Awal Cerita

**Abdul
            Harapan. Perasaan itulah yang bertahun lalu menggelayuti nurani kecilku, nurani seorang bocah kampung yang tiba-tiba mengalami kebutaan disaat masa-masa bocah yang seharusnya diisi dengan keceriaan.


Kenakalan masa bocahku dulu, akhirnya menjadi penyebab hilangnya penglihatan. Ibu sering mewanti-wantiku agar tidak naik pohon kelapa terlalu tinggi.


”Nanti kakimu bisa terkilir terus jatuh lho, lee!” ujarnya bila tekad bengalku sudah kebangetan.


Kelas III SD waktu itu dan seminggu menjelang ulangan umum pula. Musibah terkilir itupun benar-benar terjadi.


”Walah !!! Den Abdul!” teriakan Mas Omed terdengar lirih tertahan ketika mengahmpiri  tubuhku yang terkapar.


”Den! Mas Omed bilang juga apa toh ??! jangan manjat-manjat pohon kelapa, jatuh deh.”


Mas Omed, tukang kebun keluargaku itu, memboyong tubuhku yang lemas ke rumah. Mandor dan pekerja kebun lainnya ramai mengantarkan aku ke rumah. kepalaku terasa berdenyut dan mataku agak buram. Ada benjolan yang cukup besar di pinggiran mataku. Ketika tiba di rumah aku sudah tak sadarkan diri tepat saat Mas Omed membaringkanku di balai bambu.


“Anakku nopo, Med??” teriak ibu menatap tubuhku cemas.


”Anu Ndoro, tadi Den Abdul pingin makan kelapa muda. Terus saya mau petikkin dianya nolak, biar aku aja yang metik Mas! Gitu katanya, yo wes saya izinin. Eh … waktu sampai di pucuk, kakinya nginjak dahan kering dan …” Mas Omed menahan kalimatnya.


Saat itu juga aku dibawa ke rumah sakit.


Aku tak pernah menduga bahwa benjolan di pinggiran mata itu adalah bekas benturan batang kelapa. Dan karena aku jatuh dari tempat yang cukup tinggi, luka itu akhirnya membuat bola mataku pecah.


Ya, mau menangis sekeras apapun, hendak bersedih semerana apapun tetaplah benjolan itu tak mungkin bisa dicegah untuk merenggut penglihatanku. Mulailah hari-hariku diisi oleh tindakan yang sebenarnya tak pernah kuharapkan, hampir seluruh keluargaku kecuali Paman menyetujui kalau aku harus dipindahkan ke panti asuhan yang khusus merawat orang-orang cacat.


”Anakmu masih bisa berkembang, Man!” bujuk paman pada ayahku. ”Ndak seharusnya kamu mengucilkan anakmu sendiri hanya karena dia cacat. Ndak selamanya kebutaan menjadi beban seseorang termasuk anakmu.”


Ayah hanya menghela napas sambil menatap Ibu, Nenek, dan kakek meminta pertimbangan.


”Sulit Mas Sodik, aku hampir ndak percaya kalau anakku akan mengalami peristiwa ini. Mau jadi apa dia nantinya?” Ibu mulai ragu.


Paman terjepit, hampir semua yang duduk berkumpul di ruang tamu rumahku waktu itu mendukung saran Ayah agar aku dipindahkan ke panti asuhan.


”Mungkin kalau di panti,” kata Ayah perlahan. ”Abdul benar-benar bisa menyesuaikan diri dan berkembang. Banyak orang-orang yang bisa menanganinya disana.”


Paman tak bisa mencegah pemindahanku ke panti. Selama setahun aku berinteraksi dan diasuh di sebuah yayasan sosial di Solo. Selama di panti pula pamanlah yang rutin mengunjungiku. Aku bisa mengerti perasaan kedua orang tuaku. Sebagai pengusaha ternama di Solo, mereka pasti akan sulit menerima jika kolega mereka mengetahui mereka punya anak yang cacat. Dan Paman Sodik, ya! Aku bisa mengerti kenapa ia amat prihatin padaku. Ia dan Bibi Elma belum punya keturunan sejak mereka menikah sebelas tahun lalu.


Ketika Paman berhasil meniti kariernya sebagai akuntan di Jakarta, ia meminta izin pada Ayah untuk membawaku kesana.


”Begini Rahman, setahuku di Jakarta ada sekolah khusus untuk orang-orang seperti anakmu.” jelas Paman.


”Kalau boleh aku ingin menyekolahkan Abdul di sekolah itu. Biarlah selama di Jakarta aku yang menanggung biayanya, itupun kalau kamu gak keberatan.”


”Aku yang akan menyekolahkan Abdul kalau memang sekolah khusus untuknya ada, aku ndak keberatan andaipun Abdul tinggal di rumahmu di Jakarta.” Ujar Ayah. 


Berangkatlah aku ke Jakarta dan tinggal di rumah Paman hingga aku berdiri di depan papan pengumuman kelulusan sekarang ini.


Aku teringat saat lulus Sekolah Dasar Luar Biasa dulu, aku meraba Braille yang bertuliskan “Lulus!” dan mengantarku ke pendidikkan Inklusif sampai SMA. Teman-temanku riuh menyambut kelulusan masing-masing, kami bersuka cita atas keberhasilan memecahkan teori-teori gila guru kami selama tiga tahun.


”Akhirnya gue pisah juga sama Pak Dandi. Huuuuu!” ujar Antoni teman sebangku-ku.


”Ya, dan gue pingin cepat-cepat ninggalain pelajaran Bu Atim, sosiologi. Sumpah, moga di kampus gue kagak ketemu dosen kayak dia!” sambutku.


Pelukan suka cita menghampiri kami dari para guru, berharap moga anak-anak bengal ini mangkin dewasa ketika menjejaki dunia perguruan tinggi kelak. Perpisahan, acara-acara, dan doa kesuksesan berlalu begitu saja ketika sebulan berlalu sejak pengumuman kelulusan SMA-ku. Entah apa yang kurasakan. Bangga? Tentu saja. Siap menyambut masa depan ? entahlah, aku masih ragu-ragu, apakah Universitas lebih sulit ketimbang SMA? Ah entahlah yang jelas Ayah harus ku beritahu hal ini.


Sulit kupercaya memang bisa melangkah tegap sambil mengingat kalimat lulus di papan pengumuman tadi. Teringat kata-kata ayahku dulu sebelum Paman membawaku ke Jakarta untuk sekolah di SLB. 


”Mungkinkah anak cacat sepertinya bisa sekolah?”


Malu karena usiaku yang terlewat jauh untuk usia SD, kesal namun tak berdaya ketika separuh keluarga sulit percaya kebutaan akan membawaku ke bangku pendidikan. SLB? Adakah sekolah itu? Atau itu hanya khayalan Paman agar aku semangat untuk hidup? Atau itu hanya olok-olok tetanggaku yang tak senang atas kebutaanku? Ah, entahlah! Waktu itu yang kurasakan adalah kebahagiaan yang tersirat karena setelah setahun di panti akhirnya mampu memasuki jenjang pendidikan juga.


Dan hasilnya kini kurasakan, hasil ketidakpercayaan keluarga atas kemampuanku. Hasil telatnya usia dan malunya aku kalau ada yang bertanya ketika SMP dulu, ”Umurnya berapa?”


Mau tak mau karena Paman mengajarkan kejujuran kuat dalam diriku, terpaksalah ku jawab ”empat belas tahun.”


Tapi bukan soal bagiku, mengingat pencapaian yang ku raih sesuai dengan kemampuanku.


”Dul!” ujar suara perempuan.


Aku menghentikan langkah sambil menoleh ke arah suara.


”Hmmm … boleh pulang bareng gak?” dia lagi.


”Makasih, gak usah!” kataku acuh.


Cewek itu Nurul, orang yang pernah membuatku hampir terjebak dalam kegalauan yang mendalam. Kegalauan yang sulit kuterima karena tak mungkin tunanetra sepertiku bisa suka sama cewek model begini. Kelak akan ku ceritakan, Kawan, kisahku dengan cewek ini. Yang jelas, orang ini yang membuatku menjadi korban persepsi masyarakat selama ini terhadap disabilitas.


”Jika ada satu saja disabilitas yang berbuat negatif, pasti semua disabilitas akan berbuat hal yang sama!”


Ada satu peristiwa antara aku dengannya yang membawaku harus menerima kalimat itu.


”Aku gak bisa bareng, soalnya mau ke tempat lain. Ada urusan!” kataku seraya melangkah cepat.


”Tunggu, kita udah lulus-lulusan masa kamu gak mau maafin aku!?” ia menarik tanganku.


”Kamu tahu, akibat ulahmu itu beberapa bulan lalu aku hampir gak lulus tahu!” aku menghentakkan tanganku hingga terlepas darinya.


”Abdul! Oke kamu gak mau maafin aku, tapi aku mau berusaha agar kesalahanku bisa kamu ngertiin!”


aku tak memperdulikannya. Langkahku semakin cepat hingga telingaku tak mendengar sesuatu yang menderu di sampingku. Detik berikutnya tubuhku terserempet dan terjerembab mencium aspal. Kurasakan hidungku mengeluarkan cairan amis, kemudian aku terasa melayang ketika mendengar jeritan tertahan dan decit mobil yang berhenti. (Senna)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *