Bhinneka Tunggal Ika: Tak sekedar Retorika

Semboyan bhinneka tunggal ika tentunya sudah takasing lagi bagi kita bangsa Indonesia. Sejak kecil, ungkapan ini telah sering kita dengar dan pergunakan. Terutama dalam hal yang berkaitan dengan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, bangsa ini selalu bangga dengan keragaman yang dimilikinya. Namun, tahukah kita apa makna mendasar dari istilah ini?Tidakkah kita hanya memaknainya dari perspektif yang sempit?

Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, karena manusia tidak hanya memiliki perasaan dan hawa napsu, tetapi juga akal pikiran. Dengan pikirannya ini, manusia dapat menilai segala sesuatu dengan lebih cermat, menggunakan logika dan rasio, menimbang, kemudian memutuskannya. Akal ini pulalah yang kemudian dapat menimbulkan perbedaan pendapat di antara sesama manusia.

Setiap orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat, menentukan pilihan, serta mengambil keputusan. Bahkan, hak untuk mengemukakan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang dasar 1945 serta berbagai instrument hukum lainnya. Namun, lagi-lagi kita biasanya memandang hak ini dalam perspektif yang sempit. Kita menganggap, jika Negara menghalang-halangi kita untuk mengemukakan pendapat, barulah disebut sebuah bentuk pelanggaran hak asasi. Sementara, jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh lingkungan terdekat, kita cenderung hanya bersikap permisif. Saya berpendapat, setiap insan memiliki hak yang sama dan orang lain wajib menghormati serta menjunjung tinggi hak tersebut. Sebagai contoh, seorang anak kecil tetap memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya, seorang murid memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya, demikian juga seorang bawahan memiliki hak untuk menyampaikan pemikirannya. Jadi, orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih berilmu, maupun lebih berkuasa sekalipun, tetap harus menghormati hak tersebut.

Bagi Saya, diskusi dan bertukar pikiran merupakan hal yang jauh lebih baik dibandingkan dengan memaksakan kehendak tanpa alasan. Orang lain hanya dapat menyampaikan pandangan, memberikan saran dan nasihat, serta memberi masukan, semetara pilihan dan keputusan tetap ada pada orang yang akan menjalaninya. Mungkin orang lain memang berniat baik, namun cara penyampaian atau perlakuan yang salah, justru dapat mengubah niat baik tersebut menjadi sesuatu yang tidak baik. Sesuatu yang dirasa atau dianggap baik bagi seseorang, belum tentu baik pula jika diterapkan pada orang lain. Lagipula, setiap tindakan dan keputusan yang diambil, kelak akan dipertanggungjawabkan secara individual di hadapan Tuhan. Jadi, apa gunanya memaksakan sesuatu kepada orang lain, terlebih lagi dengan bersikap otoriter?

Saya berpendapat bahwa ini adalah hakikat dari kebhinnekaan yang sesungguhnya. Kita memang hidup di lingkungan yang majemuk, yang terdiri atas berbagai karakter manusia dengan berbagai macam pola piker pula. Namun, tidakkah lebih baik jika kita menjaga toleransi dan saling memahami? Tidak perlu mengikuti pemikiran atau tindakan orang lain jika memang dirasa tidak sesuai dengan diri kita, namun tidak perlu juga memaksakan kehendak kita pada orang lain. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan, dan akan jauh lebih indah jika kita mampu menjaga keberagaman itu di dalam kehidupan bermasyarakat.

Saya membuat tulisan ini karena keprihatinan Saya dengan berbagai kejadian di lingkungan terdekat. Orang-orang banyak yang saling memaksakan pendapat, menyalahkan orang lain, maupun saling menyerang atau menghina hanya karena suatu perbedaan yang dimiliki. Terkadang orang juga dengan mudahnya mengatakan bahwa orang lain telah melawan atau membangkang, hanya karena tidak memiliki pandangan yang sama atau menolak argumen dan pemikiran orang lain. Bagi siapa saja yang membaca tulisan ini, mohon berikan pendapatnya ya. Ini hanya opini pribadi, jadi tidak ada yang salah dan benar kok.

Last Updated on 10 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Andira Pramatyasari

Alumni S1 Ilmu Hukum Universitas Indonesia, staf pengurus Kartunet Community

3 komentar

  1. Keren nih,

    iya memaknainya dengan sempit hanya sebagai ideologi bukan diterapkan ya buat apa?

    tidak ada gunanya memaksakan sesuatu apalagi otoriter, aku tidak suka dominan atau otoriter…

    tidak mau didengar dan dilihat ya sudah tidak apa-apa, Aku yakin Allah akan menegur lewat jalan lain….

    sekalipun nyuruh dan maksa dengan otoriter untuk dijalankan, mereka yang menjalankan jadi setengah hati bahkan kurang, ya buat apa?

    menghina ya? seperti terawa, sinis, merendahkan dan bentuk lainnya? untuk apa? ga gunaa….

    setiap orang berbeda-beda, bahkan yang kembar identik sekalipun…

    mau cari yang sama juga tetap saja berbeda…

    kenapa mencari kesalahan? kenapa yang dicari kelamahan? padahal tiap orang memiliki potensi dan kompetensinya sendiri dan bisa sukses.
    apa si

  2. Bagus ni, opini yang membimbing untuk lebih arif dalam memandang kenyataan. di situasi menjelang pilpres seperti ini, kita perlu banyak berdiskusi, dan melihat fisi misi bukan figur pribadi karena itu tak menentukan.

  3. tulisan yang menarik. Sangat pas dengan konteks saat ini dimana menjelang pemilihan presiden, makin banyak isu yang berseliweran dan manusia rasa-rasanya makin tidak simpatik dan itoleran. Perbedaan jadi alat untuk memecah persatuan dan menjatuh lawan politiknya.. Kampanye hitam yang tak segera ditangani oleh Bawaslu dapat mengancam Kebhinnekaan kita.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *