BIDIKMISI, PEMUTUS GARIS KEBERADAAN & KETIADAAN

Aku, orang yang penuh dengan keterbatasan tentang apa yang aku punya
Aku, yang dulunya tidak berani bermimpi
Tak mampu untuk banyak berimajinasi
Dengan hanya sedikit rezeki
Membuat aku untuk menjadi orang yang harus bekerja keras
Membalikkan takdir bagaimana kerasnya kehidupan ini
Untuk mengejar cita-citaku
Tak lain pula mengangkat derajat orang tuaku

Orang desa yang mengarungi cakrawala kehidupan, tanpa mengenal garis pembatas antara orang berada dan tiada. Ku yakin kita itu sama, tidak perlu membedakan apa yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Takdir memang tuhan yang menentukan, tetapi jiwa dan raga ini seakan menentang dengan semua yang terjadi. Pada tanggal 03 Juli 1996, di Ds. Alasdowo Kab. Pati, Jawa Tengah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Qo’idul Umam yang biasa disapa Umam atau hanya Dul, itulah jati diriku. Aku seorang mahasiswa yang duduk di semester II Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha. Hal yang sebenarnya tidak pernah aku duga, bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Aku bangga sekali bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus terbaik yang ada di Bali. Bagaimana tidak, aku yang dulunya hanya berangan-angan saja sekarang bisa menjadi kenyataan dan menggeluti dunia akademikku. Aku masih teringat perkataan dari ibuku terkait anganku untuk menjadi mahasiswa. Beliau mengatakan Le, nek lulus SMA ora usah kuliah yo, mak ra nduwe duwet kanggo nyekolahno, kanggo mangan wae pas-pasan” (artinya: Nak, kalau lulus SMA nggak usah kuliah ya, ibu nggak punya uang untuk nyekolahin, buat makan aja pas-pasan), celotehnya dalam bahasa jawa, karena memang beliau tidak mahir bahasa Indonesia, begitu tuturnya setelah aku lulus SMA. Ahh, betapa sakitnya hatiku pada saat itu. Memang, Ibuku hanya lulusan SD dan Bapakku sudah meninggal semenjak aku kecil. Aku sebagai anak terakhir dari keempat saudara. Kita ditinggal bapak semenjak masih kecil-kecil, keadaan ini merupakan hal yang sangat berat bagi seorang ibu saya yang harus menghidupi anak-anaknya. Namun beliau tak pernah mengeluh tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Beliau terus berusaha untuk menjadikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sampai suatu saat beliau mengatakan ketika kami sedang berkumpul, Nduk, emak mung iso nyekolahke tekan Mts wae, emak wes gak nduwe duwet kanggo neruske, adikmu iki yo arep masuk sekolah SD sisan” (Nak, Ibu hanya bisa nyekolahin kamu sampai Mts saja, ibu sudah nggak punya uang buat nerusin, adikmu ini juga mau masuk sekolah SD juga), itulah kalimat yang diucapkan kepada kedua kakak perempuanku. Dengan mata berkaca-kaca mereka hanya manggut-manggut saja, karena mereka sudah tahu tentang bagaimana kondisi ekonomi keluarga kita.

***

Ketika aku masuk MI (Madrash Ibtidaiyah), pada saat itu aku hanya mengandalkan beasiswa, yaa pada waktu itu namanya adalah Bantuan Siswa Miskin (BSM), bantuan beasiswa bagi anak sekolah yang ditujukan hanya kepada orang-orang miskin. Meskipun beasiswa tersebut tidak sepenuhnya dapat menutupi biaya sekolahku, namun setidaknya beasiswa itu sangat berarti bagi seseorang yang terbatas dalam hal ekonomi seperti aku ini. Hari demi haripun kulewati. Sekolah seperti biasa, sepulang sekolah membantu orang tua untuk mencari bahan-bahan untuk dijual besok di pasar. Angan-anganku yang jauh untuk masa depanku pada waktu itupun tidak ada. Sampai suatu ketika aku ditanya oleh seseorang tetangga saya Um, pengen dadi opo cita-citamu Le? (Um, cita-citamu pengen jadi apa?), Aku jawab dengan enteng, Pengen dadi dokter Pak, ben kondang... haha” (Pengen jadi dokter Pak, biar hebat… haha). Jawabanku mungkin hanya asal bunyi, karena di desaku menjadi seorang dokter adalah orang yang hebat, disegani, dandihormati. Akan tetapi jawabanku tidak sesuai dengan angan-anganku, karena pada waktu itu saya masih belum mampu untuk memikirkan angan-angan untuk menjadi apa nantinya, yang terpenting adalah sekolah dan membantu orang tua.

Sampai saatnya aku sudah lulus MI, setelah lulus sebenarnya aku sudah mempunyai angan-angan untuk masuk sekolah yang aku inginkan, yaitu SMPN 1, namun ibu saya melarang Le, emak gak nduwe duwet, sekolah nek kono iku larang, sekolah sing cerak dak wesa, tur murah” (Nak, Ibu gak punya uang, sekolah di sana itu mahal, sekolah yang dekat aja, murah), dengan berat hati aku menjawab, “nggeh” (iya), walaupun dengan rasa berat hati aku nurut saja dengan Ibu, salah satu alasan lainya menyekolahkan aku ke Madrasah adalah supaya aku menjadi orang yang ahli agama, orang yang shaleh.

Menjadi siswapun aku jalani sekarang. Sekolah yang biasa saja, tanpa ada prestasi yang aku raih, bahkan aku menganggap diriku orang yang paling bodoh didunia. Setiap hari yang kujalani tanpa ada belajar, alasanku adalah memang karena perbedaan persepsi antara aku dan ibuku dan wadah yang memang tidak sesuai keinginanku.

Sampai suatu ketika pernah ada percakapan yang begini,

Kue gak tau sinau ape dadi opoleh le ?“ (Kamu nggak pernah belajar mau jadi apa Nak ?), kata Ibuku.

Gak dadi opo-opo”, (Enggak jadi apa-apa), jawabku yang memang sedikit agak kebingungan.

Kue iku anak terakhir Le, Aku pengen anak-anakku mbesok gak koyo aku kabeh, uripe penak, sukses, mestiyo aku urip gak penak” (Kamu itu anak yang terakhir Nak, aku ingin anak-anakku nantinya tidak seperti aku semua, hidup enak, sukses, walaupun hidupku ini tidak enak), lanjutnya.

Sebuah jawaban yang memang menunjukkan harapan penuh bagi kesuksesan anak-anaknya walaupun dari keluarga orang tidak mampu.

Dengan gagap dan perasaan yang sedih aku menjawab, “nggeh” (iya)

Pesenne bapakmu le, nek anak’e wes gede kabeh tulung dikandani, mestiyo awak’e dewe wong ora nduwe, tapi sing penting kudu jujur karo wong liyo, amanah, karo melayani wong sing tulus” (Pesan dari bapakmu nak, kalau anaknya sudah besar semua tolong dibilangin, walaupun kita orang nggak punya, tapi yang terpenting adalah jujur dengan orang lain, amanah, dan melayani orang lain dengan setulus hati), lanjutnya lagi.

Tanpa sepatah kata, aku langsung pergi dari hadapan ibu. Merenungi sebuah kata-kata dari bapakku yang sudah lama meninggal, bahkan wajahnya saja aku tidak ingat. Sebuah pesan yang sampai sekarang saya masih ingat betul sampai sekarang untuk berpedoman menjalani kehidupan ini.

….

Waktu terasa sangat singkat, dan akupun sudah lulus Mts. Hal yang aku nantikan apakah nantinya aku akan melanjutkan atau tidak. Namun, aku tetap bersikeras untuk melanjutkan sekolah, karena itu memang niatanku. Lagi-lagi aku harus mengalami hal yang sama, aku menghampiri ibu mengatakan :

Mak, aku pengen neruske nek sekolah negeri” (Bu, saya ingin melanjutkan ke sekolah negeri), tuturku.

Kue nek pengen sekolah nek Madrasah kene wae le, sekolah nek kono iku larang tur adoh” (Kamu kalau pengen sekolah di Madrasah sini aja nak, sekolah di sana itu mahal dan jauh), sahut Ibu.

Mboh, poko’e aku aku pengene nek kono” (Terserah, pokoknya aku pengennya di sana), jawabku lagi.

Biayane iku lo le” (Biayanya itu lo Nak), lanjutnya.

Berbagai perasaan sedih dan sakit berkecamuk dalam hatiku. Tapi aku tidak akan menyerah hanya dengan berkata “iya” begitu saja. Kalau dulu aku bisa berusaha hingga masuk Mts, kenapa ke SMA tidak?

Berbagai penjelasan aku berikan kepada ibuku, untuk meyakinkan kalau aku tidak akan memberatkannya dengan alasan beasisw. Jika nanti uang saku yang dikasih besarnya seperti sekolah di desaku tidak apa-apa dan masih berbagai penjelasan banyak lainnya. Ya, dengan berbagai penjelasanku tadi aku disetujui oleh ibuku. Walaupun dengan rasa yang memang agak berat, itu terlihat dari matanya yang memang menandakan bahwa dia memang agak kurang setuju.

Akhirnya aku masuk ke Madrasah Aliyah Negeri 2 Pati. Dunia pendidikan yang aku impikan sebelumnya. Ketika aku kelas XI, aku melihat orang asing banyak masuk di sekolahku dan aku bingung untuk apa mereka kesini. Mereka semua adalah anak-anak muda yang berpakaian rapi dengan baik dan akrab dengan guru-guruku. Ya, mereka adalah kakak kelasku yang terdahulu yang sekarang sudah kuliah semua. Ketika aku bertanya dengan guruku

Pak, kuliah itu mahal ya ?”, tanyaku

Tidak kok dek, malahan ada beasiswa bagi orang yang tidak mampu dan berprestasi, itu enak lo, diberi uang hidup plus bebas dari biaya kuliah”, tuturnya

“serius Pak ?”, tanyaku lagi

Iyaa, itu kakak kelasmu banyak yang dapat bidikmisi”,

Itu adalah pertama kalinya aku mendengar kata bidikmisi, sebuah kata yang tentunya asing dibenakku. Dari lubuk hati yang paling dalam aku mengatakan Aku harus mendapatkan bidikmisi, apapun resikonya”. Semangatku langsung berkobar, bagaimanapun itu adalah kesempatan emas bagiku untuk menuju gerbang pendidikan tinggi yang diimpikan oleh orang banyak. Belajar dan fokus terhadap apa yang diberikan oleh guru sewaktu di kelas adalah hal yang wajib dengan harapan mendapat nilai yang bagus.

Selasa, 06 juni 2012, pukul 09.00….pengambilan rapor kenaikan kelas

Pagi ini adalah hal yang dinantikan oleh siswa yang akan diumumkan oleh wali kelasnya masing-masing. Untuk peringkat ketiga besar akan dibacakan secara langsung oleh waka kesiswaan di halaman sekolah dengan orang tua wali yang mengerubung. Sebenarnya tidak ada harapan yang tinggi untuk mendapatkan peringkat yang tinggi, hanya perasaan yang seperti biasanya saja.

Ketika waktu pembacaan tersebut, dimulai dari kelas X. Satu-persatu peringkat di kelas X sudah dibacakan, dan hasilnya adalah gembira bagi mereka yang mendapatkan peringkat tersebut. Sekarang adalah bagian kelas XI ilmu sosial, hatiku semakin tak menentu ketika waka kesiswaan membacakannya,

“untuk peringkat pararel ketiga kelas XI IPS adalah……..(hatiku semakin deg-degan)……qoidul umaam…..”

“waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, seluruh temanku meneriaki aku karena tak menyangka aku akan mendapatkan pararel ketiga di IPS. Aku sangat senang sekali, mungkin ini adalah hasil kerja kerasku selama belajar berbulan-bulan kemarin, dan itu mendapat sedikit balasan senyuman dari ibu yang mendampingiku untuk mengambil rapor. Dalam gestur wajahnya mungkin dia sedikit bangga, namun beliau tahu bahwa aku nantinya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, apalah arti dari nilai yang tinggi.

Hingga suatu hari aku berdo’a seperti ini,

“ya Allah, bahagiakanlah hambamu walaupun dengan sedikit rezeki. Saya hanya ingin menjalankan kewajibanmu sebagai hamba yang taat, salah satunya adalah menuntut ilmu. Saya hanya ingin mengatkat derajat orang tua saya” dengan meneteskan air mata, perasaan yang sedih aku melanjutkan do’aku, Aku tak punya apa-apa kecuali hanya meminta kepada-Mu, membahagiakan orang tua, membuat bangga, bahagia lahir dan batin, adalah tujuanku. Semoga Engkau mengabulkannya”.

***

Menjelang Ujian Akhir Nasional SMA, hampir seluruh teman-temanku sibuk mempersiapkan untuk mengikuti berbagai bimbingan belajar. Baik bimbingan belajar untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional, maupun untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Seolah-olah seperti lomba untuk masuk di perguruan tinggi favorit. Akan tetapi, keadaan itu tidak seperti yang aku alami. Sejak semester akhir di kelas 3 SMA, Ibu sudah mengingatkan aku, “Le, kan wes neruske tekan SMA, wes ndisek yo? mandeg kerjo ndisek (Nak, kan sudah melanjutkan sampai SMA, jadi sudah dulu ya? Berhenti dulu, kerja dulu) Kalimat itu benar-benar menghantuiku. Selalu terngiang di telingaku setiap kali aku tergabung dalam pembicaraan bersama teman-temanku tentang kuliah. Sehingga aku hanya bisa diam dan berusaha tersenyum menahan kepahitan tiap kali terlontar pertanyaan kepadaku, “Mau kuliah dimana, Dul ?”

Hingga suatu hari datanglah kakak-kakak kelas lagi dari berbagai perguruan tinggi ke sekolahku. Sama seperti teman-teman yang lain, aku begitu antusias untuk mengikuti dan selalu bertanya-tanya tentang beasiswa. Tapi nampaknya begitu sulit mendapat beasiswa bagi seorang mahasiswa baru. “Ya sudahlah, Allah pasti punya rencana lain yang jauh lebih indah untukku”. Pikirku, setiap kali rasa pesimis itu datang.

Di hari lain, aku menemui guru BK di sekolah untuk meminta pendapat, yaitu pak Agung.

Pak, bagaimana peluang untuk bidikmisinya ?”, tanyaku

Kalo kamu ingin bidikmisi, ambil di luar Jawa le, Insya Allah peluangnya lebih besar”, jawabnya

Nggeh Pak, akan saya coba”,

Yang penting kuliah dulu le, nggak usah mikir kampusnya, semua kampus itu sama kok tinggal kitanya saja. Kalaupun kita diibaratkan seperti emas, tetap saja menjadi emas kok, walaupun ditaruh di tempat sampah”, beliau mencoba menasehati.

“Nggeh Pak, terima kasih atas petunjuknya”, sebuah nasehat yang terus aku ingat, pesan yang mempunyai makna mendalam tentang arti sebuah kehidupan

Mulailah seleksi masuk pergruan tinggi negeri yang pertama, yaitu SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sebuah jalur yang memang dikhususkan tanpa adanya tes, tapi dengan nilai rapor dari semester I-V. Banyak para siswa yang mengidam-idamkan lulus dalam seleksi ini, karena mudah dan tidak dipungut biaya. Mulai mendaftar dengan menginput nilai, aku upload beberapa piagam terbaikku untuk menambah poin dalam penilaian perguruan tinggi. Sempat aku bingung untuk mendaftar kemana, yang pasti saat itu yang ada di dalam pikiranku adalah kampus di luar jawa. “ya” kampus di luar jawa. Dengan beberapa pertimbangan kupilihlah kampus Universitas Pendidikan Ganesha. Aku memang memilih kampus dengan latar belakang pendidikan, karena tujuanku besok adalah menjadi guru. Sebelum pada hari itu aku mendapat nasehat dari guru, yaitu bu Mamik

Dul, kamu kalau ambil kuliah jurusan geografi saja, di sini belum ada guru yang sarjana geografi”, katanya

“lhoh *dengan wajah melongok…lha ibu sendiri jurusan apa ?”, tanyaku…karena pada saat itu memang beliau yang mengajar geografi

“saya dulu jurusan sejarah nak”

em…nggeh-nggeh Bu, siiaap”, jawabku dengan semangat, karena memang geografi adalah salah satu bidang yang aku pelajari juga di jurusan IPS.

Aku pilih jurusan pendidikan geografi, dengan langsung mengklik dengan membaca Bissmillahirrohmanirrohim….

Senin, 20 mei 2014. Pukul 12.00….

Tibalah saatnya pengumuman SNMPTN, hal yang sangat aku tunggu dan juga aku khawatirkan. Kubuka halaman web untuk mengecek dengan jantung yang berdebar-debar, badan panas-dingin, pikiran gak karuan, kaki gemeteran. Pertama membuka, gagal…..karena memang pada saat itu yang menggunakan web tersebut sangat banyak. Kedua…………………..gagal lagi, Demi Allah, aku benar-benar ingin menangis. Dengan tampang frustasi, aku terduduk lesu. Dan yang ketiga muncullah tulisan……………………

 

SELAMAT ANDA DITERIMA DI PERGURUAN TINGGI UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA DENGAN PRODI PENDIDIKAN GEOGRAFI

Subhanallah, melihat tulisan itu aku rasanya ingin menangis, sebuah perasaan gembira tiada bandingannya bisa diterima lewat jalur rapor dengan label calon pelamar beasiswa bidikmisi. Mendapat berita tersebut aku langsung mencari ibu dan memberi tahu, Mak, aku lulus masuk perguruan tinggi sebagai calon pelamar bidikmisi”, dengan mata yang berkaca-kaca beliau menghampiriku dan langsung memelukku. Sebuah perasaan yang sangat menyentuh hatiku, tanpa mengucapkan apa-apa mendengarkan berita bahagia dariku beliau langsung memelukku dengan tangisannya.

***

Perjuangan itu memang indah, teman. Lihatlah buah perjuangan yang keras itu. Beberapa bulan setelah melengkapi data yang dibutuhkan dan verifikasi, pengumuman pun datang membawa kabar gembira. Bidik Misi pun hadir sebagai jawaban atas masalahku selama ini. Aku menjadi Mahasiswa, kawan. Mahasiswa, sebuah label yang dulu sama sekali tidak berani aku bayangkan. Lihatlah, Mahasiswa Luar Biasa itu dengan keberaniannya datang ke tempat yang begitu asing baginya dengan percaya diri. Tempat yang dia yakini akan menjadikannya menjadi orang besar. Sebesar kekuatan dan keteguhan di dalam hatinya. Lihatlah, dia begitu percaya dengan janji-janji Tuhan.Setelah kesusahan, selalu ada kemudahan dan akan ada pelangi setelah hujan”

Aku,
Ingin menjadi seorang guru,
Mengabdi penuh kepada negaraku
Membangun cita-cita para pahlawanku
Demi tanah air cintaku
Tempat aku berpijak selama hidup
Akan kuberikan cahaya supaya tidak redup
Aku harus mampu
Memberikan yang terbaik bagi bangsaku
Generasi yang menjadikan negara ini lebih maju
Tanpa ada kata mengeluh

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

1 komentar

  1. halo, selamat datang dan terima kasih sudah mengikuti lomba artikel inspiratif Kartunet 2015. Kisah yang sangatmengharukan dan menginspirasi. Silakan sebar link artikel ke social media dan ajak sebanyak mungkin untuk like dan retweet agar jadi artikel terfavorit. Oia, mohon dapat dilengkapi pula di awal artikel dengan foto dari orang yangmenjadi tokoh inspiratif dalam hal ini foto kakak sendiri ya. tapi akan lebih keren jika foto bersama ibu yang mengagumkan itu. lalu mohon pula dilengkapi profil user terutama bagian short bio agar Kartuneters lain dapat lebih mengenal kakak ya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *