Aku, Biru Putihku

Hai! pingin nyoba nulis cerpen romantis niih! mohon maaf buat teman-teman yang namanya kesebut dalam cerita ini.
satu hal! ini sama sekali bukan pengalaman pribadi loh! hahaha!

Di antara kabut putih yang bergumpal-gumpal memenuhi pandang itulah, sepotong memori kembali menukik tajam,
biru, merah dan hijau, bersilang-silang umpama parasit tunggangan.

***
Awal yang indah, berbalut seragam pesakitan sebagai Siru ‘ siswa Baru ‘ aku terseok, kikuk. Padahal saat berangkat jam belum berbunyi pukul enam tepat, tapi aku sudah di sini, beberapa meter dari gerbang sekolah yang jarak sebenarnya hanya beberapa langkah saja dari kamar tidur.
Di belakang Sri menggigil, sama ketakutannya denganku. Ingusnya yang tak henti mengalir semakin manambah ngenesnya dia waktu itu.
“Kira-kira berapa orang lagi di depan”? Tanyanya sambil merapat ke punggungku. Kurasakan betul dingin tangan dan mungkin seluruh tubuhnya.
“Kira-kira 4 orang”. Aku menjawab tak pasti, sebab pandang mataku tak sampai untuk menyentuh bagian paling depan pintu gerbang itu.
Suara teriakan dan bentakan di sana benar-benar meruntuhkan nyali kami berdua, amat kritis, sekaligus sedikit menggelikan.
Sri semakin berat, tangannya kaku saat aku menyeretnya lebih dekat ke sumber suara.
Sampai akhirnya. …..
“Selanjutnya! maju”! Aku dapat lebih jelas menangkap pemandangan di depan. Dua orang temanku paling dekat dengan pintu, sama-sama berbaju pesakitan, sama-sama dengan kantong kresek besar dan sama-sama berada pada Zona tak nyaman.
“Maju dong! kamu budek yah? sudah buta budek pula”?
Sofyan yang kurus kering itu adalah teman baikku selama SD, tubuhnya hampir melompat saat bentakan itu jelas tertuju kepadanya.
“Eh! eh! malah membego jadi patung begitu kamu”? Bentak kakak jangkung  itu, aku bisa melihat dengan jelas ketika tangan kekarnya mencengkram pundak Sofyan yang bak batang pisang kering.
“Ke-ke-ke-kepada! kakak pa-pa-pa-paniti-a! hormaaat! gerak”!
Setelah itu aku hanya mendengar suara nyamuk yang mendengung-dengung menyakitkan disertai bayang-bayang sofyan yang akhirnya meninggalkan pos pertama sambil merangkak.
“Nens! bangun! tinggal kamu tuh”! Seorang gadis dengan pakaian rapi dan wibawa mencolek pundakku saat aku masih berjongkok dengan kedua telapak tangan menempel erat di telinga.
“Aku sontak bangkit, terperanjat melihat Kak Tri yang punggungnya sudah menghilang di balik punggung penjaga pos.
“Selanjutnya! maju”! Perlahan kulepaskan tangan Sri yang sudah bak Mayat hidup dari pergelanganku. Dengan langkah yang entah mengapa mendadak tegap, aku memasuki zona kritis pos pertama.
Setelah meletakan barang bawaan di samping kiri, akupun langsung melakukan penghormatan.
“Kepada! kakak panitia! hormat! gerak”!
“Lapor! saya Nensinur! calon siswa SMP! siap melaksanakan tugas! laporan selesai”! Tambahku setelah menurunkan tangan kanan.
“Serahkan tugas-tugasnya sekarang”! Selanjutnya dua kakak panitia yang berdiri di kanan dan kiriku itu langsung memeriksa benda-benda yang ada dalam kantong kresek hitam yang aku serahkan.
“Coba kamu sebutkan lagi benda-benda yang harus kamu bawa”! Kini giliran Kakak perempuan tak kalah sangarnya yang berdiri di sebelah kiriku membentak. Aku tahu dia, namanya kak Nur, teman se-asramaku yang juga terkenal judes dan galak.
“Barang-barang yang harus dibawa untuk ospek hari pertama! 1! Akua rasa Ayam bawang! 2! 5 batang tongkat berisi coklat! 3! ban mobil rasa stroberi! 4!  5! 6! 7! bla bla bla. Aku menyebutkan benda-benda tak masuk akal itu dengan lantang.
“Ini apa”? Kembali cowok sangar itu bertanya sambil menyerahkan bungkusan kepadaku.
“Ini  kacang kedelai”! Aku menjawab tegas.
“Berapa jumlahnya”?
“298 butir”!
“Benar jumlahnya segitu? kamu yakin”? Kali ini aku terdiam, terbayang kembali percakapan tadi malam di atas ranjang bersama Sri. Dia yang kala itu konsen menghitung tumpukan kacang kedelai di dalam mangkuk sempat aku tertawakan.
“Haha! Sri! kamu ngapain susah-susah menghitung? emang kamu yakin besok para panitia galak itu bakal periksa dan mau repot-repot hitung tuh kedelai”? Aku mengejek sambil ongkang-ongkang kaki.
Sehari penuh aku dan teman-teman seluruh peserta ospek dibuat kelimpungan dalam mengumpulkan barang-barang aneh yang diwajibkan panitia. Tangan dan kaki terasa remuk akibat berjalan dari satu warung ke warung lain untuk membeli benda-benda itu. “Ular di dalam daun pisang? ah! ada ada aja si neng ini! mana ada atuh neng! bisa lari semua pembeli warung ini kalau ibu jual makanan kayak begituan”! Ucap Ibu Lina yang biasa menjual makanan basah itu sambil cengar-cengir.
“huuuh! memang sialan para panitia itu! aku dibikin malu begini sama orang-orang akibat membeli makanan yang aneh-aneh dan susah banget ketebaknya”! Umpatku dalam hati sambil terus berjalan menggandeng tangan Sri yang tak henti-henti menggerutu.
“Wouy! malah bengong kamu! jawab pertanyaan saya! betul jumlah kedelai ini 298 butir”? Akhirnya pertahanan yang sudah kubangun sekuat tenaga itu runtuh. Sambil menggeleng aku menjawab pelan.
“Sa–sa-saya gak tahu”.
“hai! kamu! mau mencoba bohong yah? ambil posisi skot jam”!
Begitulah, setelah melakukan skot jam sebanyak 25 kali, akupun terpaksa meninggalkan pos dengan berjalan jongkok.
Tiba di pos 2 yang ternyata bagian depan dari lapangan, aku langsung menjatuhkan diri. duduk berselonjor kaki sambil mengurut betis yang terasa ngilu.
Keadaan teman-teman tak jauh berbeda, bahkan kulihat Sofyan masih menelungkup di atas rumput dengan nafas tersengal.
Tiba-tiba aku teringat Sri. Bagaimana ya keadaan dia? semoga saja cowok  galak itu tidak sampai membuat Sri kenapa-napa.
“Awas saja kalau sampai dia menyakiti Sri! akan kubalas dia”! Aku mengepalkan tinju saking sebalnya.
“Ngomong-ngomong kamu tahu enggak siapa cowok galak penjaga pos pertama itu, Dam”? Tanyaku pada Adam yang juga tengah mengurut betisnya.
“Wah, aku kurang tahu tuh, tapi yang kudengar kemarin sih dari A Wawan, akan ada tambahan panitia ospek dari alumni. Barangkali dia orangnya”. Hmm, ya, mungkin juga kalau cowok galak itu salahsatu alumni sekolah ini. Sayang aku tak pernah mengenal dia jadi tidak tahu namanya.

Perhatianku segera teralihkan saat dari kejauhan kulihat ada yang datang sambil berjongkok menuju pos 2.
“Sri! berdiri saja deh! belum ada panitia kok”! Aku berteriak pada Sri yang langsung berdiri.
Segera aku berlari menghampirinya.
“Kamu tadi dihukum juga Sri”? Tanyaku setelah kami duduk kembali di rumput.
“Kakak panitia yang cowok itu menyuruh aku skot jam 10 kali. Aku sebel banget sama dia, padahal semua tugas sudah benar”.
“Apa Sri? kamu disuruh skot jam cuma 10 kali”? Aku bersungut. Sialan banget cowok itu, dia malah menghukumku sampai 25 kali skot jam.

Acara ospek hari itu berjalan lancar. Setelah kekesalan tadi pagi acara selanjutnya cukup menghibur dan berkesan.
Selesai olahraga pagi, kami bermain Games dan berkenalan.
Ada 40 peserta ospek tahun itu. 17 orang calon siswa SMP, 11 orang calon siswa SMU kelas musik, sisanya calon siswa SMU kelas bahasa.
Mungkin karena tahun itu siswa baru amat banyak jumlahnya, jadi panitia ospek yang terdiri dari para siswa SMU itu meminta bantuan dari para alumni yang sudah duduk di perguruan tinggi atau yang meneruskan jenjang SMU di sekolah umum.
Setelah perkenalan antar siswa, giliran para panitia ospek yang memperkenalkan diri, lengkap dengan jabatan mereka di dalam kepanitiaan.
Perkenalan pertama dimulai oleh kak Irwan, ketua panitia sekaligus ketua Osis. Sontak aku dan teman-teman khususnya yang Cewek berteriak histeris.
Kak Irwan memang cowok yang banyak diidolakan oleh para siswi. Selain Wataknya kalem, sikapnya lemah lembut dan sok pasti sangat pintar dalam banyak bidang.
Cowok penderita Glaukoma itu cukup mendapat gelar bintang dari para guru. Banyak piala yang diraihnya dari berbagai Kompetisi. Selain itu dia adalah pemilik kursi juara kelas setiap tahun.
“Mukanya? ganteng loh”! Kata Teh Titin si ratu kantin sambil mencuwil pipiku.
“A! sayang! kak Irwan itu sudah punya pacar! katanya dia jadian sama Kak Nur beberapa minggu lalu, tapi katanya masih sembunyi-sembunyi gitu”. Bisikku di telinga Sri yang masih sibuk mengelap ingusnya.

Perkenalan itu terus berlanjut. Hingga tiba pada suara seorang cowok asing yang kami hafal jauh menjelang pintu pos pertama.
Ya, dia si kakak galak itu, kembali tinjuku membulat begitu dia mengucap salam.
“Kenalkan, saya Efan, alumni SMP Pajajaran, dan sekarang melanjutkan sekolah ke SMU PGII kelas II”. Katanya singkat.
Sontak saja perkenalannya disambut seruan tak enak dari semua  peserta.

Begitulah, acara ospek berlangsung selama 1 minggu full, dan Sabtu itu adalah hari terakhir dimana kami akan mengadakan penutupan.
Kami tidak lagi memakai baju pesakitan berupa seragam serba coklat karena memang sehari sebelumnya sudah penuh lumpur akibat acara Pionering.
Kali itu semua peserta dan panitia memakai kaos berwarna putih dan celana jins berwarna biru.
Sebelum aku keluar dari kamar, Ibu pembimbing asrama sedikit menggodaku.
“Ciyeee Ciyeeee! anak SMP ya sekarang”? Katanya sambil mengelus kepalaku.
Kulihat Sri, kak Nur, Kak Tri dan beberapa peserta se-asrama sudah berkumpul untuk berangkat bersama.
Hari ini agendanya memang upacara pembubaran ospek yang akan dilaksanakan di Dago Pakar.
Jadi tidak lagi ada acara bentak-bentakan atau hukuman.
Seperti biasa aku berjalan bergandengan sahabatku Sri. Dia juga tampak lebih santai dan tangannya tak lagi gemetaran seperti seminggu ini.
“Kamu gak kepangan Nens”? Katanya sambil meraba rambutku yang memang dibiarkan terurai di punggung.
“Sekarang kita sudah SMP Sri! kepang dan pita, tinggalin aja”! Jawabku sambil tertawa.
Singkatnya, dengan menumpang sebuah bis kami tiba di tempat acara.
Para guru dan panitia bergabung duduk di bawah kerindangan pohon bersama seluruh peserta.
Tiba-tiba mataku menangkap sepasang muda-mudi yang duduknya tak jauh dari aku dan Sri. Ternyata mereka adalah KaA Irwan dan Teh Nur. Setelah kegiatan ospek selesai kami memang diperbolehkan memanggil kembali nama para senior dengan panggilan biasa.
“Wah! Sri! gak jauh dari kita ada A Irwan sama teh Nur tuh”! Aku berbisik ke telinga Sri.
“Tuh kan? apa kata aku? mereka itu udah pacaran Nens! jadi jangan mau deh berurusan sama teh Nur! tahu sendiri juteknya kayak apa”. Sementara aku hanya terkekeh mendengar kekhawatiran Sri seperti itu.
“Oya! ngomong-ngomong, si uka-uka ada gak? kok gak kedengeran suaranya”? Sri mengalihkan pembicaraan.
Ya, Uka-uka itu panggilan untuk Kak Efan. Selama ospek kami para peserta biasa memanggilnya begitu, entah siapa yang mengawali, yang pasti sebutan itu sangat pas buat dia yang menyeramkan. hehe.
Tapi sebenarnya, kalau difikir lagi, ada yang tidak sempat jadi perhatian kami terhadap panitia yang satu itu selain dari kegalakannya.
Karena setelah kuingat-ingat, Kak Efan itu punya sisi yang lain. Ya, Di luar ospek dia cowok yang amat pendiam. Jarang sekali kami mendengar tawanya di antara panitia lain saat sedang berkumpul di ruang sekretariat.

Mungkin ini adalah kejadian paling konyol saat ospek kemarin.
Hari itu hari ke-tiga ospek.
Kami duduk di atas rumput di bawah matahari pukul dua siang. Amat terik menyinari tubuh kami yang lusuh.
Kak Efan yang dipasangkan dengan kak Nur berdiri mondar-mandir di tengah lingkaran.
“Keluarkan surat cinta yang tadi kalian tulis sekarang”! Bentak kak Efan yang disusul tegas perintah kak Nur.
Hampir bersamaan kami mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas.
“Siapa yang terkena lemparan koin ini, maka dia yang maju ke tengah dan membaca suratnya dengan lantang”! Seketika detik-detik menegangkan itu kental di tengah lingkaran. Masing-masing berdoa agar koin itu tak sedikitpun menyentuh tubuh kami.
“Ayo mulai”!
“Di sini senang di sana senang dimana-mana hatiku senang, di rumah senang di skolah senang di mana-mana hatiku senang. Lalalala lalala, lalalala lalala, lalalala lalala, lalalala.
“Nens”! Sri menyenggol tanganku saat koin itu jatuh tepat di pangkuanku.
“Ayo jujur! jangan ada yang bohong! di sini ada yang bisa melihat pada siapa koin itu jatuh”! Aku menggigil, keringat dingin mulai merembes baju pesakitanku.
Sebelum makan siang tadi, kami memang diperintahkan menulis selembar surat pernyataan cinta yang ditujukan langsung pada panitia ospek.
Saat itu aku dan Sri duduk di pojok ruangan sambil berfikir keras. Kami ini Anak lulusan SD, kok bisa-bisanya panitia itu menyuruh menulis surat cinta? itu sama artinya dengan menyuruh kami berfikir urusan orang dewasa”. Fikirku dalam hati.
“Kita mesti nulis apa nih Sri! kamu memang bisa buat surat begituan”?
“Ah, kamu Nens! ada-ada aja! siapa juga yang bisa nulis kaya begitu? kita ini kan baru lulus SD”. Jawab Sri sambil tetap mengelap ingus yang semakin deras. Mungkin Dia mengalami setres hingga penyakit Sinusnya sering kambuh.

“Semua tolong diam! jangan ada yang mengeluarkan suara! kita dengarkan curahan hati yang akan disampaikan oleh gadis ingusan ini”!
Tubuhku bergetar hebat, ke-dua kakiku seakan tak lagi menginjak tanah. Tak disangka akan mengalami hal serupa ini.
“Dear kaka yang menyebalkan … … …”. Aku menghentikan kata-kata sebelum menyebutkan nama si penerima surat.
“Baca yang keras”! Kak Nur mulai tak sabar.
Akhirnya, dengan tubuh yang bergetar semakin hebat, keringat dingin yang terus mengalir deras, serta jari telunjuk yang dipakai meraba titik-titik terasa semakin kaku, akupun melanjutkan.
“Dear kakak yang paling menyebalkan … kak Efan”.  Tiba-tiba suasana yang tadinya riuh bernada menggoda, mendadak sunyi. Suaraku pun seolah melayang saja di udara.
“Kak, kenapa sih kakak kok galak banget? padahal aku sudah berusaha jadi Siru yang baik, manis dan sangat penurut.
Tapi kenapa kakak selalu galak padaku? setiap yang aku kerjakan selalu saja salah dan salah.
Apa kakak tidak tahu, kalau hati aku sakit setiap kakak membentak aku dan teman-temanku.
Apa kakak itu hatinya sudah mati, karena tidak tersentuh waktu melihat teman-temanku dipaksa merangkak di lumpur dan apa hati kaka sudah jadi batu saat semua Siru Perempuan kakak paksa memegang Cacing.
Pokoknya aku benci sama kak Efan, aku gak akan pernah maafin kak Efan yang udah membuang pita rambut kesayanganku ke selokan.
Padahal kalau saja kakak tahu, pita itu hadiah dari kakakku untuk ulangtahunku yang ke-tigabelas. ….”.

Entah mahluk apa yang tiba-tiba merasuki tubuhku, karena sejadinya jari tanganku tetap diam di baris pertama.
Aku benar-benar tidak membaca apa yang tertulis dalam selembar kertas itu.
Bibirku tiba-tiba saja membuka lantang, mengatakan semua yang ada dalam hati saat itu.
“Kok kalian diam? ayo beri tepuk tangan buat Siru terjujur kita hari ini”! Kak Efan seperti tidak tersinggung atau marah. Sebaliknya dia malah ikut tertawa bersama semua peserta. Sementara aku duduk lemas di samping Sri. Lembar surat cinta itu masih utuh belum tersentuh jemari.
“Nens! kok kamu malah menulis begitu sih? bukannya tadi kamu nulis lagu Dewa yang judulnya lagu cinta”? Sri mencolek bahuku.
Ia nih! gak tahu kenapa tiba-tiba aku pingin ngasih pelajaran sama tuh cowok galak, tapi biarin deh, mungkin setelah ini aku bakal tambah dia galakin”. Aku tersenyum, padahal hati bergidik membayangkan sesuatu yang lebih kejam lagi akan terjadi.
Selesai upacara penutupan, Kami langsung menuju Musola Sekolah untuk shalat Asyar.
Aku mendengar banyak sekali yang berbisik di antara panitia tentang ulahku di lapangan tadi.

Dalam perjalanan menuju asrama aku dan Sri terus mengobrol, menertawakan ulahku yang jadi bahan pembicaraan seluruh warga Ospek.
Langkah kami terhenti saat sebuah mobil hitam berhenti di depan kami.
“Ospeknya sudah selesai ya Dek”? Dari kaca depan yang terbuka seorang ibu menyapa.
“Sudah bu! mau ketemu siapa”? Aku balik bertanya.
“Mau jemput anak ibu Efan. Ruang sekretariatnya dimana”?
Aku menunjuk ruang sekretariat yang masih belum jauh dari tempat kami berdiri.
“Wah! si Uka-uka itu borju juga yah”? Sri menyeletuk begitu mobil itu menjauh.
“Ah! walau borju kalau hatinya kayak batu ogah banget”. Aku mencibir mendengar pujian Sri pada Uka-uka itu.

Benar memang, setelah kejadian itu kak Efan yang dianggap akang sedikit menurunkan angka galaknya jadi delapan atau sembilan, ternyata salah. Dia memang mulai mengurangi bentakan dan paksaan pada siru yang lain. Tapi jelas tidak padaku.
Esoknya aku malah mendapat hal yang sedikit aneh.
Hari ke-lima dengan agenda Pengenalan pramuka, latihan membangun tenda dan Pionering di tempat terbuka.
Saat semua siswa harus merayap di atas tambang yang diikatkan pada pohon itulah, aku merasakan takut yang luar biasa.
Tambang yang dipancangkan setinggi 2 meter itu harus dilewati tanpa bantuan apapun.
Semua peserta yang tak punya penglihatan itu memang tak diberitahu bahwa di bawah sana sudah digelar matras sepanjang tambang untuk menghindari kecelakaan apabila ada di antara kami yang terjatuh.
Dapat dibayangkan setiap wajah ketakutan bercampur ngeri itu saat satu persatu Siru naik ke atas pohon, kemudian bergelantungan di tambang hingga menemukan batang pohon sebagai ujung.
Satu, dua, dan “Bruk”!
Tiba-tiba Badanku sudah menelungkup di matras. Seribu kunang-kunang langsung memenuhi alam raya ini sebelum akhirnya gelap dan sunyi.

Entah berapa lama aku terbaring tak sadar di ruang UKS, yang pasti, saat aku terbangun seseorang sedang mengurut kakiku.
“Sudah sadar yah? mana yang sakit”? Suara itu sangat jelas di telingaku. Suara seseorang yang selalu membulatkan tinjuku selama Ospek.
“Eh! Ka-ka-ka Efan”? Aku terkejut dan langsung bangun dari tempat tidur.
“Jangan bangun dulu kalau masih pusing! lagi pula kamu kenapa sih bisa jatuh? padahal baru sedikit meninggalkan pohon”! Jelas nada tak sedap itu keluar lagi dari mulutnya. Aku yang baru saja terkagetkan dengan suara lemah lembutnya mendadak menciutkan muka.
“Kalau sudah enakan ayo bangun! kita pulang”!
Aku hanya menurut. Setelah merapikan pakaian kemudian berjalan ke luar mengikuti kak Efan yang sudah menunggu di pintu.
Lapangan sudah sepi, begitu pula musola. Hanya ruang sekretariat yang terdengar cukup gaduh oleh rapat para panitia.
“Kak! aku pusing”! Aku sedikit merengek saat berjalan di belakang kak Efan.
“huuuh! kamu cengeng banget sih! dasar anak SD”! Ucapnya sambil berbalik padaku. Sebelah tangannya langsung meraih tanganku sehingga kami berjalan berdampingan.
Entah kenapa wajahku mendadak panas saat kata-kata “Anak SD” itu diucapkan Cowok itu. Ada rasa malu yang luar biasa bercampur rasa kecewa dalam hati.
“Sudah sampai nih! kamu istirahat aja yah! besok usahakan jangan bolos”! Nada itu cukup tegas, tapi tidak dikeluarkan dari rahang yang seperti biasa mengeras. Kali itu entah kasihan atau memang diapun lelah, Kak Efan seolah berubah jadi sosok seorang kakak yang amat baik dan penyayang.

***
Upacara pembubaran itu berlangsung hikmat namun santai. Begitu pak Deden selaku pembina menutup dengan ucapan “alhamdulillah”, Kami langsung bernafas lega. Lega dari semua bentakan, hukuman serta tugas-tugas yang membuat kepala ini hampir pecah jadi dua.
Usai upacara kami duduk melingkar. Kini tak ada lagi peserta, tak ada lagi panitia. Semua duduk bersama dalam suasana alam yang sejuk dan penuh kekeluargaan.
Ucapan maaf dan kata pujian disampaikan seluruh panitia yang berdiri bergantian di tengah lingkaran.
Permintaan maaf dari kak Efan kali itu disambut hangat oleh semua peserta. Tak ada lagi Uka-uka, karena sudah kembali jadi kakak yang baik dan hangat.
Keceriaan itu bertambah saat para guru membagikan makanan dan minuman. Konon katanya, makanan dan minuman enak itu adalah sumbangan dari orangtua kak Efan.
“Haha! mungkin ortunya kak Efan merasa bersalah kali yah, karena anaknya galak”? Ucap Sri. Kali ini dia tak lagi sibuk dengan lap ingus. Sinus itu mendadak pergi seiring kata maaf dari para panitia.

“Teman-teman? saatnya tukar kado! ayo! keluarkan kadonya, dan kumpulkan di tengah”! Itu perintah dari Kak Nur. Sudah tak lagi bernada galak, kali itu lebih lembut dan ramah.
Maka semua peserta dan panitia mengelurakan kado yang sudah terbungkus rapi itu di tengah lingkaran. Kado dari panitia dan peserta digabung menjadi satu setelah masing-masing diberi nomor, ganjil untuk nomor panitia dan guru, genap untuk para peserta.
“Dapat nomor berapa, Nens”? Tanya Sri saat aku sudah mendapat kado yang dibagikan oleh kepala sekolah.
“Nomor 13”. Jawabku sambil meraba angka di pojok kiri atas.
Setelah hitungan ketiga, kami langsung membuka kado itu sambil berdebar-debar.
“Wah! Nens! aku dapat Riglet 6 baris”! Sri hampir menjatuhkan benda di tanganku karena girangnya.
Aku melirik riglet itu, benar memiliki 6 baris, Riglet yang langka dimiliki para Tunet, tapi perhatianku segera kembali pada benda mungil itu, sebuah pita rambut berwarna ping, dibentuk bunga oleh besi mengkilat, sangat indah dan harum.
“Wah! pasti ini sangat mahal, dari siapa kira-kira”? Komentar Sri saat memegang pita itu.
“Wah Nens! pitanya bagus banget! sini ibu pakaikan”! Bu Heli yang melihatku menimang pita itu langsung mengambilnya dan memasangkannya di rambutku.
Setelah acara makan dan buka kado, kami lalu bertolak menuju wisata air Maribaya.
Setelah menempuh perjalanan dengan jalan kaki ssepanjang 5 kilo, diperkirakan sebelum asyar kami baru sampai di tempat tujuan.
Para guru sibuk mengatur perjalanan dan membagi-bagikan air mineral.
Begitu semua siap, kami berjalan beriringan sambil bergandengan tangan menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya adalah tebing dan sungai.
Sesekali para guru menghentikan langkah kami dan memperkenalkan tumbuh-tumbuhan yang berada di tengah perjalanan.
“Aduh Sri! aku kebelet pipis nih”! aku berhenti di pinggir sambil salah tingkah.
Bu Heli kemudian membantuku untuk buang air kecil  ala dalurat di balik rerimbun pohon. Sementara Sri melanjutkan perjalanan bersama yang lain.
Setelah merasa lega aku berjalan sendiri sambil melihat-lihat kanan dan kiri. Di depan dan belakang terdengar suara riang teman-temanku.
Sendiri aja nih jalannya”? Pak Deden yang berjalan bersama beberapa panitia cowok menggodaku.
Aku hanya tersipu campur senang karena ada teman mengobrol.
“Dari pada jalan sendiri nih bapak nitip satu yah? ayo Fan! kamu temani nih putri salju! takut tar tersesat di perjalanan”!
Aku langsung terkesima begitu kak Efan memegang tanganku dan kami berjalan di belakang rombongan pak Deden.
“Jangan kayak semut dong jalannya! kita ketinggalan tuh”! dia mulai menggodaku sambil menunjuk ke arah pak Deden yang sudah menjauh.
“Berhenti di sini”! pak Deden berteriak di depan. Kami sontak menghentikan langkah.
“Di hadapan kita ini adalah Goa Jepang! kita akan masuk dan kalian harus hati-hati! pegang temannya masing-masing! jangan berpisah dari barisan! mengerti”?
“Mengertiiii”! semua menjawab lantang.
Satu persatu kami memasuki area goa. Terasa gelap, pengap dan sedikit mendirikan bulu roma.
“Aku takut kak”! Tak sadar aku merapat ke punggung kak Efan yang tangannya tak lepas memegang tanganku.
Dia tak menjawab, hanya menarik bahuku agar berjalan di sampingnya. Ah! tubuhku terlalu rendah, kepalaku hanya sampai di bawah pundaknya, jadi dia tak perlu repot dalam menenangkanku dari ketakutan yang sebenarnya hanya dibuat-buat.
“Nens! kenapa mukanya merah begitu”? Bu Heli terlihat kaget begitu aku dan kak Efan keluar dari goa.
“Ah! enggak kok bu! tadi agak takut aja di dalam gelap”! Aku berusaha menenangkan diri.
Selanjutnya kami meneruskan perjalanan dengan riang gembira.
“Pitanya suka”? Tiba-tiba kak Efan bertanya membuka obrolan. Saat itu aku dan dia memang terasa lebih kaku. Mungkin kejadian dalam Goa itu yang menyebabkan kami jadi saling diam.
“Pita? eh! tahu dari mana aku dapat pita”? Aku tergugu sendiri.
“ya tahu lah! tadi di goa pitamu itu menggores leherku”! Jawabnya singkat tapi cukup membuat aku terlonjak.
“Gimana? suka tidak”? Dia bertanya lagi seolah ingin tahu.
“Ya! tentu saja! makanya langsung dipakai, berarti aku suka”! Aku menjawab sedikit ketus.
“Hm, bagus deh! berarti aku gak salah kasih”.
“Apa? pita ini dari kakak”? Aku berbalik ke samping, erat memegang tangan kak Efan.
“ya! kamu sendiri yang bilang gak akan maafin aku karena pitamu itu aku lempar ke selokan”! Entah kenapa, jantungku yang memang sudah berdebar kencang sejak di dalam goa itu sekarang mendadak terasa berhenti.
“Aduuuh! apa yah ini”? Aku mengelus dada yang serasa sesak.
Tubuh kamu mungil banget sih? berapa tahun emang”? Kak Efan mulai bertanya lagi.
“Hm,  November nanti aku 14 tahun”. Jawabku sedikit PD.
“Oh! pantesan”.
“Pantesan apa”? Aku mendongak.
“Pantesan kamu … … ah! udah lah! gak usah diteruskan”!
“Kakak mau bilang aku cantik yah”? Aku lebih berani.
“hm, PD banget sih? bukan, aku cuma mau bilang, pantesan kamu itu genit! haha”!
“Iiiiiih! apaan sih? kapan aku genit coba”? Aku merengut kesal.
“Eh! dulu waktu aku 14 tahun aku sudah kelas II SMP loh! ini kamu baru lulus SD”! Ucapnya lagi sambil tertawa.
“Eh! asal kakak tahu yah? aku emang harusnya sudah SMP! sebelum aku ke sini di kampung aku sudah mau naik kelas III SD! tapi gara-gara pindah ke sini saja aku harus turun ke kelas I”. Aku bersungut-sungut kesal yang ditanggapi kak Efan hanya dengan senyuman.

Perjalanan itu memang memakan waktu yang cukup lama, tapi buatku serasa semenit saja, sebab alam seolah memanjakanku dengan keindahannya, dengan kedamaiannya, dengan rahasia-rahasia yang dibalut harmoni serta denting-denting melodi.
Saat kami sampai di pintu air Maribaya, kami langsung mengambil posisi masing-masing. Kebanyakan duduk selonjor di rumput dan merendam kaki di dalam air sambil bercengkrama bahagia.
Aku sendiri memilih duduk di atas batu, tak jauh dari teman-teman sambil mencelupkan kaki ke dalam air yang terasa sangat sejuk.
Kak Efan tampak asyik dengan gitarnya di sebelahku.
Denting gitar itu berpadu dengan suara air yang mengalir tak henti membawa semua rasa lelah ke dalam nikmatnya alam anugerah Tuhan.

“Kamu bisa nyanyi gak”? Dia menoleh ke arahku.
“Hm, gak bisa sih, tapi aku suka nyanyi-nyanyi di kamar mandi”! Jawabku sambil tertawa.
“Kamu suka lagu apa”?
“Lagunya Dewa, judulnya lagu cinta”! Aku tegas menjawab.
Selanjutnya mengalirlah sebuah lagu  dari bibir cowok misterius itu, diiringi petikan gitar dan gemuruhnya suara air.

,Aku jatuh cinta,’tuk kesekian kali,
Baru kali ini ku rasakan cinta sesungguhnya,
tak seperti dulu
kali ini ada pengorbanan

,Cinta bukan sekedar kata-kata indah
cinta bukan sekedar buaian belaian peraduan

,Samudra cinta dari pulung hati
tak terukur dalamnya
Hingga saat perpisahan tiba
mengundang air mata
atau, hanya secuil penyesalan

,Cinta adalah ruang dan waktu
datang dan menghilang
semua karunia sang pencipta

,Mungkinkah kau sedang menatap bulan
Bulan sabit yang sedang kupandangi
mungkinkah kamu menangis
diatas bintang khayalku

,Maafkanlah cinta
atas kabut jiwa
yang menutupi pandangan kalbu

Last Updated on 10 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

4 komentar

  1. sip. gpp ko Dim! kl emang ada yang harus diedit ya edit aja, aku pasti tw kok kl diedit berarti aku belum tepat menempatkan. :p beda kalau nanti isi tulisannya diobrak-abrik baru tar aku protes. hehe,

  2. oia sama kategori juga saya pindah ya teh. karena untuk cerpen, puisi, atau karya fiksi lainnya sebaiknya dimasukkan dalam kateogri Karfiksi, sedangkan kategori tulis-menulis sebetulnya ditujukan untuk berbagi pengalamanm enulis serta tips dan trik. anyway, gak allay kali itu cerpennya. bagus dan…. memangnya di SLB ada ospek2 kayak gitu ya?

  3. the, izin edit dikit ya. cuma ganti judul postingan sama judul cerpen aja kok.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *