DARAH DAN KERINGAT TUMBAL BANGSA
Terakhir diperbaharui 8 bulan oleh Redaksi
“Dor..Dorr..Dorr” serangkaian peluru menghujam barisan demonstrasi mahasiswa. Masa 1967-1998, merupakan masa dimana pemerintah dengan gencar-gencarnya melakukan pembungkaman pada siapapun yang menggangu stabilitas kekuasaanya. Ramai tadinya barisan dengan orasi yang riuh dan panas, hancur dalam sekejap dengan ratusan timah panas berkesiur bau asap mesiu yang pekat.
Kau tak pernah merasakan, mungkin juga tak membayangkan. Bagaimana ketika sepertiku yang terus lari dalam operasi-operasi militer angkatan darat. Kehilangan teman sejawat, orang yang kita sayangi, dan berbagai penekanan sikis dan fisik pada masaku menjadi hal lumrah. itulah resiko bagi kami barisan mahasiswa yang mengkhendaki adanya revolusi pada bumi pertiwi.
“Salaaaaam Pergerakaaaaaan…….” Teriaku pada ribuan mahasiswa yang berpartisipasi di depan gedung pemerintahan ibu kota, sebelum rentetan penculikan dan ratusan, bahkan ribuan timah panas melolosi seragam putih menjadilautan darah.
“salaaam……” riuh sahutan dari sahabat, pacar, dan rekan mahasiswa seluruh plosok negri.
“Kita mahasiswa. Pemimpin harapan bangsa. Apakah seperti ini juga yang akan kalian turunkan pada anak-anak kalian?” orasiku berapi-api.
Tidaaaak……..!!!!” jawab mereka lantang, ada yang membawa poster, atribut kampus dan bekal-bekal pendukung.
Panas menyengat surya tak memadamkan api semangat revolusi. Api-api semangat terus menggelora. Peluh dan kotoran debu menempel di wajah-wajah para mahasiswa yang tak kenal takut.
“Apa yang kalian inginkaaaaaaaan?” tanyaku lantang”Turun, turun, turun, kita bangsa berdaulat” jawaban itu mengalun menyuarakan keresahan dan kekacauan di negri ini.
Hingga dari balik gedung, atap, mobil lapis baja kejadian tak manusiawi ini terjadi. Semilir angin siang, asap kendaraan, dan teriknya matahari menjadi saksi aksi hari ini. “Munduuur…., Munduuuur…., Munduurrr” teriakan itu mengular, dibarengi rintihan dan tangisan. Saat ratusan hujan peluru menyasar demonstran, barisan akhirnya bubar. sunyi senyap dalam sejenak.
***
Pasca kejadian aku berusaha mengumpulkan para teman seperjuangan di bantaran sungai. Para Demonstran yang selamat mengobati yang terluka. Aliran air coklat kental mengular di hadapan kami. Sampah, lalat, dan bau busuk air menjadi rezeki hari ini. Mungkin ini kasih-Nya, kami masih diselamatkan dari keganasan rezim.
“Kang jangan banyak gerak-gerak dulu, luka tembak di tangan dan pahamu terus mengucurkan darah” tegur Nisa yang juga berperan besar konsolidasi masa dalam organisasi kami. “Apa? Kamu tidak lihat banyak ketidak adilan merajalela. Kita menyuarakan suara rakyat. Namun, apa? Kau lihat ini ganjaran yang kita dapatkan???” bentakku padanya. “Sudah-suda Zis. Benar kata Nisa, kamu perlu istirahat. Berjuang perlu. Namun saat terluka kau juga harus memulihkan diri. Kalau kau mati, siapa yang akan berorasi lagi seganas ayam jago dari timur? Siapa yang berani menghadapi militer? Hah!!!” bantah Niko padaku. Ia langsung menariku dan mendudukan diriku di sampingnya, sembari memberikan segelas air putih. Aku tertegun dan tak membantah. Ku teguk air itu. Tatapanku nanar pada korban keganasan hari ini.
“sabar Azis. Semua pasti akan ada buahnya. Ingat, ayat di surah al insyirah? Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan” ujar angga sambil memperbaiki perban di kaki dan tanganku. Aku terdiam dengan katanya. Ayat itu yang menjadi landasan kami berjuang. Aku juga yang berteriak terus dengan ayat itu. “terimakasih ga” lirihku”ia hanya mengangguk. Lalu berdiri dan menepuk pundaku “semua pasti ada jalan zis” ujarnya sambil mengobati sahabat yang lain.
***
Warna lembayung menggurat angkasa. Suara adzan bertalu-talu. Deru motor dan mobil menjadi rentetan suasana yang magis. Akhirnya barisan yang ada pulang ke markas masing-masing. Jalan-jalan sawah menjadi pilihan kami. Operasi militer terus di galakan di gang-gang, jalan raya, dan rumah-rumah yang di sinyalir menjadi markas.
“Mungkin tidak bangsa ini bisa makmur. Sesuai pada UUD yang kita gunakan kitab suci?” Tanyaku pada Niko yang memapahku. “pasti bisa Zis. Orang seperti kau ini yang menjadi penggerak kita. Aku pun tak mau sebenarnya. Namun mendengar penjelasanmu aku paham. Ini adalah misi umat, misi masyarakat luas, dan misi kebangsaan” kembali Niko menguatkanku. Perawakan kecil, dan mata sipit khas dirinya. Meski begitu, ia sangat lugas mengkoordinir masa.
Waktu terus merayap. Pematang sawah, katak, kunang-kunang menjadi sahabat kami menuju markas. Sesampainya di markas kami langsung kembali mengatur strategi. Kost-kost menjadi tempat kami berdiskusi. Pola berpindah dan no maden menjadi ciri khas kami. Mempelajari operasi militer yang terus saja menjaring orang-orang yang menginginkan lengsernya pemerintahan orde ini.
“Duk..Duk..Duk..” ramai sekali suara sepatu Lars menyisir samping gang kost kami. Semua terdiam. Hingga sebuah bentakan itu muncul “ Yang didalam jangan bergerak. Kalian telah di kepung!!!” teriak seorang Sersan berbaju loreng berdiri di depan kos. Suasana dtetap hening komunikasi mata terus bergulir. “tapi Zis nanti kamu tertangkap” bisik Niko. “Sudahlah selamatkan aktifis lain. Aku akan merepotkan mereka” bisiku sambil mendorongnya ke pintu belakang. tak lama, aku berlari ke arah pintu. Moncong senjata sudah ada di hadapanku.
“Mana teman-temanmu? Hah!!!” bentak sersan sambil berusaha meringkusku. Namun ia gagal, senjatanya berhasil ku rebut. Pukulan popor senjata telak mengenai kepalanya. Kemudian “Dor…dor….dor…dor…” ku arahkan senapan laras ini ke arah brigade militer. Mereka kocar-kacir tak siap dengan seranganku. Hingga ku rasakan nyeri yang sangat di dadaku. Mendadak semuanya gelap.
***
Peristiwa terus bergulir. Tukang sayur, becak, angkot, dan seluruh elemen masyarakat mendukung gerakan mahasiswa. Logistik dan sumbangan moril terus diberikan. Hingga tak selang lama, tepat tahun 1998 rezim itu berakhir. Seorang mahasiswa berdiri di atas gedung pemerintahan. Tampak wajah lelah dan gurat kesedihan jelas terpampang.
“Kaaaang Azis, cita-citamu tercapaiiiiiiiiii” “Bangsa kita telah bebaaaaaas dari pemerintah otoriteeer!!!” teriaknya. Sejurus kemudian teriakan Niko itu disambut riuh tangisan barisan mahasiswa yang lain. Ya, kalau kau baca tulisan ini, aku telah menjadi tumbal bangsa. Tak apa aku bangga. Nyatanya Niko dan kawan-kawan lain mampu menyelesaikan cita-citaku meski kini aku berkalang tanah. Ku harap kau jaga bangsa ini, wahai pemuda bangsa.
*TAMAT*