BAYANG-BAYANG IDOLA

Siapa bilang pagi nan indah hanya dinikmati anak-anak bersepeda di taman sana?

buktinya, pagi penuh tawa itu tengah menyambangi kami, anak-anak ceria pada sebuah kamar tidur dalam asrama.

“Besarkan radionya dong! acaranya sudah mulai!” Kataku pada Tri yang paling dekat dengan sebuah radio Transistor yang tengah memutarkan lagu khas anak-anak.

“Halo! adik-adik! selamat pagii! bertemu lagi dengan kak Yoni dan,”

“Akuu! Munira!” Suara radio itu terdengar cukup jellas dengan suara dua penyiar yang terdiri dari seorang kakak dan seorang penyiar cilik.

“Asyiik! Munira sudah sembuh, yah? aku mau telepon ah!” Aku melompat-lompat gembira, hampir saja kakiku menginjak kaki salahsatu temanku yang juga tengah asyik menyimak siaran itu.

Begitulah, kami anak-anak  yang tumbuh besar dalam asrama  mengisi hari-hari, salahsatunya adalah dengan mendengarkan siaran radio. Seperti hari libur itu, setelah membereskan perlengkapan pribadi dan membersihkan kamar, kami duduk melingkar dengan sebuah transistor kecil di tengah-tengah lingkaran.

“Aku pingin banget ketemu sama Munira! dia itu lucu, gemesin dan tanggal lahirnya  sama denganku, apa lagi sekolahnya sama-sama kelas 4.” Aku mungkin orang yang paling semangat mendengarkan siran khusus anak-anak itu. Terutama mengidolakan penyiarnya yang bernama Munira. Seorang gadis cilik dengan segudang prestasi yang mampu membuatku selalu gelisah setiap menjelang tidur.

“Tapi kamu beda sama dia Sin! soalnya, dia itu selain penyanyi, presenter, penyiar radio, juga bintang iklan, loh! tanya deh sama Lidia! dia kan pernah ketemu langsung dengan Munira, ya kan Lid?” Teman-teman ramai memprotes khayalanku, bahkan menskak mati dengan menunjuk Lidia. Ya, Dua minggu lalu aku memang mendengar kabar yang sangat membuat hati panas, dari Lidia yang bertemu langsung dengan Munira.

Waktu itu ada acara untuk anak-anak di taman lalulintas Bandung. Sekolahku mengirimkan tim gamelan sebagai salahsatu pengisi acara. Lidia yang memang berbakat menyinden otomatis turut hadir dalam acara tersebut.

“Hai! kalian harusnya ikut acara tadi!” Teriaknya begitu sampai di kamar sepulangnya dari acara.

“Memangnya kenapa?” Kami yang saat itu tengah berbaring di ranjang setelah makan siang kompak bertanya.

“Kalian pasti iri! soalnya, aku ketemu sama Munira!” Kontan kami terkejut, terlebih aku, sampai melompat dari ranjang dan menghambur ke arah Lidia.

“Yang bener? Munira penyiar acara Bocah Ganesa?” Aku memegang tangan cekingnya, sambil dicekam  penuh rasa penasaran.

“Iah! itu Munira penyiar Bocah Ganesa, yang tiap hari Minggu kita dengerin itu!” Benar saja, setelah Lidia menyelesaikan ceritanya aku kembali dilanda murung. Munira yang tadi siang menjadi MC dalam acara itu terbayang-bayang terus di kelopak mataku. Wajahnya yang imut, suaranya yang merdu, sikapnya yang ramah serta senyumannya yang amat manis tentu hanya dinikmati Lidia yang sebenarnya kurang begitu mengidolakan gadis itu ketimang aku.

“Lid! tadi kamu sempat ngobrol apa sama Munira?” Aku masih sempat bertanya dari balik selimut kepada Lidia yang ranjang tidurnya jauh di ujung dekat pintu.

“Hmm! aku gak sempat tuh, soalnya Muniranya sibuk banget, tapi untung masih bisa salaman pas mau turun panggung. Ya yah! bersalaman pun itu aadalah Surprise yang besar dalam benakku. Seandainya aku yang berada dalam posisi Lidia, sudah barang tentu akulah yang menjabat tangan itu, pasti tangannya halus dan wangi, pasti! ya pasti!”

“Tadi dia pakai baju apa? pita rambutnya berbentuk apa? rambutnya panjang, yah? segimana, sih? dia pendek apa tinggi? pasti dia bawa si Bombom yah? itu loh! boneka kelincinya, katanya gak pernah ketinggalan sebab dia itu suka banget sama kelinci, pasti selalu dibawa-bawa!”

“Aduuh! ya enggak tahu lah!  kamu itu gimana, sih? kan aku gak kelihatan, mana tahu yang begitu-begitu.” Lidia terdengar menggerutu, sebal sekali dengan pertanyaanku yang diborong sekaligus.

“Ya iah deh, tapi apa kamu gak bertanya sama bu Mala, gitu?” Aku tak patah arang, kini malah bangkit dari ranjang dan mendekat ke ranjang Lidia.

Hmm, tadi sih kata bu Mala Munira pakai baju ping, pakai bando ping juga, tapi gak tahu apa ada gambar kelincinya atau enggak.”

Baca:  Roman Hitam

“Oh! begitu, yah? pasti dia cantik banget!” Aku kemudian kembali ke ranjang sambil membayangkan Munira dengan baju dan bando ping-nya.

“Ya ia deh! aku emang belum ketemu Munira, tapi aku yakin, suatu hari nanti aku pasti bisa ketemu dan berkenalan sama dia!” Jawabku sambil kembali duduk dalam lingkaran, menyimak acara Bocah Ganesa yang mulai memutar lagu pertama.

“Jadi menelepon, enggak?” Sri mulai berdiri, memangku transistor itu dengan kedua tangan seolah takut ada yang bakal merebutnya.

“Ayo! kita ke telepon umum sekarang!” Selanjutnya kami bertujuh berangkat menuju sebuah telepon umum yang berada di bagian depan panti.

Sambil menggenggam erat tas koin miliku, aku berjalan paling semangat sambil menyusun kalimat untuk bicara dengan Munira.

“Stop! tunggu dulu! kita harus bergantian menelepon! gak mungkin  dong bicara bareng-bareng?” Salahsatu di antara kami berdiri berkacak pinggang, seolah dia yang jadi pemimpin.

“Kalau begitu, aku dulu yang menelepon!” Aku merangsak maju, mendekat ke gagang telepon yang masih tergantung di tempatnya.

“Tunggu dulu! gak bisa begitu!” Semua temanku berteriak tak setuju, mereka jelas tidak mengizinkanku untuk melakukan itu.

“Begini saja! kita mengantri sesuai dengan tinggi badan, ok?”

“Enggak! aku gak mau!” Kontan aku menolak, jelas ini tak adil, terutama buatku yang sok pasti akan mengantri paling belakang, secara aku sadar kalau tubuhku adalah yang paling pendek.

“Gimana dengan yang lain?”

“Setujuuu!” Akhirnya, dengan perasaan sebal aku terpaksa mundur, mempersilahkan teman-teman yang sudah ambil posisi berjejer.

“Jangan gitu dong Sin! kamu tuh harus berani, jangan curang!” Teriak mereka yang menyadari aku tak terlibat dalam undian tak manusiawi itu.

Akhirnya dengan kesal sekaligus sedih, aku turut berdiri paling ujung. Membiarkan mereka melancarkan aksinya.

“Sebentar! kita harus meminta orang lain untuk mengukur! gak bisa kalau kita yang menentukan!” Kemudian kami menunggu datangnya seseorang, sampai akhirnya yang diharapkan pun muncul.

Ada dua orang dewasa yang mendekat ke arah telepon, mungkin hendak menelepon juga sebab terdengar gemerincing koin di tangannya.

“Ada apa ini? kenapa malah berkerumun di depan telepon? ayo pada minggir!” Bentaknya kepada kami.

“Kami juga mau menelepon, kak! tapi sedang menentukan antrian dulu, makanya kami minta kakak yang mengukur kepalanya, siapa yang paling tinggi, itu yang kebagian telepon duluan!”

“Huuh! dasar anak-anak bandel! yaudah! ayo berbaris!” Kemudian orang itu mulai meraba-raba kepala kami, dari yang paling ujung sampai ujung satunya sambil berkomat kamit tak jelas.

“Nah! yang ini! kamu duluan!” Akhirnya antrian pertama dimenangkan oleh Lidia, jelas dia paling tinggi, aku malah di bawah telinganya.

“Yang kedua kamu! ketiga, yang ini nih!” Begitulah dia menentukan antrian sampai akhirnya, sambil tertawa dia menyentuh kepalaku. Padahal waktu itu aku sudah berusaha melebihkan tinggi badan dengan menjinjitkan kaki, namun tetap saja nihil.

“Nah! kamu, kebagian yang terakhir, yah! haha! pendek betul sih kamu! kayak tuyul!”

“Duk!” Tanganku refleks meninju dadanya, terus mundur karena takut diomeli. Sementara kedua orang itu kemudian pergi sambil menggerutu karena niatnya menelepon mendapat gangguan.

“Halo! selamat pagi Boga!” Suara ramah Kak Yoni dan Munira terdengar jernih dari transistor yang ditaruh di atas kotak telepon umum.

“Halo! selamat pagi Munira! boleh kenalan?” Suara Lidia terdengar sedikit memantul, barangkali mengalami feedback.

“Ya! boleh dong! siapa ini?”

“Aku Lidia! kita pernah ketemu di taman Lalulintas, masih ingat? aku yang dari SLB itu loh! yang main gamelan!”

“Oh ya! aku ingat! halo Lidia! senang bisa kenalan sama kamu!”

“Lid! cepetan dong! keburu habis koinnya nih!” Yang lain sibuk menarik-narik baju lidia, tak sabar mendapat antrian.

“Oya! ini ada teman-teman juga mau kenalan!” Akhirnya Lidia mengoper gagang telepon kepada Desti, dia yang mendapat antrian kedua itu langsung bicara. Sementara yang lain ada yang sibuk mengatur volume radio, ada pula yang sibuk menambahkan koin.

Begitulah, teman-teman dengan gembira menyapa kak Yoni dan Munira, meminta lagu dan berkirim salam. Namun dasar nasib selalu tak berpihak padaku. Giliran aku yang mendapat antrian, aku langsung menyambar gagang telepon dari tangan Sri.

“Halo?” Aku mengucap dengan gemetar, banyak sekali yang ingin kuucapkan terutama pada Munira dalam hatiku, Halo Munira? boleh kenalan? Halo Munira! ini saya penggemar sejati kamu! halo Munira? berapa nomor telepon rumah kamu?” Itu yang tengah memberondong di ambang kerongkonganku, namun sebelum salahsatunya kuucapkan, tiba-tiba

“Tuuuuut! tuuuuut! tuuuut!” Sambungan terputus.

“Yaaah! koinnya habis, Sin! gimana, dong?” Kata Sri yang melongo dengan tas koin kosong di tangan. “Halo? siapa ini? halooo! Baiklah! barangkali telephonnya gangguan ya Munira? kalau begitu kita putarkan saja sebuah lagu, khusus buat adik-adik dan teman-teman Munira di asrama Pajajaran, selamat mendengarkan!” Suara kak Yoni seolah melayang di udara, di antara kepingan rasa kecewa yang tengah menyesak di dalam dada.

 

***

Pagi itu aku berjalan santai menuju gerbang. Dua Minggu bersekolah di SMU negeri paforit itu sudah membuat kecanggungan terlebih kecemasan menguap sirna dari diriku.

Dengan seragam baru berwarna abu putih, aku melenggang penuh ketenangan. Kini sang tongkat putih hanya terlipat dalam pegangan, cukup jadi identitas kepada semua orang tentang keterbatasan yang aku miliki saja.  Sementara hampir seluruh dari lingkungan sekolah sudah cukup aku kuasai, ditambah lagi dengan sisa penghlihatan yang masih membantuku untuk bermobilitas selama dalam sekolah.

Baca:  Aku, Biru Putihku

Ini dia kelasku, letaknya paling ujung dari koridor sebelah kiri, nomor kelasnya 10-8, penghuninya yang tidak lebih dari 40 siswa tampak sudah ramai mengisi ruangan.

“Sudah bel, belum?” Tanyaku pada Marta yang sudah duduk di bangku sebelahku.

“Belum, masih lima menit lagi, Sin.”

Aku kemudian duduk di sebelahnya sambil merapikan tas dalam laci.

“Kita ke kantin, yuk, aku lapar nih!” Marta menarik lenganku yang kemudian ikut berdiri.

Sesampainya di kantin aku duduk pada salahsatu kursi, sementara Marta menemui ibu kantin memesan makanan.

“Munira! beefnya pakai mayones enggak?” Terdengar ibu kantin berteriak, menyebut sebuah nama yang tiba-tiba menarik perhatianku.

“Munira? apa dia Munira idolaku?” Hatiku bertanya-tanya. Tak menutup kemungkinan memang, bila Munira pun ikut bersekolah di sini, sebab sekolahku adalah sekolah yang cukup diminati para enter tainer muda kota kembang. Di kelas 10-5 malah ada Donita, bintang iklan yang setelah lulus dikontrak main sinetron cinta Fitri.

Begitu pun dengan seorang model pembalut di kelas 11-9, belum lagi seorang model cantik dan presenter TV lokal di kelas 12-IPA2, membuat nama sekolah ini melambung di kancah pendidikan.

“Oya Mar! kamu kenal gak dengan artis di SMU kita ini?” Tanyaku pada Marta saat kami tengah berjalan kembali ke kelas.

“Hmm, siapa yah? yang kutahu sih cuma bintang pembalut dan Donita aja, memangnya kenapa?”

“Berarti yang namanya Munira kamu gak kenal, yah?” Aku mendadak kecewa, mungkin Munira yang ini bukanlah Munira yang kumaksud, sebab Marta pun tak mengenalinya.

“Hm, Munira anak kelas 10-4? iah! dia juga katanya artis, loh! dulu waktu kecilnya suka nyanyi dan jadi presenter!”

“Nah! itu benar! kamu kenal gak?” Aku hampir melompat dari bangku, tak dapat menyembunyikan ekspresi gembira dari wajahku.

“Hm, kenal sih enggak, tapi si Dea mungkin kenal, dia kan anggota softball, banyak temannya di kelas itu.” Dengan berbekal keterangan dari Marta, jam istirahat itu aku gunakan untuk menyatroni meja Dea.

Saat itu dia dan teman sebangkunya Ratna tengah asik bergosip.

“Hai Dea!” Aku memberanikan diri menyapanya begitu sampai di depan meja.

“Hai! Sindi! ada apa?” Tanyanya ramah. Aku kemudian duduk di salahsatu bangku depan meja Dea yang sedang ditinggal pemiliknya.

“Kamu suka ke kelas 10-4 yah?” Tanyaku kemudian.

“Ya, aku suka ke kelas itu, kenapa memangnya?”

“Hm, hm, gak papa kok, cuma mau tanya saja, soalnya aku belum tahu dimana sih kelasnya?” Terpaksa aku berbohong, sebab tanpa diberitahu orang lain pun sebenarnya aku dapat pergi sendiri ke kelas itu, tinggal menghitung saja ruangan-ruangan di koridor sebelah kanan, dimulai dari 10-1 paling depan, 10-2, 10-3, dan kelas 10-4  itu sebelum belokan ke arah lapangan.

“Oh! kamu mau ke sana? nanti deh! istirahat kedua kebetulan aku ada perlu sama anak-anak softball, nanti aku ajak kamu sekalian.” Dengan jantung berdebar akupun menanti jam istirahat kedua. Begitu bel berbunyi dan pak Ishak guru akuntansi meninggalkan kelas, Dea mencolek bahuku dan menuntunku keluar.

“Ini kelasnya! kamu mau ikut masuk?” Ucapnya setelah sampai di depan pintu yang sudah terbuka. Sudah banyak siswa yang keluar untuk istirahat, membuatku sedikit panik, khawatir Munira tak ada di dalam.

“Aku tunggu di sini saja deh!”

“Ya udah! kamu tunggu sebentar, yah!” Kemudian Dea masuk ke dalam kelas, sementara aku berdiri bengong tak jauh dari pintu. Kupasang telinga baik-baik, siapa tahu suara Munira yang masih terngiang jelas bisa kutangkap di antara bisingnya suara para siswa.

 

“Hai! melamun, yah? ayo ke kelas!” Dea hampir saja mengagetkanku saat tangannya memukul pergelanganku.

“Sudah selesai? cepet banget?” Kataku dengan nada kecewa. Munira belum berhasil kutemukan tapi Dea sudah menyelesaikan urusannya dengan teman-teman softballnya.

Hingga keesokan harinya, aku masih mencoba mencari-cari informasi pada Dea tentang Munira. Seperti pada jam istirahat itu, aku mencegatnya di depan pintu, menunggunya pulang dari kantin.

“Dea? di kelas 10-4 kamu kenal dengan yang namanya Munira?” Tanyaku setengah berbisik. Waktu itu kami menunggu bel masuk di halaman kelas.

“Munira? hm, aku gak kenal tuh! soalnya cuma teman-teman tim softball aja yang kenal, Sin! memangnya kenapa? dia teman kamu yah?”

Hm, Bukan, dia bukan teman aku, tapii, dia itu temannya teman aku.” Sekonyong-konyong aku berbohong pada Dea, membuat dia mengernyitkan alisnya.

“Ooh! gitu, yah? begini saja deh! nanti kalau aku ada perlu ke kelas 10-4, kamu aku ajak lagi! nanti kita cari Munira di sana.” Kata-katanya barusan jelas membuatku sangat gembira.

 

“Sin! ayo ke kelas 10-4! aku mau ketemu tim softball!” Dea memanggilku saat kami berdesakan di pintu pada jam pulang sekolah.

“Hm, aku gak ikut deh! malu! tapi boleh titip sesuatu saja?” Jawabku sambil membuka tas.  Dari dalamnya kukeluarkan sebuah bungkusan mungil diikat  pita biru.

Baca:  Memuliakan Kembali TV dan Radio untuk Penyandang Disabilitas

“Ini dari temanku, titip buat Munira, yah? tapi ingat! gak perlu bilang aku yang nitipin! ok?”

“Oh! ya udah deh! nanti aku sampaikan, paling enggak kalau dianya sudah pulang aku titip temanku aja yah!” Kemudian kami berpisah di belokan ke kelas 10-4. Dengan rasa tak karu-karuan aku pulang ke asrama.

Dalam hati berdoa supaya Munira senang dengan hadiah pertama dari aku yang sangat mengidolakannya. Biarlah untuk bulan ini uang jajanku hampir ludes demi membeli hadiah itu, yang penting Munira senang dengan pemberianku.

 

Begitulah, setiap ada kesempatan aku selalu berkirim sesuatu pada idolaku itu, tentu saja dalam rahasia aku dan Dea. Meskipun cewek yang selalu kuncir ekor kuda itu bertanya prihal sikapku yang terkesan aneh.

“Gini aja Sin! kali ini biar kamu sendiri yang nyampein nih barang, soalnya temanku sudah kewalahan ditanya-tanya Munira soal pemberian hadiah-hadiah dari kamu ini!” Ucap Dea pada  suatu hari. Saat itu aku kembali menitipkan sesuatu untuk Munira.

“Duh! gak bisa De! aku juga gak faham dengan hadiah-hadiah ini! soalnya pesan dari temanku juga memang gitu, jadi please! gak usah yah aku ketemu sama Munira itu?”

“Hm, ya udah deh! terserah kamu aja.” Sambil mencuwil pipiku dia berlalu, membawa benda itu ke kelas 10-4.

 

Akhirnya, tak terasa sudah hampir setahun aku menempuh pendidikan di sekolah ini. Berbagai persoalan dari yang ringan sampai berat, dari yang kecil sampai besar, turut menjadi warna-warni perjuanganku.

Tak terkecuali kisah unik dalam mengejar Munira, seorang gadis remaja yang pernah menorehkan kenangan masa kecilku. Sudah selama ini pula kukirimi hadiah-hadiah, dari yang menurutku sederhana sampai pada nilai yang cukup mahal bagi kantongku.

Namun anehnya, selama itu pula aku tak pernah berjodoh dengan bertemu Munira di dalam sekolah. Wajar memang, sebab kondisi penglihatan yang tak biasa ini, tentu tak dapat menjangkau Munira di antara ratusan siswi di sekolahku itu.

Hingga pada suatu hari, pada ujian tengah semester di kelas 11, aku tengah asyik mengerjakan soal ujian di ruang BP. Masalah disabilitas yang aku miliki ini memang membuat kondisi berbeda dari teman-teman yang lain.

Biasanya aku akan pergi ke tempat yang relatif sepi untuk mengerjakan soal ujian dengan didampingi seorang reader.

Seperti siang itu, aku masih duduk bengong menunggu seorang reader yang katanya dalam perjalanan menuju sekolah. Ada perasaan tak enak dalam hati, sebab waktu ujian sudah molor sampai 15 menit sedang reader itu belum juga muncul.

“Saat itulah seseorang masuk. Dari gerakannya dia adalah seorang siswi yang mungkin ada keperluan di ruangan paling ditakuti seluruh siswa  di sekolah ini.

Setelah mengucap salam, dia lalu duduk di kursi tak jauh dari tempatku.

Keheningan ruang BP yang terus menjalar seakan membunuhku atas ngaretnya sang reader yang tak kunjung tiba.

“Prak!” Tak kusadari sebuah bolpoin jatuh dari dalam tasku. Mungkin karena terlalu gelisah, akupun sampai menjatuhkan benda segala ke lantai.

“Kontan mataku yang memang terbatas ini mencoba mencari kemana jatuhnya tuh bolpoin, malah dengan dibantu kedua ujung sepatu yang kugerak-gerakan ke sekitar tempatku duduk.

“Ini bolpoinnya!” Tangan halus itu kurasakan menyentuh telapak tanganku, mengulurkan sebuah bolpoin yang ternyata sudah lebih dulu diambil oleh cewek itu.

“Terimakasih.” Ucapku sambil tersenyum.

Melalui insiden kecil itulah, akhirnya kami bisa mengobrol, dan pada akhirnya, dia menawariku untuk membacakan sekaligus menuliskan jawaban dari kertas soal ujianku.

Dengan perasaan lega akupun menerima tawarannya. Tak banyak lagi membuang waktu, aku dan dia kemudian terlibat dalam pengerjaan soal-soal ujian tersebut.

Gadis itu ternyata tak sependiam yang kukira, buktinya selama mengerjakan soal kami sering menyelang dengan bercanda. Suaranya yang sedikit serak itu malah mengingatkanku pada suara seseorang di masa lalu, tapi entahlah, semakin diingat malah semakin samar dari fikiranku.

“Akhirnya! selesai juga, yah?” Dia mengulurkan lembar jawaban itu ke tanganku. Aku menerimanya sambil tersenyum lega. Reader yang tadi pun sepertinya lenyap di telan bumi, tak jelas lagi kabarnya hingga bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi.

“Saya ke kelas sekarang, yah? sekali lagi terimakasih banyak loh!” Kataku sambil membereskan alat tulis ke dalam tas. Kemudian terburu-buru menuju kelas.

 

***

Malam harinya di dalam asrama, aku tengah sibuk mengerjakan LKS. Dengan dibantu Sifa, anak dari pembimbing asrama aku mulai mengerjakan halaman demi halaman LKS sejarah itu sambil sesekali mencatat yang pentingnya dengan Braille.

“Bolpoinnya habis nih!” Ucapnya sambil melempar bolpoin itu ke tong sampah.

“Hus! dilempar-lempar segala, sih? kan sayang tuh!” Bentakku sambil mengambil kembali bolpoin tersebut. Kontan aku termangu begitu bolpoin itu terasa asing dalam genggamanku.

“Halah! bolpoinnya aja yang bagus, pake ada gambar kelinci segala, malah diberi nama, … siapa, tuh? Munira?”

“Dek!” Aku tersentak, kaget dengan perkataan Sifa barusan.

“Siapa? siapa yang kamu sebut barusan?” Aku mendekatkan bolpoin itu lebih dekat ke wajahnya.

“Iah! itu punya Munira! teman sekolah kamu yah? balikin dong kalau minjem!”

 

*tamat*

 

Bagikan artikel ini
nensinur Sastra
nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

Articles: 18

10 Comments

Leave a Reply