Stasiun Tugu,Yogyakarta.
Aku meluruskan punggung akibat terlalu lama duduk di dalam kereta yang membawaku dari Jakarta.
Jogja , kota sejuta kisah. Sesuai dengan banyak lagu yang kudengar, yang kerap mengisahkan keindahan, keramahan, dan kesyahduan kota ini. Malioboro, angkringan, Parangtritis dan ikon-ikon lain yang seolah tak lekang dimakan zaman. Jogja dengan romantisme klasiknya yang selalu membawaku pada kerinduan yang bermuara pada tempat yang entah, kerinduan yang mungkin saja kini bermuara pada orang yang salah, salah karena dia bukan milikku lagi.
“Herlin, sampe juga di Jogja. Selamat datang!” seru Mas Faris yang langsung menyalamiku, dan menepuk pundakku dengan begitu kuat sehingga rasanya semakin remuk-redam setelah tersiksa terguncang-guncang di kereta selama enam jam lebih.
“Kamu kesemangaten mas nyambutnya, remuk lho aku baru sampe langsung di KDRT!” sungutku.
“Sorry deh, sorry, sini kubawain kopermu, kita langsung cus hotel aja ya?” tanyanya.
“Sembarang. Mau langsung ke Parangtritis juga gak papa.” sahutku asal seraya mengikuti langkah-langkah lebarnya.
“Eh, lokasi event kita emang di dekat Paris kok, kamu punya indera keenam, ya?” godanya.
“Hus, jangan sebut-sebut Indra, ah, pamali.” kataku memperingatkan.
“Eh, ini indera pake E, bukan Indra yang punya lesung pipi…”
“Aish, kok malah makin diperjelas ki piye tho?” omelku.
“Hahaha relax, Lin, kamu kok masih sensi sama nama itu? Udah setahun lho…” Mas Faris semakin gencar menggodaku. Duh, dasar manager gak ada akhlak emang. Oh iya, aku belum cerita. Namaku Herlina Saraswati, aku adalah penyanyi pendatang baru. Mengawali debut setelah mengikuti ajang pencarian bakat di sebuah stasiun televisi (dan viral waktu itu) aku mulai sering pergi ke luar kota untuk tampil menyanyi. Alhamdulillah, meskipun aku tidak bertahan lama dalam kompetisi tersebut, tapi aku tetap bisa melebarkan kiprahku di industri musik, meskipun aku belum punya single sendiri, hehe. Maklum, aku masih harus fokus kuliah dulu, nanti setelah aku lulus dan diwisuda, baru aku bikin lagu. Walaupun, sebenarnya aku sudah bisa membuat lagu dari sekarang, karena kuliahku adalah jurusan musik juga, jadi sejalan. Tapi entah kenapa, rasa-rasanya aku masih kesulitan kalau harus membuat sebuah lagu, soalnya, kok ujung-ujungnya pasti isi liriknya galau semua, padahal aku lagi proses pemulihan pasca patah hati itu. Tapi ya mau gimana, sakitnya masih kerasa e, jadi gagal sembuh nanti kalau aku nulis lirik sesuai isi hati lagi.
“Lin, gimana?” Mas Faris memecah kesunyian.
“Apanya?” tanyaku seraya melepas pandangan dari ponsel.
“Beneran belom punya rencana bikin lagu ta?” tanyanya.
“Entahlah, pengen sih, tapi kan aku lagi selangkah menuju move on. Ini masih nyelekit lho mas, nanti kalau gagal move on lagi perjuanganku setahun ini sia-sia dong,” jawabku.
“Lin, karya yang baik itu kan dimulai dari diri sendiri,” ucapnya.
“Maksudnya?” aku nggak ngerti.
“Berkarya itu harus jujur, berkarya itu harus pake hati. Mulai aja dari apa yang kamu rasakan, siapa tau itu bisa menjadi peluang baru untuk karier kamu. Banyak juga kok musisi, penulis, atau apapun itu yang memulai semua karya besarnya dari cerita yang dialami diri sendiri, dari pengalaman orang lain, dari apa yang dia lihat, dengar dan rasakan. Makanya, seniman itu kan sebenernya selalu dituntut untuk peka dan memperhatikan sekitar untuk tujuan itu.” jelas Mas Faris. Aku mengangguk-angguk, mencoba mencerna dan meresapi ucapannya. Tak terasa, karena terlalu asyik mengobrol, mobil yang kami tumpangi sudah sampai di depan pelataran hotel. Dan jantungku harus meloncat karenanya.
***
Aku meremas rambut dengan jengkel seraya memindai seluruh design interior kamar hotel dengan tajam, seolah aku ingin melenyapkan ini semua dengan kekuatan mata. Bagaimana mungkin semua hal hari ini mengingatkanku hanya kepada seseorang ; dari warna-warna perabot, hingga apa yang tersedia di atas meja dekat meja telepon. Aku harus protes sama Mas Faris, pokoknya harus!
“Halo, Lin, kenapa?” tanyanya santai sekali, tanpa tahu bahwa aku disini sedang jengkel setengah mati.
“Kenapa kamu milihin aku kamar yang ini, sih, aku kan…”
“Astaga! Iya juga ya?” kata Mas Faris kaget. Kurasa ia sedang menepuk dahinya sendiri sekarang. Sayangnya ini voice call, jadi aku tidak tahu persis dengan apa yang tengah ia lakukan.
“Halo, Lin, gimana?” tanyanya agak cemas.
“Hmm, ya udah lah, repot juga kalau harus minta ganti kamar di waktu se-mendadak ini.” kataku pasrah.
“Maaf ya, aku beneran lupa, Lin, serius,” lirihnya. Aku menghela napas, berusaha memaklumi. Karena sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah Mas Faris, ia hanya lupa tentang hotel ini, dan semua cerita yang membuatku bisa sebenci itu dengan semua yang terlihat kini.
***
“Surp….” Aku membeku di tempat. Peganganku mengencang tiba-tiba pada lengan Mas Faris yang sedang membantuku memegang kotak kue. Di hadapanku, ada Mas Indra – pacarku – yang tampak salah tingkah, berdiri berdampingan dengan seorang wanita yang tidak kuketahui dalam keadaan yang tidak pantas untuk dilihat, apa lagi oleh anak-anak dibawah umur.
“A-Aku bisa jelasin semua, Lin…”
“Gak perlu!” tandasku. Aku meraup wajah dengan frustasi, berharap tak ada setitikpun air mata yang keluar terbuang sia-sia untuk bajingan seperti dia. Aku memberi isyarat Mas Faris untuk meletakkan kotak kue itu begitu saja di lantai, lalu secepat kilat menarik tangannya untuk pergi dari situ, meninggalkan lelaki tak berhati yang malah memilih meniduri wanita lain justru disaat aku sedang berjuang di Jakarta, berkompetisi dan meraih mimpiku menjadi seorang musisi. Aku melakukan semua untuknya, lebih tepatnya untuk kita, tapi kenapa ini yang harus kuterima, dan ironisnya, hal menjijikan ini harus kulihat tepat setelah sehari kepulanganku dari Jakarta, setelah aku tereleminasi di babak 15 besar. Parahnya lagi, sebenarnya hari ini adalah hari anniversary kami yang kedua. Astaga, bisa dibayangkan betapa berharganya sebenarnya waktu 2×365 hari kemarin, seandainya aku melewatinya dengan orang yang tepat. Dan hari yang naas itu akhirnya berakhir dengan air mataku yang membasahi kemeja biru milik Mas Faris di pinggir pantai Parangtritis, disini, di Yogyakarta, kota kelahiranku.
***
“Selamat ya, Lin, ini penampilan terbaik kamu kurasa,” puji Mas Faris, sesaat setelah aku turun dari atas panggung. Aku tersenyum, menyambut uluran tangannya. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku ingin memeluknya malam ini. Aku belum pernah sebahagia ini, disambut penuh antusias oleh penggemarku di kota kelahiran sendiri.
“Eits, kok meluknya cuma sebentar sih?” godanya seraya menarik ujung hidungku.
“Jangan lama-lama, ah, nanti ketagihan kamunya,” aku balas menggoda seraya menyilangkan tangan di depan dada.
“Justru itu, aku pengennya kita bisa pelukan dengan durasi yang lama…” katanya.
“Lah, caranya gimana?” tanyaku.
“Kamu kok sok polos gitu sih?” protesnya.
“Eh, sok polos apa?” tanyaku. Tanpa basa-basi ia menarik tangan kananku, lalu memakaikan sesuatu yang terasa dingin dan pas melingkar di jari manisku.
“L-Lho?”
“Nikah yuk,” ajaknya semakin ngawur.
“Bentar… Ini lamaran model apa tho?” aku tak habis pikir.
“Model baru, lain daripada yang lain. Tapi biarpun kesannya aneh dan gak serius, sebenernya perasaanku ini serius, lama banget aku nyimpen perasaan sama kamu… Jadi, mau ya?” pintanya lagi. Kali ini ia menatap lurus-lurus tepat ke mataku. Dan demi Tuhan, aku tak mampu menyelam lebih dalam lagi ke kedalaman mata itu, yang semuanya mengandung kenyamanan dan ketenangan. Kurasa aku mulai jatuh pada pesonanya. Cinta bisa datang darimana saja, bukan? Termasuk dari rasa percaya dan rasa nyamanku yang kubiarkan tumbuh selama dia menjadi manager sekaligus asisten pribadiku. Setelah saling menatap lama untuk menyelami perasaan masing-masing, akhirnya perlahan tapi pasti aku mengangguk, meluluskan permintaannya. Dan iapun memelukku, lebih lama dari durasi berpelukan kita selama ini.
“Terima kasih banyak, Herlin. Izinkan aku membahagiakanmu…” bisiknya tepat di telingaku. Aku mengangguk. Aku tahu ini bukan janji, karena ia tidak berkata “aku akan” ia hanya meminta izin padaku, meminta kesediaanku untuk dibahagiakan, kini dan hingga nanti.
“Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati” suara para pengamen yang menyanyikan lagu hits milik Kla Project itu menggugah kami dari lamunan dan aksi peluk-pelukan yang tak terlupakan tadi. Yogyakarta, kota kelahiranku. Disini aku menemukan cinta, terluka, lalu menemukannya kembali dalam wujud, orang, dan waktu yang berbeda. Yogyakarta, kota istimiwa, seistimewa setiap kisah yang terukir di dalamnya. Seperti kisah cintaku ini yang akhirnya akan mencapai bahagia.
SELESAI
Makasih kak, yang beneran mateng jadi novel udah ada lho, tapi chapter-nya puluhan, mau? 😅
wah boleh boleh dong. asal jangan lebih satu chapter yang dikirim tiap hari ya. haha.
sepertinya memang perlu dibuat cerita bersambung nih Zelda. masih banyak bagian yang bisa dikembangkan lagi ceritanya. Dinanti ya tulisan-tulisan selanjutnya.