BIAS DANAU CINTA (PART III.)

BAB III. Kesadaranku belum sepenuhnya terkumpul saat mama membantu mengenakan jilbab dan merapikan bajuku. “Cepat sedikit, ma?” Panggil papa dari dalam mobil. Jam tiga dini hari itu kami tengah meluncur di jalan sepi menuju asrama. Jerit suara hati ini pun tak dapat mewakili bagaimana hebatnya rasa kehilangan. “Sudah berapa lama sakitnya, bu?” Papa bertanya begitu kami sampai di masjid asrama. “Sudah dua tahun terakhir ini, pa, hanya saja anaknya agak keras kepala. Kami sudah menyarankan istirahat di rumah, tapi dia tetap ingin melanjutkan kuliah. Keluarganya juga sudah tak bisa mengingatkan. Sementara itu aku tak lagi mampu berkata-kata. Hanya air mata ini yang mewakili bagaimana pedihnya ditinggalkan. “Baru hari ini aku akan menyampaikan kabar bahagia kepadamu sahabat, namun nyatanya tawa kita yang kemarin adalah yang terakhir.” *** EPILOG Seindah senja Bandung utara, Danau cinta selalu menghadirkan ceritra indah dari jiwa-jiwa muda penerus bangsa. Di atas bangku batu itu, tampak empat orang mahasiswi berjilbab cerah, duduk sambil tetap mengunya cimol. Sementara tiga sahabatnya berceloteh tentang kegantengan dosen Sastra yang menyilaukan mata, Gadis imut di ujung tengah asik mengetik pada sebuah komputer genggam. Baris demi baris tercipta dari jemari yang menari seiring hati yang bernyanyi. “Dear kartuneters, izinkanlah aku pos tulisan perdana sebagai salam cinta. Sesungguhnya lambang-lambang ucapan cinta itu bagiku adalah satu dan lain yang tidak berkaitan sama sekali. Bagiku, Al-quran itu adalah cinta, bagiku, Kruk itu adalah cinta. Bagiku, , jilbab itu adalah cinta, pin bberwarna biru langit itu adalah cinta, mama dan papa adalah cinta, serta kalian semua, adalah cinta, yang selalu menjadi pelangi dikala hujan badai mereda. Mini Novel ini kutulis, seiring perenungan betapa Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu baik serta penuh limpahan cinta. Sehingga kita, makhluknya yang tiada daya-upaya, mampu mengarungi kehidupan ini dengan berpegang erat pada apa yang Dia tunjuk sebagai cahaya. (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya. (104).

*khatam*

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

2 komentar

  1. ia yah, kerasa jd berat bgt buka kartunet kl tulisannya terlalu panjang. hixhix.

  2. hmmm, ujungnya sedih. Mungkin pemenggalannya biar lebih proporsional, bias separuh bagian kedua dipindah di awal untuk bagian tiga ini tteh

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *