Cemon

Namaku Cemon, mungkin agak asing ditelingamu. Bahkan mungkin terdengar agak lucu. Ya, mungkin kau menganggap begitu, tetapi aku tidak. Cemon adalah nama terindah yang pernah ku punya di sepanjang umurku. Ya, Cemon, nama yang diberikan  dari kekasihku Zargazio Zarexitara atau akrab dipanggil Zag. Cemon itu sendiri memiliki arti ‘sayangku’.

Nama lengkapku Cieramor Arevania, yang memiliki arti ‘selendang bidadari’. Sedangkan kekasihku, Zargazio zarextara, mempunyai arti ‘sang petarung ulung’, panggilan Zag pun juga mempunyai arti yaitu ‘penahluk’ dalam bahasa kami. Tapi kini, Zag telah tiada, dia telah disembelih oleh tuan Amir untuk selamatan cucunya yang baru saja pulang dari luar negri.

Sebenarnya aku gak rela Zag disembelih Pak Amir, karena cucu Pak Amir bukan orang baik-baik. Hanya aku dan kawanku yang tau hal itu. Dia, manusia bejad yang menjalankan bisnis narkotika bertaraf internasional. Namun si Kakek enggak tahu hal itu.

Uh…, Padahal kami telah bertunangan beberapa hari sebelumnya. Ketika itu, dengan susah payah, Zag membuatkan aku sebuah gelang dari ranting basah untuk dipasangkan di kaki kananku. Sebuah kejutan besar memang, karena Zag memasangkan gelang itu dengan susah payah di kakiku selama semalam suntuk. Ketika itu aku sedang tidur. Dan paginya dengan kokok nyaring, Zag membangunkan tidurku dan aku mendapatkan gelang baruku yang telah terpasang rapi di kakiku.

Setelah berhasil memasang gelang kakiku, lalu Dengan paruhnya, Zag kembali merapikan bulu-buluku dengan penuh mesra.

“Kita akan kawin, Sayang!” Kata Zag dengan kokok mesra.

“Aku sudah mengalahkan keempat pesaingku. Si Babon, si Goriz, si Britris, dan si Darzariz, semua sudah mendaulatku untuk menjadi suamimu.” Lanjut Zak kepadaku.

Ah, begitu indah memang pada awalnya! Namun apa mau di kata, Zag harus pergi. Dan sejak saat itu aku putuskan untuk meninggalkan kampungku karena ingin menghapuskan kenangan indah itu. Ah, Zag, andai saja kau masih hidup, pasti anak-anakku sudah banyak sekarang!

Aku sudah bersumpah, cintaku hanya untuk Zag, dan aku tak mau kawin dengan ayam mana pun. Kini aku sudah berada di tepi pantai Carita Banten. Tidak cukup mudah untuk sampai di sini, tiap saat bahaya mengancam. Banyak manusia yang ingin menangkapku dan memakan dagingku. Tapi aku adalah ayam yang lincah. Gerakkanku cepat, aku selalu melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Terkadang aku berlari setengah melayang karena sayapku cukup bagus menahan udara sekitar. Jadi mereka tak ada kesempatan untuk menangkapku.

Ya, aku sudah melawan kodrat. Karena selama ini aku sebagai ayam, merasa tidak terima karena hak azasinya selalu dilanggar oleh para manusia. Berapa banyak kawanku pergi karena disembelih, hanya gara-gara kawanku kalah dalam menyabung ayam, atau mereka menyembelihnya hanya sebagai teman minum bir. Bahkan ada yang mati mengenaskan karena tertabrak kendaraan mereka. Orang tuaku di-slepet sama anak-anak mereka hingga kakinya pincang, lalu akhirnya dia mati sia-sia karena tidak mampu lagi cari makan. Hal yang terakhir yang ku punya ya hanya Zargazio, tapi kini Zag pun sudah mati.

Sedih, tapi aku belum mau mati seperti mereka. Aku ingin menikmati kehindahan alam di pantai ini. Lihat di langit sana, awan-awan itu sungguh indah, mereka membentuk gugusan seperti perahu yang sedang berlayar. Ah, tidak…!!! Bukan itu saja, tiba-tiba muncul sekelompok burung menukik dari langit itu ke air!

Aku berkotek, mengagumi pesona itu. Burung-burung itu berenang lincah di air, mencari ikan-ikan kecil yang tampaknya akan mereka makan. Sungguh kasihan, ikan itu juga, kan, punya hak untuk hidup. Ah, mengapa, dalam kehidupan ini hanya ada dua pilihan, memangsa atau dimangsa? Padahal ikan-ikan itu lucu ketika mereka berenang. Tetapi burung-burung itu menangkap mereka dan membawa mereka kembali terbang untuk dimakan bersama di sarang mereka! Aku berkeok-keok tanda aksi protesku. Tapi mereka tak peduli. Oh, tapi sebentar, salah satu dari mereka menghampiriku? Ah, tidak, seekor burung perkasa! Mendarat dengan cantik tepat di depanku, dengan seekor ikan besar di paruhnya.

“Hai, aku Charitha de Marvhanos. Kau cukup panggil aku Chamar. maukah kamu makan bersama denganku? Tampaknya kau lapar.”

Oh, ternyata namanya Chamar! Nama yang bagus menurutku. Chamar berarti ‘mutiara’. Charitha de Marvhanos sendiri artinya ‘hati yang jernih’. Aku menggeleng, karena aku tidak suka ikan. Lagi pula, paruhku tidak dirancang untuk mengoyak tiap sisi dari ikan itu. Selama ini aku hanya makan sisa nasi dari sejumlah warung makan yang aku temui.

“Tidak terimakasih.” Kataku dengan kokok halus.

“Oh, ya, namamu siapa?” Tanyanya sambil meletakkan ikan itu di atas pasir. Ikan itu masih menggeliat lemah sebelum akhirnya patukan keras dari paruh Chamar mengakhiri hidupnya.

            “Cemon… Cieramor Arevania…” Jawabku juga dengan kokok lemah.

“Mana keluargamu?” Chamar mencicit ramah.

“Aku sebatang kara. Semua sudah mati.” Aku berkokok memelas.

“Oh, aku turut prihatin, mari ikut aku!” Aku mengangguk ringan lalu mengikuti langkahnya.

Namun, sungguh diluar dugaan, dia membungkukan badannya, mempersilahkan aku untuk bertengger di badannya.

“Mau kemana kita? Aku bisa mengiringi kamu melalui darat.” Tanyaku ragu-ragu sebelum bertengger di punggungnya.

“Kita akan menyeberangi samudera Cemon, kamu tidak akan sanggup berjalan di atas air!” Terangnya dengan cicit nyaring.

Akhirnya, aku pun menuruti kemauannya, dan chamar mulai merentangkan sayapnya. Wah, ternyata sungguh indah terbang bersamanya! Aku berkeok nyaring tanda luapan kegembiraanku karena bisa merasakan indahnya terbang di udara. Hembusan angin melayangkan anganku, menghempaskan kesedihanku, meniupkan aroma bahagia ke tubuhku. Oh, ternyata kelompok burung yang lain telah menunggu di tengah-tengah samudera. Chamar langsung menggabungkan dirinya kepada sekawanan burung lain sambil terus membawaku di atas bunggungnya. Sesekali sayapku, ku rentangkan untuk membuat keseimbangan di antara kami. Kami terus terbang menelusuri Selat Sunda, melintasi pulau Sumatera. Aku terus berkotek dan berkokok riang, menimpali cicit burung-burung yang lain. Hingga akhirnya kami pun mendarat dengan selamat di ujung pulau Sumatera. Hasil buruan mereka pun diletakkan di atas sarang-sarang mereka.

“Chamar, kenapa kau membawa ayam itu pula? Hmm, tetapi tak mengapa, biar nanti ku panggil si Elang. Elang pasti senang…!!!” Kata salah satu dari kawanan mereka yang bertugas menunggu di sarang. Aku bergidik ngeri mendengar hal itu.

“Dia Cemon, aku kasian padanya, dia ayam yang sebatang kara. Aku tidak mempersembahkan cemon untuknya!”

“Lantas?”

“Aku ingin mengajak dia menjadi kawanan kita!”

“Ah, gila kau, dia tidak sanggup berburu!” Cemoohnya dengan pandangan hina kepadaku. Aku berkokok sedih, sungguh aku merasa terhina.

“Biar nanti aku ajarkan!” chamar membela.

“Hahaha… Gila kau, gila kau, gila kau!!! Apa yang dia hasilkan? Sebutir padi?” Dia semakin mengejek. Air mataku langsung menetes. Aku menyesal ikut dengan Chamar.

“Hai Belibis, diam kau!” Chamar pun murka, aku tak sanggup menahan hinaan ini. Rasanya ingin aku kembali ke kampungku dan memilih untuk disembelih oleh Pak Amir. Aku rasa Zag sudah menungguku di alam sana. Tapi ah…, sudah terlanjur basah, mentalku bukan seperti itu. Aku yakin suatu saat aku pun pandai berburu.

Maka aku mulai berkawan dengan para burung yang menerima kehadiranku, termasuk Chamar. Mereka sangat antusias denganku. Tiap hari mereka mengajari aku berburu, ya, walaupun aku tidak pernah ikut makan hasil buruanku itu. Tetapi sebagai imbalannya, mereka mencarikan tempat penggilingan padi agar aku dapat makan di sana. Si Elang mengawalku ketika aku ingin makan, siapa pun yang akan menggangguku, maka paruh dan cakarnya siap merobek mahluk itu. Belibis pun meminta maaf atas perlakuannya selama ini kepadaku.

Hingga suatu hari, Chamar menghampiriku dan berkata yang seperti sudah kau tebak. “Cemon, aku menyintaimu, maukah kau kawin denganku?”

Aku terlonjak kaget, mana mungkin hal itu bisa terjadi?

Aku ayam, dan dia burung. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Aku hanya diam, meminta petunjuk kepada Yang Maha Pencipta.

Tuhan, apa yang harus ku katakan? Oh, Zag, apakah kau izinkan aku untuk kawin dengannya?

Sejak awal bertemu, aku memang menyintai Chamar, namun aku sadar siapa aku ini. Aku merasa tak pantas menjadi pendamping hidup Chamar. Oh, Zag, andai saja kau masih di sini bersamaku!

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Wijaya

Saya adalah orang yang hobinya membaca dan menulis.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *