskah yang sarat akan makna dan pengajaran. Jika Anda ijinkan, Saya ingin ini diterbitkan.” Seorang pria terlihat tawar-menawar dengan Safira. Oh, bukan…! Tepatnya mengajukan permohonan kerjasama.

“Terima kasih, Pak. Ini hanya sebuah karya kecil.” Safira merendah.

Pria yang menjadi donator Yayasan Penyandang Cacat itu, ternyata pemilik perusahaan penerbitan ternama, bahkan tercap sebagai perusahaan branded. Ia telah membaca naskah Safira yang tanpa sengaja terbawa bersamaan dengan proposal yang diajukan Yayasan. Sungguh, sebenarnya keajaiban-Nya sedang bekerja untuk Safira. Mulai dari kedatangannya ke Yayasan, kemudian naskahnya tertinggal di sana hingga akhirnya terbawa sang donatur.

Semua rencana-Nya begitu indah bergulir. Namun memang, kesabaran Safira sempat teruji. Asanya hampir pupus, ketika suratnya kepada sang donatur berisi permohonan pengembalian naskah miliknya belum juga berbalas. Pun dia sulit menghubungi nomor si Empu. Dan aku, tak pernah berhenti menyemat kalimat berulang            

“Tetap berprasangka baik, yakin dan percaya tanpa mengeja ragu kepada-Nya”.

Kini…terjawablah sudah. Keajaiban-Nya berwujud. Asa kian terbuka, lewat peluh perjuangan terpercik. Jatuh…bangun…terseok…tersakiti…tercaci…tertatih bangkit. Semuanya kini melindapkan haru kebahagiaan bagi Safira. Bagiku juga tentunya.

******

Etalase buku best seller di setiap toko buku bahkan pusat perbelanjaan ternama di seluruh penjuru daerah, tak luput dari namanya. Berderet terpajang. Yah, novelnya telah terbit. Tercetak semakin banyak, menginspirasi dan memotivasi banyak orang.

Safira berhasil menghadirkan sentuhan karya terbaik. Menggugah jutaan hati. Ia berhasil membuktikan bahwa terbatas tak menyurutkannya menjadi luar biasa tanpa kotak batas. Gubuk derita berhasil merunduk tersungkur, berganti kebahagiaan merangkak berdiri. Tak hanyak gubuk derita merunduk, manusia yang dulu khianat kepadanya pun bertekuk lutut mengharap maaf. Manusia itu telah mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya. Kehilangan hartanya dan dikhianati. Maha Adil Sang Pencipta, Dia tak pernah tidur akan penderitaan hamba-Nya yang teraniaya.

Hatinya merunut, hingga akhirnya tersadar…teringat akan doa terpanjat kala hatinya tersakiti dan rahmat-Nya turun dalam rinai hujan. Safira melihat ijabah do’anya berbuah, setelah menjadikan pagutan sabar dalam peraduan panjang penantian.

“Terima kasih…kau mengingatkanku untuk berpanjat doa kepada-Nya saat itu.”

“Yah…aku akan selalu mengingatkanmu.” Aku tersenyum.

Hari demi hari, selalu Safira isi dengan tuai kebaikan, membentuknya menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Mengisi seminar motivasi dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya sudah menjadi santapan hariannya. Di luar itu, ia menghabiskan waktunya di Yayasan Penyandang Cacat dan Panti Sosial Asuhan Anak dimana dulu pernah berkelebat keinginannya untuk menjadi bagian dari mereka. Yah, ia melaksanakan keinginannya, ia menjadi pengurus di Yayasan itu. Di situ pulalah, ia akan menghasilkan karya-karya baru selanjutnya yang menyentuh hati juga merajut mimpi-mimpinya yang lain.

“Safira…tampaknya kau mulai menemukan dirimu. Kau tidak perlu lagi kehadiranku.” Ku eja kalimat serupa seperti waktu yang terlewat.

“Tidak! Aku tetap membutuhkanmu, tinggallah bersamaku. Kau dan aku saling terkait. Tak bisa terpisah. Terkunci dalam satu asa. Bersamamu, jejak kaki ini akan merentas dunia. Menapakinya dengan gurat-gurat mimpi yang tak pernah padam,” terulang jawaban dari bibir Safira. Sama, seperti hari yang lalu.

“Yah…aku mengerti.”

Aku mengerti Safira…asamu berkait dengan asaku, impianmu juga impianmu. Asamu dan asaku, asa dua suara, satu cermin. Karena aku adalah suara hatimu…bagian dari dirimu.

Langit sore menyemaikan hujan, dan warna-warni pelangi membias indah setelahnya. Seperti itu pula, Safira melukis mimpinya. Mematri ketegaran dari acap penderitaan tuk mendapatkan kecap kebahagiaan impian dengan lukisan pelangi di hatinya.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *