Brawijaya ‘Jemput Bola’ Rekrut Mahasiswa Disabilitas


Jakarta, Kartunet – Di tengah masih banyaknya institusi pendidikan yang menolak penyandang disabilitas untuk kuliah, Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur menggelar Seleksi Program Khusus Penyandang Disabilitas (SPKPD) yang berlangsung di Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) pada 18 Juli lalu. Ini seperti upaya Universitas Brawijaya ‘Jemput Bola’ rekrut mahasiswa disabilitas.

seleksi tersebut diikuti oleh 26 peserta yang sebelumnya telah lolos seleksi administrasi. Namun, menurut Ketua SPKPD UB 2014 Agustina Shinta, tercatat ada 27 peserta yang mendaftar.

“Satu peserta dinyatakan gugur pada seleksi administrasi karena dianggap sebagai penyandang disabilitas yang tidak memerlukan bantuan dalam aktivitas belajar mengajar. Dia dianggap mampu mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa di jalur reguler,” ujar Shinta, seperti dikutip dari situs resmi UB, Prasetya Online, Jumat (18/7/2014).

Shinta menyebut, rangkaian tes pada hari pertama terdiri dari verifikasi data, psikotes, dan tes kesehatan. Pada hari kedua akan diadakan tes simulasi perkuliahan dan hari terakhir akan dilakukan tes wawancara peserta SPKPD dan orangtua/wali peserta SPKPD. Dalam tes simulasi perkuliahan akan diberikan materi Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

“Berbeda dengan tahun lalu, tahun ini kami menambah satu hari untuk tes simulasi perkuliahan. Dalam tes tersebut dibuat situasi seperti kuliah, di mana ada dosen, buku, dan teman sekelas. Tes ini untuk melihat apakah siswa tersebut mampu menyerap apa yang dikatakan dosen, dan melihat cara siswa tersebut berinteraksi dengan dosen dan teman,” jelas dosen Fakultas Pertanian itu.

Dari seluruh peserta, tipe disabilitas paling banyak adalah tunarungu. Selain itu ada penyandang tunadaksa, tunagrahita, ADHD, Autis, dan Steven Johnson Syndrome. Para pendaftar dapat memilih tiga program studi sesuai minat mereka, namun akan ditelaah lebih lanjut apakah jurusan yang diambil sesuai dengan kapasitas mahasiswa tersebut.

“Tahun sebelumnya banyak yang diterima di Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, Seni Rupa FIB, Psikologi FISIP, dan Ilmu Perpustakaan FIA. Peluang bekerja dari lulusan mahasiswa disabilitas pada jurusan-jurusan tersebut memang besar, apalagi UB sudah bekerjasama dengan beberapa perusahaan yang mau menerima lulusan PSLD UB,” tegas Shinta.

Salah seorang peserta seleksi yang juga putra Penyanyi Dewi Yull, Panji Surya Putra mengaku sangat mengapresiasi program SPKPD UB. Sebab, lanjutnya, UB memberi kesempatan bagi penyandang tunarungu untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi setara dengan mahasiswa lain tanpa dibedakan.

“Saya ingin masuk jurusan Sastra Inggris karena selama ini kemampuan berbahasa Inggris penyandang tunarungu di Indonesia masih sangat kurang. Nantinya saya ingin menjadi guru,” ungkap Panji dengan bantuan interpreter Andreanus Abadi.

Apa yang dilakukan Universitas Brawijaya melalui Pusat Studi dan Layanan Disabilitas beberapa tahun terakhir ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan derajat hidup penyandang disabilitas. Selama ini, mereka tersisih hampir di segala aspek kehidupan dari ekonomi, sosial, politik, dan yang paling basic yaitu pendidikan. Diskriminasi di segala bidang tersebut, khususnya di pendidikan, tak ayal membawa mayoritas penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan. Tak adanya skill dan pendidikan yang memadai, membuat mereka sulit memperoleh pekerjaan yang layak.

Semoga perguruan tinggi baik swasta atau negeri dapat mencontoh teladan dari Universitas Brawijaya. Di kemudian hari, tidak hanya Brawijaya ‘jemput bola’ rekrut mahasiswa disabilitas.(DPM)

sumber: Okezone News 18 Juli 2014

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

2 komentar

  1. Bayangkanlah kalau setengah aeri anak dan remaja Indonesia menjadi penyandang disabilitas, Haruskah pemerintah bikin sekolah dan kampus dan luar biasa buat mereka?

    1. padahal jumlah penyandang disabilitas dari waktu ke waktu makin bertambah. masihkah para pembuat kebijakan yang menyebut dirinya “normal” berlaku arogan?

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *