Cerita Rakyat, Sebentuk Kekayaan Budaya Bangsa

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terbesar di dunia. Ribuan pulau tersebar dari Sabang yang terletak di sebelah barat hingga Merauke yang merupakan tapal batas negara kita di sebelah timur. Wilayah yang luas dengan kondisi geografis yang beragam menyebabkan budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia juga sangat beragam. Hal ini merupakan sebuah keunggulan tersendiri bagi negeri kita.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang telah merambah ke hampir semua bidang kehidupan, kesadaran masyarakat tentang kekayaan budaya yang menjadi keunggulan negeri kita pun mulai berkurang. Masyarakat semakin disibukkan oleh pesona aneka kebudayaan asing yang dapat masuk dengan bebas melalui teknologi komunikasi yang semakin maju dan tidak mengenal batas negara. Kebebasan pers yang dikumandangkan sejak bergulirnya reformasi turut pula membuka gerbang masuknya berbagai kebudayaan asing.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengkritik jalannya reformasi, melainkan hanya dimaksudkan sebagai pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga kebudayaan asli yang merupakan identitas kita. Sungguh sangat disayangkan jika gempuran kebudayaan asing membuat generasi muda kita perlahan melupakan akar budayanya.

Padahal kebudayaan asli warisan leluhur sangat penting karena hal itu adalah identitas bangsa. Salah satu hal yang merupakan warisan budaya ini adalah cerita rakyat. Dikutip dari www.gurupintar.com, cerita rakyat adalah cerita zaman dahulu yang berkembang di kalangan masyarakat di suatu daerah, yang menceritakan suatu kejadian yang kebenarannya belum diketahui sampai sekarang. Dalam setiap kebudayaan yang berkembang di Indonesia berkembang pula cerita-cerita rakyat. Cerita semacam ini biasanya disampaikan secara lisan secara turun-temurun, sehingga generasi-generasi selanjutnya dapat mengetahui cerita-cerita tersebut. Tidak sedikit pula cerita yang kemudian ditulis sehingga dapat terdokumentasikan dengan lebih baik. Cerita-cerita rakyat tersebut penting untuk diketahui dan dipahami sebagai bagian dari proses pembelajaran mengenai kepribadian bangsa.

Kisah-kisah yang berasal dari zaman dahulu tersebut juga merupakan sumber informasi karena mengandung kisah sejarah, nilai-nilai moral, dan informasi mengenai kehidupan masyarakat pada zaman itu. Misalnya, dengan membaca cerita Legenda Candi Prambanan yang dikenal pula dengan kisah Rara Jonggrang, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan pada masa pembangunan Candi Prambanan, dimana masyarakat masih meyakini adanya orang-orang yang memiliki kesaktian luar biasa.

Setting waktunya adalah ketika kerajaan yang dipimpin oleh Ratu Baka dikalahkan oleh Bandung Bandawasa. Ini mencirikan bahwa budaya pada zaman itu masih diwarnai dengan feodalisme.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cerita rakyat merupakan sebuah media komunikasi tradisional yang dapat memberitahu kita berbagai informasi.

Salah satu daerah yang kaya dengan cerita rakyat adalah Yogyakarta. Daerah yang terletak di sebelah selatan Pulau Jawa ini dikenal pula dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta atau sering disingkat DiY. Saya masih ingat, pada saat saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak sekitar tahun 1994, ayah saya membelikan buku yang berjudul Cerita Rakyat dari Yogyakarta. Buku yang ditulis oleh Bakdi Soemanto dan diterbitkan oleh Grasindo ini berisi beberapa cerita. Saya sudah tidak ingat dengan tepat berapa jumlah totalnya, akan tetapi masih ada beberapa cerita yang masih lekat dalam memori saya.

Yang pertama adalah Kisah Badhong Gatutkaca. Badhong adalah salah satu pakaian milik Gatutkaca yang memberikan kesaktian pada pemakainya. Dalam cerita ini, Gatutkaca yang merupakan putra dari Bima dan Arimbi ini sudah menjadi raja di kerajaan Pringgadani. Namun tidak semua anggota keluarga menyetujui hal ini. Salah satu paman Gatutkaca yang bernama Brajadenta memberontak karena merasa bahwa dirinyalah yang lebih pantas menjadi raja.

Dengan dibantu oleh paman-pamannya yang lain Gatutkaca berusaha memadamkan pemberontakan tersebut. Namun, Brajadenta yang sakti sulit dikalahkan sehingga Gatutkaca pun akhirnya harus turun tangan sendiri membunuh pamannya tersebut, kendati sebenarnya ia enggan melakukannya. Badhongnya, yaitu pakaian yang dipakainya di bagian punggung kemudian jatuh ke bumi dan berubah menjadi batu besar.

Dari cerita ini kita dapat mengambil unsur-unsur intrinsiknya. Pertama, yaitu penokohan. Di dalam kisah ini terdapat empat tokoh yang ditonjolkan, yaitu Gatutkaca, Brajadenta, Brajamusti, dan Brajalamatan. Gatutkaca, tokoh protagonis yang merupakan raja kerajaan Pringgadani merupakan seorang yang sakti, namun menghormati orang yang lebih tua, serta memiliki hati nurani. Brajadenta yang merupakan tokoh antagonis dalam cerita ini berwatak serakah. Brajamusti dan Brajalamatan yang merupakan paman-paman Gatutkaca yang lain berwatak setia dan rela berkorban untuk negara.

Sedangkan amanat dalam cerita ini adalah jangan berusaha mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Ini dilambangkan dengan tokoh Brajadenta yang berusaha merebut tahta yang bukan haknya. Akhirnya ia tewas di tangan keluarganya sendiri. Dari kisah ini juga dapat dikatakan bahwa kebenaran akan selalu menang melawan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Peranan cerita ini sebagai media komunikasi tradisional sangat jelas, yaitu cerita ini digunakan untuk memberikan keteladanan atau pendidikan moral terhadap para pendengarnya. Dan seperti kisah Rara Jonggrang yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, bagi kita yang hidup di zaman sekarang pun cerita ini masih memberikan manfaat, di antara lain kita menjadi tahu bahwa masyarakat Jawa zaman dahulu sangat akrab dengan cerita wayang, terbukti dari adanya tokoh Gatutkaca yang menjadi raja di Kerajaan Pringgadani.

Gatutkaca adalah salah satu tokoh dalam epos Mahabharata, salah satu cerita dalam mitologi Hindu. Cerita yang berasal dari India Kuno ini sangat merasuk ke dalam kebudayaan Jawa, karena pada zaman dahulu mayoritas masyarakat Jawa menganut agama Hindu, terbukti dari banyaknya kerajaan dan candi yang bercorak Hindu, seperti candi Prambanan.

Kemudian, cerita berikutnya yang saya ingat adalah kisah Jaka Pekik dan Retno Branta. Dikisahkan bahwa keduanya adalah dua bersaudara putra putri raja. Pada suatu ketika mereka tinggal di suatu dusun. Retno Branta kemudian akrab dengan seorang pemuda desa. Hal ini membuat Jaka Pekik curiga ketika melihat perut adiknya yang sedikit membesar. Hal itu membuat Jaka Pekik sangat marah karena mengira bahwa sang adik sudah melanggar batas kesusilaan. Jaka Pekik yang tidak tahu bahwa membesarnya perut Retno Branta itu adalah karena kebiasaan sang adik mengkonsumsi kunyit tanpa ragu lagi membunuh adiknya.

Pembunuhan itu pun menggemparkan seisi dusun. Masyarakat sangat marah dan mencela perbuatan Jaka Pekik membunuh adiknya hanya karena prasangka yang belum jelas kebenarannya. Setelah menyaksikan sang adik yang terbunuh di ujung kerisnya, timbullah penyesalan di hati Jaka Pekik. Ia pun pergi dari dusun itu, namun hal itu tidak dapat mengurangi rasa bersalahnya sama sekali. Setelah berhari-hari bergulat dengan rasa bersalah yang menyiksanya, akhirnya Jaka Pekik tewas karena kelelahan dan tidak sanggup menanggung rasa bersalahnya.

Jika dilihat unsur intrinsik dalam kisah Jaka Pekik dan Retno Branta ini, maka hanya ada tiga tokoh. Pertama adalah Retno Branta, kedua adalah si pemuda desa, dan yang paling ditonjolkan adalah Jaka Pekik. Tokoh ini melambangkan kecurigaan yang tidak jelas, yang akhirnya merugikan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu adiknya.

Sedangkan amanat dari cerita ini cukup jelas, yaitu jangan melakukan sesuatu di saat marah. Selain itu kisah ini juga mengajarkan agar tidak melakukan sesuatu atas dasar kecurigaan yang belum jelas. Kemudian amanat yang berikutnya adalah bahwa penyesalan dan rasa bersalah pun sudah merupakan hukuman atas sebuah kesalahan. Hati nurani akan selalu merasakannya sejauh apapun kita melarikan diri.

Kemudian ada pula kisah Ratu Pembayun, putri Panembahan Senopati yang berusaha mengalahkan Ki Ageng Mangir Wangsabaya yang merupakan musuh ayahnya dengan menyamar sebagai seorang penari. Muslihat ini berhasil. Ki Ageng Mangir terpikat dengan Ratu Pembayun dan menikahinya. Namun, Ratu Pembayun kemudian harus mengorbankan perasaannya ketika sang suami tewas terbunuh ketika menghadap Panembahan Senopati.

Seperti umumnya cerita rakyat, kisah ini juga belum jelas kebenarannya meskipun tokoh-tokoh di dalamnya memang nyata. Panembahan Senapati adalah raja atau sultan pertama kerajaan Mataram Islam. Sedangkan Ratu Pembayun adalah putri sulungnya yang di kemudian hari menikah dengan Ki Ageng Mangir Wangsabaya dan memiliki putra bernama Bagus Wangsabaya.

Kisah ini agak kontroversial. Ketika saya cari di Google, ada berbagai pendapat mengenai kisah yang sudah lama beredar di masyarakat ini. Ada yang mengatakan bahwa diutusnya Ratu Pembayun adalah untuk menarik Ki Ageng Mangir yang sakti ke pihak Panembahan Senopati. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu adalah strategi terkait misi penyebaran Islam terhadap Ki Ageng Mangir dan rakyatnya yang beragama Hindu. Dalam salah satu website yang tidak sempat saya catat malah ada yang mengaitkan peristiwa pembunuhan Ki Ageng Mangir dengan Raden Ronggo, putra Panembahan Senapati yang sakti namun sombong. Panembahan Senapati kemudian menutupi peristiwa tersebut dengan menyebarkan cerita bahwa dirinyalah yang membunuh menantu sekaligus musuhnya tersebut. Terlepas dari pendapat mana yang benar, menurut penulisnya sendiri, yaitu Bakdi Soemanto, kisah ini adalah sebuah upaya untuk menjelaskan keunikan makam Ki Ageng Mangir yang sebagian masuk ke area pemakaman keluarga kerajaan, namun sebagiannya lagi berada di luar area.
Hal ini seolah mengisyaratkan bahwa Ki Ageng Mangir adalah menantu Panembahan Senopati, namun sekaligus juga adalah musuhnya.
Hal yang patut digarisbawahi di sini adalah kesediaan Ratu Pembayun untuk mengemban tugas memikat Ki Ageng Mangir. Sebagai seorang putri raja, ia memiliki rasa cinta tanah air yang besar, terbukti dengan kerelaannya mengemban tugas tersebut, kendati harus mengorbankan perasaannya. Kisah ini juga berpesan bahwa demi kepentingan yang lebih besar, seringkali diperlukan pengorbanan yang tidak sedikit.

Penokohan dalam cerita ini ada empat tokoh, yaitu Ratu Pembayun, Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir Wangsabaya, dan Ki Juru Mertani. Namun, tokoh yang ditonjolkan hanya tiga, yaitu Panembahan Senopati, Ratu Pembayun, dan Ki Ageng Mangir. Ratu Pembayun berwatak setia, penurut dan rela berkorban.

Sedangkan Panembahan Senopati memberikan kesan agak kejam karena membenturkan kepala Ki Ageng Mangir ke singgasananya yang terbuat dari batu. Jika dilihat sepintas memang demikian, namun tokoh ini melakukan hal itu karena terdesak dengan kepentingan negara. Sehingga bila mempertimbangkan hal itu, saya menjadi agak kasihan kepada kedua tokoh ini, yang harus mengorbankan diri demi negara. Kemudian mengenai Ki Ageng Mangir, sayang sekali bahwa referensi yang ada di ingatan saya tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai wataknya.

Selain kisah-kisah di atas, buku yang ditulis oleh Bakdi Soemanto, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM ini juga berisi kisah-kisah lainnya seperti Legenda Pelengkung Madyasura, Legenda Tombak Baru Kelinting, dan Kisah Raden Ronggo. Namun, patut disayangkan bahwa jalannya waktu telah mengaburkan ingatan saya tentang kisah-kisah yang juga sarat akan nilai moral dan kearifan lokal tersebut.

Cerita terakhir di buku tersebut yang masih saya ingat dengan baik adalah Dongeng Kepel Iwel-Iwel. Dongeng ini mengisahkan mengenai seorang wanita miskin yang tinggal di sebuah desa. Wanita yang akrab dipanggil Mbok Rondho ini mempunyai seorang anak laki-laki yang besarnya hanya sekepalan tangan. Oleh karena itu anak ini kerap dipanggil Kepel Iwel-Iwel. Mbok Rondho membuatkan sebuah mainan untuk si Kepel berupa tempurung kelapa yang dilubangi bagian atasnya.

Pada suatu hari, Mbok Rondho menghadiri rapat darurat. Semua orang yang menghadiri rapat itu terlihat cemas. Kecemasan itu semakin menjadi-jadi ketika Kepala desa memberitahu semua warga bahwa telah muncul seorang raksasa di desa itu. Raksasa itu telah menimbulkan ketakutan di desa tersebut karena telah memangsa ternak milik beberapa warga. Bahkan ada warga yang hilang tak tentu rimbanya. Tanpa ada yang menyadari, di lantai terdapat sebuah tempurung kelapa, dimana si Kepel bersembunyi sambil mendengarkan.

Setelah rapat selesai, Mbok Rondho pun pulang. Kecemasan nampak membayang di wajahnya. Kecemasan itu berubah menjadi kepanikan saat ia tidak menemukan Kepel di rumahnya. Tanpa diketahuinya, putranya itu pergi ke tempat kediaman raksasa. Setiba di sana ia melompat ke dalam mulut raksasa yang sedang terbuka dan meluncur memasuki tubuhnya lewat kerongkongan. Ia kemudian memotong dan menyayat seluruh organ tubuh sang raksasa yang dapat dicapainya dengan pisau mungil yang dibawanya dari rumah.

Di luar, masyarakat desa terkejut mendengar gerungan dan teriakan sang raksasa. Dengan ketakutan bercampur heran mereka melihat sang raksasa memegangi perutnya sambil berguling-guling. Tak lama kemudian sang raksasa pun tewas. Masyarakat bergembira karena kehidupan mereka akan kembali aman dan damai. Si Kepel yang kemudian keluar dari tubuh sang raksasa dengan jalan merobek perutnya pun disambut sebagai pahlawan yang telah membebaskan desa dari cengkeraman bahaya.

Penokohan yang terdapat di dalam dongeng ini berjumlah tiga orang, yaitu Kepel, ibunya, dan Kepala Desa. Kepel yang menjadi tokoh utama dalam dongeng ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdik dan pemberani. Sedangkan Mbok Rondho, ibu si Kepel, adalah seorang ibu yang menyayangi anaknya. Terakhir adalah Kepala Desa yang selalu mengutamakan mufakat dalam memecahkan masalah yang menyangkut ketertiban umum.

Cerita ini memberikan amanat yang jelas bahwa kondisi fisik yang berbeda dengan orang-orang lain bukan penghalang untuk melakukan hal yang baik. Selain itu, kita juga diajarkan untuk menghargai segala sesuatu yang diciptakan Tuhan. Kepel yang kecil mungil dan tidak diperhitungkan oleh orang lain dapat mengalahkan raksasa dengan memanfaatkan kecerdikannya. Dalam perspektif disabilitas, dongeng ini juga memberikan motivasi yang penting, yaitu bahwa dengan memanfaatkan segala sumber daya yang diberikan Tuhan bukan mustahil kita dapat mencapai sesuatu yang besar tanpa terhalang oleh sesuatu yang oleh masyarakat umum disebut sebagai keterbatasan.

Selain itu, dalam dongeng ini digambarkan mengenai sebuah desa yang para penduduknya selalu memecahkan masalah dengan cara musyawarah. Hal ini juga mengajarkan kepada kita tentang sistem kehidupan di desa-desa tradisional di Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai persaudaraan yang erat, gotong royong, dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Setting ini sangat mencirikan kepribadian asli leluhur Nusantara yang damai dan menghargai perbedaan pendapat.

Sekian pembahasan saya mengenai Cerita Rakyat dari Yogyakarta. Cerita-cerita rakyat warisan leluhur hendaknya disikapi sebagai sebuah bagian dari kebudayaan yang memiliki nilai-nilai moral yang penting untuk dipahami. Kita tidak perlu antipati atau memandang sebelah mata terhadap cerita rakyat, karena kisah-kisah tersebut adalah produk budaya yang telah diwariskan turun temurun dari leluhur bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa kita sejak dahulu kala.

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

1 komentar

  1. hai kak. Tulisan yang sangat menarik. Dilengkapi dengan referensi juga mengenai dfinisi Cerita Rakyat yang dapat menambah kredibilitas tulisan. Ditunggu tulisan-tulisan lainnya ya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *