Beli Mie Ayam

Lina namaku, mie salah satu makanan vaforitku. Segala jenis mie diriku pasti suka. Baik itu mie ayam, mie instan, kue tiau, bakmi dan mie yang lainnya. Pada hari sabtu, Aku ingin banget beli mie ayam. Sudah lama diriku tidak membelinya. Hingga, pada akhirnya cerita-cerita ini pun dimulai.

01 Sudah Habis

Aku sedang menghitung uang seribuan, yang akan tak pakai beli mie ayam, ibu tiba-tiba bertanya.

“Kamu menghitung uang receh itu mau buat apa? Kamu sudah tidak punya uang selain seribuan?”
“Ini mau buat beli mie ayam, aku uangnya masih ada kok. Aku sengaja menggunakan uang seribuan karena biar berkurang. Aku punya banyak uang seribuan, ada seplastik kresek.”

Ibu akhirnya mengangguk mengerti, lalu beranjak dari kamar. Pak Adam salah satu tetangga menyapaku, di sore hari yang cerah. Saatku sedang duduk seorang diri di teras, menanti penjual mie ayam keliling.

“Lina sedang apa? Kok di situ sendirian?”
” Aku sedang menunggu penjual mie ayam, yang biasanya lewat setiap sore.”
“Terus kalau penjualnya tidak lewat gimana? Atau lewat tetapi dagangannya sudah habis?”
“Ya Jangan gitu, semoga masih ada.”
“Ya sudah anggap aja berarti penjualannya sedang kelarisan, Kalau dirimu nanti beli tidak ada atau sudah habis.” Kata, pak adam.

Baca:  Anak Panti Jadi Penyanyi

Penjualnya panjang umur, pas sedang dirasani. Tiba-tiba terdengar suaranya dari kejauhan dengan lantang.

“Ting-ting!!!! Ting-ting!!!!”

Aku tersenyum cerah, membayangkan mie ayam yang enak.

“Lina nanti kasih kuahnya aja, ya, pak kalau lewat sini.”
“Ya jangan lah, aku nanti kalau mimpi beli mie ayam gimana dong?”
“Ah biarin aja.” Ledek, pak Adam.

Ketika penjualnya sampai di depan rumahku, pak Adam menyetop penjualnya dengan semangat. Pak Adam rupanya juga ingin beli.

“Pak beli!!!! Pak beli!!!!”
“Maaf sudah habis, pak tadi diborong sama orang pinggir kali. Ini lewat sini karena mau pulang.”

Aku pun merasa bersedih, Pak Adam ternyata ucapannya jadi kenyataan. Akan tetapi apa boleh buat, mau bersedih seberat apapun itu, memang makanan yang ingin ku beli sudah habis. Jadi, Aku berusaha untuk ikhlas dengan sepenuh hati.

02 belum beruntung

Pada hari Selasa yang mendung, Aku duduk di teras sore hari. Ngapain lagi kalau bukan menunggu mie ayam lewat, sambil membaca novel kesayangan. Dalam hati berdoa, semoga bisa beli mie ayam, tidak kehabisan lagi. Ibu dan ayah sedang pergi ke Desa sebelah, di sana sedang ada urusan penting. Pak Adam lagi-lagi datang menghampiriku, bertanya dengan basa-basi.

“Kamu lagi ngapain si? Di depan rumah sendirian kaya orang hilang. Aku boleh gabung tidak?”
” Sampeyan lihatnya diriku sedang apa? Kalau mau gabung silakan aja tinggal duduk.”
” Biar tak tebak, kamu pasti lagi nunggu bakol mie ayam kan?”

Aku hanya mengangguk sambil asyik membaca.

“Kalau gitu, kita sehati, aku juga mau beli.”
“Awas lho kalau mendoakan habis lagi.”
” Tidak kok, aku sudah kapok. Soalnya, aku kemarin juga sedih, doaku menjadi nyata. Akan tetapi gimana lagi, aku mau nangis, juga mie ayamnya tetap tidak ada.”

Pak Adam dan diriku menanti sampai hampir maghrib, itu mie ayam tidak lewat-lewat.

Baca:  Goresan Sang Perindu

“Kita hari ini belum beruntung, Lin belum rejekinya untuk beli mie ayam.”
“Iya, pak biasanya jam 17.00 sudah lewat, ini sampai hampir maghrib belum muncul-muncul.”
“Siapa tahu besok jualan, ya, Lin.”
“Iya, pak.”

Pak Adam dan diriku masuk ke rumah masing-masing, sebab sudah hampir maghrib. Aku berharap hari ini belum beruntung hari Sabtu besok bisa beli mie ayam. Aku ke rumah, lalu langitnya menangis sampai larut malam, dengan sangat deras.

03. Dapat rejeki
Pada hari kamis, aku bingung mau ngapain. Memutuskan baca novel sambil nyantai di teras, habis disuruh beli bumbu dapur di warung. Syukur-syukur ada tukang mie ayam lewat, malah yang lewat tukang bakso lewat.

“Bakso-bakso!!!! Bakso-bakso!!!!”

Aku hanya terdiam, tidak berkata apa-apa. Pak Agus membeli 6 bungkus bakso, yang satu dipisah sambalnya. Aku membatin dalam hati saat melihatnya.

“Mereka bukannya sekeluarga hanya 5 orang? Pak Agus, bu Agus dan ke tiga anaknya, kok belinya 6 si? Mungkin yang satu bungkus, barangkali ada yang ingin nambah.”

Saat asyik melamun, penjual baksonya menghampiriku. Menepuk pundak, aku sampai kaget.

“Ngapain si bikin kaget? Aku tidak beli kok, malah mendekat ke arahku.”
“Aku tidak nyuruh beli, cuma mau nganterin bakso. Kamu dikasih bakso sama, bapak yang beli barusan. Kamu si melamun terus, mikirin pacarnya, ya?”
“Kalau ngomong jangan ngacau jangan usil. Ya sudah kalau gitu, terima kasih, ya.”

Penjual baksonya mengiyakan sambil berlalu dari hadapanku. Sudah gitu hanya tertawa habis meledekku.

“Walau tidak ada mie ayam, sebagai gantinya bakso juga tidak apa-apa. Besok lagi beli mie ayamnya, lagi pula ini bakso adalah rejekiku di sore ini.”

Aku langsung ke rumah menyiapkan bakso dalam mangkuk dan langsung menikmatinya.

04. Jumat Berkah
Hari jumat siang ada penjual cilok lewat, aku berniat beli.

“Dari pada menanti mie ayam belum berhasil terus, mending beli cilok aja deh.”

Gumamku dengan pelan, saat mengambil uang. Aku tidak tahu kalau, ibu memperhatikannya.

“Ngapain si, kamu ngomong umas-umis tidak jelas? Bagaikan, mbah dukun sedang baca mantra.”
“Itu, aku mau beli cilok, takut penjualnya sudah pergi.”

Baca:  Pengganti Hidup

Jawabku asal, menyembunyikan rasa malu yang menghampiriku. Pak Adnan bertanya, pas lewat depan rumahku.

“Lina mau ke mana?”
“Ini, pak mau beli cilok, kayanya enak banget gitu. Sampean mau ke mana?”
“Aku mau nengok tanaman di sawah.” Jawabnya.

Aku menghampiri penjual cilok yang sedang mangkal di bawah pohon rindang.

“Pak beli.”
“Beli berapa, dik?”
“Beli lima ribuan dua, pak.”

Aku langsung dilayani dengan cepat, kebetulan belum ada yang beli. Aku terkejut, ciloknya ada tiga, aku padahal belinya dua.

“Maaf, pak ini yang satu tak kembalikan. Soalnya, aku belinya cuma dua.”
“Itu yang satu untukmu, jumat berkah kusus pembeli pertama. Beli satu dapat dua, kamu beli dua dapat tiga.”
Aku pun mengucapkan terima kasih dan ke teras menikmati cilok, yang amat mengenyangkan. Rupanya cilok jumat berkah, tidak membuatku berpaling dari mie ayam, tetap saja ingin membelinya.

05. Akhirnya terlaksana
Pak Adam memanggilku dengan lantang, saat diriku sedang nyuci piring.

“Lina!!!! Lina!!!! Lina!!!!”

Aku tidak dengar sama sekali. Namun, aku berpikir kalau hari sabtu pasti ada mie ayam lewat. Aku mencuci dengan cepat, agar bisa beli mie ayam.

” Alhamdulillah, ini cucian selesai juga, aku bisa beli mie ayam.”

Aku keluar, pak Adam sudah duduk di teras.

“Kamu tak panggil tidak nyaut-nyaut. Lagi ngapain si dari tadi?”
“Maaf, aku lagi cuci piring, aku tidak tahu kalau, sampean manggil. Emangnya ada apa si?”
“Ya sini ngadang mie ayam bareng. Siapa tahu bisa beli beneran.”

Pak Adam dan aku ngobrol di teras di temani desiran angin dan pepohonan. Pukul 17.00 yang ditunggu-tunggu akhirnya ada juga.

“Ting-ting!!!! Ting-ting!!!!”

Aku langsung berseru dengan wajah berbinar, saking senangnya.

“Pak beli!!!! Pak beli!!!!”
“Beli berapa, dik?”
“Beli satu, pak.”

Bakolnya mendekat dan menyiapkan pesananku, serta pesanan orang beli yang lainnya.

“Pedas tidak mienya, dik?”
“Pedas, pak sambalnya yang banyak.” Pesanku.

Pak Adam setelah beli langsung pulang, katanya mau makan mie ayam bersama istrinya. Aku mengucap rasa syukur dalam hati, akhirnya terlaksana juga beli mie ayam.

Selesai

Bagikan artikel ini
Linatun Nisa
Linatun Nisa
Articles: 18

2 Comments

Leave a Reply