Ceritaku (1-4)

Pagi yang indah ya, kendati pun langit agak mendung seperti kemarin. Mungkin hujan yang mengguyur kota Subang dua hari yang lalu itu masih ingin meninggalkan jejak berupa warna kelabu di awan. Seperti biasa aku memulai kegiatanku dengan mandi pagi yang hampir selalu kulakukan langsung setelah bangun pagi. Hehehe, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, jadi aku selalu merasa nggak enak kalau nggak mandi cepat-cepat setelah bangun tidur. Seperti biasa otakku yang segar setelah diistirahatkan semalaman mulai berkicau. Mungkin karena sudah kebiasaan pulalah jadi aku nggak sampai hati untuk menyuruhnya diam. Sehingga bisa ditebak bahwa di antara guyuran air di kamar mandi aku memutar kembali rekaman-rekaman peristiwa yang tersimpan di kepalaku.


 


Salah satunya adalah ajakan yang kuterima kemarin dari salah satu temanku untuk menulis semacam otobiografi. Ajakan yang tertuang dalam sebuah pesan singkat alias SMS itu membangkitkan sebuah ide. Kenapa tidak? Rasanya aku bisa menuliskannya menjadi sesuatu yang menarik, setidaknya bagi diriku pribadi. Mungkin akan ada yang menganggap pikiranku ini terlalu narsis ya, hehehe. Tapi bukankah orang harus selalu memulai langkah yang besar dari garis start? Kalau nggak dimulai bisa-bisa kisah hidup seorang Chrysanova ini lambat laun akan musnah terkikis zaman.


 


Mungkin aku mulai dari yang kecil-kecil dulu saja dan nggak dari awal. Habis kalau mau diurutkan berdasarkan kronologisnya rasanya susah banget. Iya nggak? Hal yang ingin sekali kuceritakan dan mungkin ingin pula diketahui oleh temanku itu adalah kisah asal-usul why I become blind.


 


Mungkin aku mesti mulai dari tahun terakhirku di SMP. Waktu itu aku lagi menempuh persiapan ujian. Ujian akhir ini ibarat tiang gantungan, hehehe, karena dialah penentu seluruh hidupku ke depan. Apakah aku bisa melanjutkan pendidikanku? Begitulah, hari demi hari kulewati dengan serangkaian try out. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan. Apalagi bagiku yang sejak kecil memang sudah dibiasakan dengan semangat juang 45 untuk menuntut ilmu. Malam-malam harinya selalu diwarnai oleh segunung buku. Hehehe, barangkali nggak sampai segunung. Aku minta maaf karena kadang aku terlalu lebay. Tapi ini kan Cuma penggambaran sekilas aza agar bisa dibayangkan seperti apa aku waktu itu yang tentunya sangat berbeda dengan sekarang (tapi semangat 45-nya Insya Allah tetap ada dong! Itu wajib bagi seluruh anak bangsa Indonesia, hehehe). Sorry, kalau sudah nulis seperti ini aku sering melantur. Baik, kita kembali lagi ke jalur utama.


 


Kira-kira pada waktu bergulat dengan try out itulah tragedi mulai menghadang. Soal-soal yang tertulis di kertas putih itu acapkali menghilang secara mendadak dari pandangan, namun akan segera muncul kembali beberapa saat kemudian. Demikianlah, kukira tumor yang bersarang di otakku sudah mulai mempermainkan mataku ketika itu. Kejadian seperti itu terus saja berulang hingga akhirnya aku lulus. Namun sayang seribu sayang nilaiku tidak terlalu memuaskan saat itu. Aku sendiri kaget melihat kenyataan itu. How can it be? Padahal aku ini sempat merebut juara umum saat duduk di kelas dua.


 


Aku masuk SMA. Hal itu sangat kusyukuri karena sekolah menengah atasku itu adalah sebuah SMA favorit di kotaku. Betapapun aku kecewa karena nilai ujianku tidak terlalu sesuai harapan, tapi toh masih cukup untuk mengantarku masuk SMA favorit. Harus kuakui, masa itu adalah masa yang berat. Agak sulit bagiku menerima pelajaran-pelajaran baru, apalagi mata pelajaran yang memang sudah terhitung musuh besar bagi mayoritas siswa seperti matematika. Kalau sekarang ini aku menengok ke masa itu aku punya kecurigaan besar bahwa benda asing di dalam kepalaku itu turut andil mengacaukan proses belajarku. Namun di luar itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa saat itu adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku. Aku berkesempatan untuk mengenal dunia yang lebih luas daripada yang kukenal di SMP. Teman-teman sekelasku baik-baik. Aku tidak sempat mengenal semua teman yang duduk di kelas lain, tapi aku cukup puas karena dunia SMA memberikan hal baru bagi otak mudaku kala itu.


 


Namun seperti yang mungkin sudah diketahui banyak orang yang sudah mengenalku bahwa aku tidak lama berada di SMA. Dari bulan pertama aku di sana kondisiku sudah menunjukkan penurunan. Kendati demikian hal itu tidak terlalu kelihatan mencolok sehingga aku tetap saja menjalani semua aktivitas seperti biasa. Olahraga tetap nekat kuikuti kendatipun guru olahragaku sudah melarangku ikut kegiatan yang terbilang berat. Ini tentu karena beliau tahu riwayat kesehatanku yang mencatat bahwa ada tumor yang menumpang hidup di batang otakku. Seperti benalu di batang pohon. Yeah, mungkin itulah perumpamaan yang paling tepat mengingat bahwa kehadiran benda itu sempat mengganggu kerja pusat pengendali kegiatan tubuh itu.


 


Bahkan pernah ketika penyakit itu kambuh pada saat usiaku beru menginjak sembilan tahun, aku yang sudah dalam keadaan tidak berdaya sehingga hanya berbaring di tempat tidur itu tidak bisa bernapas. Aku yang sudah merasakan pusing di kepalaku sejak lama terpaksa minta izin sakit dari sekolah dasar tempatku belajar. Saat itu aku baru duduk di kelas empat SD. Waktu itu aku tidak mengerti benar apa yang terjadi pada tubuhku. Kepalaku sangat sakit sehingga aku hanya bisa berbaring di tempat tidur. Berdiri pun aku harus dipegangi agar tidak jatuh. Rasanya tubuhku lemas dan kepalaku sakit sekali. Berhari-hari kulewatkan waktuku dengan berbaring di tempat tidur. Maaf, karena kejadian tersebut sudah lama berlalu maka aku sudah lupa lagi detailnya.


 


Pendek kata, tibalah malam itu. Aku yang masih tergolek di ranjang sedang disuapi oleh ibuku. Saat itu aku nyaris tidak bisa merasakan makanan yang masuk ke mulutku dan apakah aku menelannya atau tidak. Tiba-tiba aku tersedak. Aku hanya tahu apa yang terjadi setelah itu dari cerita yang disampaikan keluargaku. Ketika tersadar aku mendapati diriku sudah berada di tempat lain. Suasananya sangat asing dan aroma yang menguar di udara juga aneh, tidak seperti di kamarku sendiri. Saat itu ada seseorang yang berdiri di samping tempat tidurku. Aku bertanya di mana ini dan ia menjawab bahwa ini di rumah sakit.


 


Belakangan baru aku tahu apa yang terjadi di malam saat aku dibawa ke sini. Makanan yang kumakan waktu itu tersesat jalan sehingga ia masuk ke tenggorokan bukannya ke jalan yang semestinya yaitu lewat kerongkongan lalu ke lambung. Praktis, makanan yang sudah tersesat itu masuk ke paru-paru dan menghalangi oksigen untuk masuk. That’s why I didn’t know what happened around me. Aku kehilangan kesadaranku selama beberapa waktu yang tidak kuketahui dengan pasti berapa lama.


 


Kini bila aku teringat lagi tentang itu aku sering tertawa sendiri. Aku yang masih berumur sembilan tahun tidak merasa takut, bosan atau benci. Namanya juga anak kecil ya? Sehingga selama dua bulan aku berada di sana aku nyaris terbiasa sehingga mulai menikmati suasana. Sering juga sih aku deg-degan kalau perawat datang membawa jarum suntik atau jarum infus baru. Jangka waktu perawatanku yang lumayan panjang membuat infus itu harus sering diganti dan dipindah tempatnya. Oh iya, yang lebih seru lagi kepalaku tentu saja digunduli. Lalu setelah operasi aku menjalani masa pemulihan dengan membaca. Rupanya hobi yang sudah mendarah daging itu tidak mau menunggu sampai aku pulang ke rumah.  Aku yang merasa sudah membaik pada waktu itu langsung minta dibelikan buku-buku kepada orangtuaku. Tentu saja Cuma buku bacaan ringan seperti buku cerita karangan HC. Andersen dan komik-komik Dora Emon. Juga novel-novel Lima Sekawan atau Trio Detektif. Buku-buku itu sangat efektif membunuh kebosananku. Dan yang lebih asyik lagi tentu makanan. Hehehe, I didn’t know why, selama masa pemulihan itu makanan apapun yang masuk ke mulutku rasanya enak. Hehehe, wajarlah. Kalau sudah sehat pasti semua terasa enak.


 


Aku tidak pernah menduga bahwa apa yang pernah kualami pada usia sembilan tahun itu akan terulang lagi. Pada usia lima belas tahun, yaitu beberapa bulan setelah masuk SMA kondisiku terus menurun. Pada mulanya aku tidak berpikir bahwa penurunan itu bersumber dari tumorku yang


 Masih betah menghuni kepalaku. Dokter memang tidak mengangkat keseluruhannya dengan mempertimbangkan letaknya di batang otak yang merupakan daerah rawan. Waktu itu letaknya sudah sedemikian melekat sehingga dikhawatirkan jika diangkat seluruhnya akan mengganggu jaringan di sekelilingnya. Wujud dari penurunan kesehatanku itu antara lain terlihat dengan terganggunya keseimbangan tubuhku. Aku mulai sering jatuh dan jalanku pun terhuyung-huyung sehingga teman-teman sekelasku yang baik hati selalu menjagaku ke mana pun aku pergi di kompleks sekolah. Mereka juga tidak segan menuntunku bila dalam pelajaran olahraga kami harus pergi keluar gerbang sekolah.


 


Bukti lainnya lagi dari kebaikan dan besarnya perhatian dari teman-teman sekelasku pada waktu itu adalah saat kejadian yang agak memalukan terjadi. Saat itu aku pergi ke sekolah dengan membawa banyak buku sesuai jumlah pelajaran hari itu. Maka aku pergi ke sekolah dengan menggendong tas besar yang lumayan berat, namun perjalanan yang kutempuh dengan angkutan umum membuat beratnya tidak terasa. Barulah setelah turun dari angkutan aku merasa beban di punggungku itu berat sekali. Maka terpaksalah aku terseok-seok dari pintu gerbang sekolah sampai ke kelasku yang terletak di seberang lapangan upacara. Sehingga pada saat melewati ambang pintu kelas keseimbanganku benar-benar hilang. Tanpa bisa ditahan lagi aku jatuh tertelungkup. Untung belum ada guru yang datang sehingga mukaku dapat terselamatkan, hehehe. Spontan seisi kelas menghampiriku. Mereka membantuku berjalan ke bangku sedangkan yang lainnya membawakan tasku ke meja. That’s very nice of them. Mereka baik sekali sehingga tidak bisa kulupakan hingga sekarang walaupun jalannya nasib yang berbeda membuat kami semakin jauh dan akhirnya tidak kuketahui lagi kabar mereka.


 


BERSAMBUNG


editor: Putri Istiqomah P

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *