Dilema Ratu

Sejak pulang ziarah dari makam Ibu, Karina sering murung. Bukan berarti Ratu tak pernah menghadapi situasi ini, tapi Karina selalu mempertanyakan apakah ibu mereka akan selamanya tinggal di rumahnya? Pertanyaan yang membuat Ratu bingung untuk menjawabnya, maka untuk menghibur adiknya dan mencoba melatih Karina agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka tinggal, mulai saat ini Ratu membiarkan Karina bermain disekitar rumah.


 


Anak-anak Bu Ali tak segan mengajak Karina bermain meskipun ketika Ratu pulang selalu mendapati Karina kembali murung, hingga terbersit pertanyaan dalam hati Ratu, kenapa dampak kunjungan ke makam Ibu mereka begitu besar pada Karina?


 


“Kar, aku mau berangkat ke kampus dulu.” Karina hanya mengedikkan kepalanya, pertanda mendengar kalimat Ratu.


 


”Oh ya, hari ini kamu belajar lagi ya sama Bu Sartini, nanti siang beliau datang loh.” Kembali Karina mengedikkan kepalanya kali ini memberengutkan wajah. Ratu kebingungan, tidak biasanya ia melihat ekspresi itu di wajah adiknya.


 


”Kamu kenapa Kar? Sakit?” Ratu meraba kening Karina.


 


”Kamu kenapa, marah sama kakak?”


 


”Eng-gak. Kakak ka-lau ma-u ke ka-m-pus be-ra-ngkat aja.”


 


”Ya udah, kamu hati-hati di rumah jangan lupa hari ini Bu Sartini datang.” Karina mengangguk kaku.


 


“Siapa yang bisa menjelaskan adakah perbedaan antara cerebral palsy dengan Tuna Daksa?” pria paruh baya itu bertanya pada dua puluh orang di kelasnya, Ratu duduk di barisan depan. Matanya mengawasi wajah-wajah tanpa ekspresi saat Pak Hamidi mencari jawaban dengan pandangan menyelidik pada mahasiswa-mahasiswi dihadapannya. Seorang mahasiswa mengangkat tangan.


 


”Saya pak.”


 


Pak Hamidi mengamati sekilas ekspresinya yang angkuh.


 


”Ya.” Gumam Pak Hamidi. Hampir seluruh kelas menaruh perhatian pada cowok itu.


 


”Saya tidak melihat adanya perbedaan antara cerebral palsy dengan Tuna Daksa. Keduanya hanyalah punya perbedaan nama atau istilah, secara ciri fisik dan penyebab sama.”


 


”Sorry, tapi saya pernah melihat penyandang cerebral palsy dan ciri-cirinya jarang yang sama dengan Tuna Daksa. Kebanyakkan dari mereka, maaf kalau saya salah sebut, lebih cenderung punya kelainan fungsi fisik. Misalnya, kepalanya yang terlalu besar, atau badannya yang gak berkembang.” Jelas seorang mahasiswi disisi lain kelas.


 


Pak Hamidi menatap mahasiswi itu, wajahnya nampak puas melihat perkembangan diskusi ini.


 


”Menurut saya kalau ciri fisik yang tidak terlalu mencolok belum bisa dijadikan patokkan perbedaan cerebral palsy dan Tuna Daksa. Orang-orang selama ini gak mengenali yang namanya cerebral palsy, mereka lebih familiar dengan Tuna Daksa walaupun ciri fisiknya sebagian berbeda.” Sambung si mahasiswa yang pertama menjawab tadi.


 


“Well, kalau begitu coba anda jelaskan penyebab penderita cerebral palsy dengan Tuna Daksa, apakah ada persamaan?” tanya si mahasiswi, ini sepertinya jadi arena debat mereka berdua saja.


 


Ratu memperhatikan si cowok yang mulai membuka catatan di Iphone-nya.


 


”Seperti yang saya bilang, bahwa Tuna Daksa tak jauh berbeda dengan cerebral palsy. Nah, berarti kesimpulannya Tuna Daksa dan cerebral palsy itu sama atau Cerebral palsy bagian dari Tuna Daksa.”


 


Hampir lima belas menit diskusi itu berlangsung. Beberapa orang di kelas mulai mengemukakan pendapat mereka meski selalu menghasilkan kesimpulan yang sama dengan diskusi sebelumnya. Namun, Ratu tertarik dengan pernyataan Elsa sahabatnya.


 


”Maaf, saya pernah baca buku yang menjelaskan bahwa cerebral palsy memang mirip dengan Tuna Daksa. Hanya saja penyandang cerebral palsy masih bisa menggunakan atau menggerakkan anggota tubuh yang mengalami keterlambatan pertumbuhan.”


 


”Anda bisa jelaskan contoh penyandang cerebral palsy yang masih bisa menggerakkan anggota tubuhnya meskipun pertumbuhannya lamban?” Kata Pak Hamidi.


 


”Hmm …” mata Elsa sekilas melirik Ratu.


 


”Ada penyandang cerebral palsy yang tangannya masih berukuran seperti anak umur lima tahun, padahal usianya sudah dua puluh tahun. Tetapi, orang tersebut masih bisa menggerakkan tangannya, meskipun agak lamban karena tidak seimbang dengan syaraf motorik yang mengendalikan bagian tubuh lain yang masih normal. Saya rasa itulah yang dinamakan cerebral palsy, sedangkan Tuna Daksa harus menggunakan alat atau bantuan lain untuk menggantikan fungsi anggota tubuhnya.”


 


Satu jam kemudian Ratu keluar dari kelas.


 


”Salah satu mata kuliah yang baru kali ini mengundang antusias amat besar.” Pikirnya. Saat anak-anak PLB menuju kantinpun masih banyak diantara mereka yang memperdebatkan hasil diskusi tadi.


 


”Pinaka oi!” Ratu menoleh ketika suara Elsa memanggil nama depannya.


 


”Ke Kantin? Sorry ya tadi gue ngambil contoh adik lo.” Katanya merendengi Ratu.


 


”Santai aja lagi Sa, lagian gue juga jadi paham kalau Karina selama ini penyandang cerebral palsy bukan Tuna Daksa.”


 


”Oh ya, gimana les Bahasa Inggrisnya sukses?”


 


”Begitulah, Bu Sartini ternyata bisa ngambil hati Karina.”


 


“Syukur deh, kalau gue boleh nebak lo lagi dekat sama kakak alumni ya?”


 


”Ehmmm …” Pinaka tergagap, tak menyangka pergantian topik mendadak ini.


”Tahu darimana?”


 


”Pinaka … pinaka, orang yang nganterin lo ke kelas kemarin dulu itu udah banyak di kenal di kampus ini. Kakman, kan?”


 


”Ya, beberapa waktu lalu gue pulang satu kereta sama dia. Emang sih gue sempat baca satu tulisannya di majalah. Kayaknya dia beneran penulis”


 


Keduanya tiba di kantin, Elsa mengajaknya duduk di salah satu tempat duduk yang tersisa. Celoteh ramai terdengar dari segala penjuru kantin yang dipadati oleh mahasiswa dan mahasiswi sedang menikmati jam-jam bebas mereka.


 


”Seingat gue sih, dia rutin ngisi buletin kampus. Terus juga sempat ngisi suara mahasiswa di beberapa koran. Tapi gitulah, orangnya gak pernah mau eksis. Ya … sok-sok jaim gitu, gak pernah mau ngaku kalau aktif nulis.”


 


”Ketauan sih dari cara dia ngomong waktu gue tunjukkin karyanya.” Timpal Pinaka.


 


“Pin, sorry nih kalau gue boleh tahu, lo masih mau jadi guru SLB?” tanya Elsa sambil menuliskan pesanannya pada secarik kertas.


 


”Gak tahu deh, gue masih bingung sama Karina. Kalau gue kerja jadi PNS misalnya, gue khawatir dia gak ada yang ngurusin, lo tahu sendirilah keadaan Karina.” Pinaka bangkit menuju counter di ujung meja dan menyerahkan dua carik kertas pesanan pada salahsatu mahasiswi yang menjaga.


 


”Kata lo Karina udah mulai mandiri?” tanya Elsa saat Pinaka kembali duduk.


 


”Iya sih, tapi kadang-kadang dia masih suka ngambek. Terus sejak gue ngajak dia ziarah ke makam orang tua kami keadaannya jadi sering murung.” Elsa mengusap pundak Pinaka.


 


”Sabar Pin, cita-cita lo jangan sampai terhambat, lo ngambil jurusan PLB demi mahamin kondisi Karina kan?”


 


”Ya, apa menurut lo gue harus mendedikasikan hidup gue buat adik gue?”
Pesanan keduanya datang, Pinaka menyeruput lemon tea-nya untuk menjernihkan pikiran.


 


”Tepatnya buat orang-orang kayak Karina. Meskipun lo gak jadi guru SLB, lo bisa mendedikasikan hidup lo buat nanganin anak-anak atau konsultan orang tua yang punya anak kayak adik lo.”


 


”Tapi Karina butuh perhatian khusus, Sa. Menurut gue dia gak kayak cerebral palsy kebanyakkan.”


 


 


”Gue ngerti Pin, tapi lo juga harus berani ngasih kebebasan agar Karina mandiri dengan keadaannya. gak selamanya Karina hidup sama lo kan? Siapa tahu lo dilamar sama siapaaa gitu eh?” Elsa tersenyum jail.


 


”Yeee, ngelantur aja.” Pinaka nyengir seraya melempar pandang jengkel.


 


”Tapi seriusan lo Pin, mau gak mau suka gak suka lo meski ngelepas Karina. Yaa bukan berarti lo ngebiarin Karina tanpa pengawasan.”


 


”Paham gue.”


 


Pinaka merasakan getaran ponsel di saku jaketnya. Ia melirik nama di layar. Senyum sekilas diwajahnya kembali melontarkan ledekkan dari Elsa.


 


”Cieeee, pasti alumni ehmmm ehmmm!” Pinaka hanya memberengut lalu mengangkat telepon.


 


”Assalamualaikum, Pinaka?”


 


”Kakman?”


 


”Ehmmm … besok kita bisa ketemuan gak? ada sesuatu yang pengen aku kasih tahu.”


 


”Sekarang aja kenapa?”


 


”Duh duh, judes amat belum dapat gaji apa? Hehehe! Gak, ini pokoknya bakal bikin kamu senang. Well, besok ya di perpus kampus.” Kemudian sambungan terputus.


 


“Mbak Karin, coba tebak ini foto siapa?” kata Laksmi anak Bu Ali. Saat itu mereka sedang nonton TV di ruang tamu.


 


”Gak ta-hu, ga-nte-ng ju-ga.” Kata Karina pipinya semburat kemerahan.


 


”Ini foto cowok yang waktu itu aku ceritain ke kamu. Tahu gak kemarin dia nyoba ngedeketin aku lagi.”


 


”Waah, ka-mu se-na-ng d-ong?”


 


”Pastinya, oh ya kamu sendiri gimana? Kamu gak boleh kecil hati dong dengan keadaan kamu.”


 


”Ma-sa-lah-nya a-ku be-lum ne-mu or-ang ya-yang ka-yak a-ku.”


 


”Kamu gimana si mbak, meskipun Mbak Karina disabilitas tapi mbak gak harus nyari cowok disabilitas juga buat jadi pacar mbak.” Laksmi menyembunyikan senyum demi menjaga perasaan teman disampingnya.


 


”Ya, gi-ma-na ya? Ma-sa a-da co-wok non-di-sa-bil ma-u sa-ma a-ku?”


 


”Penampilan sekarang gak terlalu penting mbak, yang penting ini ni.” Laksmi menunjuk dadanya.


 


”Hati. Walau Mbak Karina disabilitas, yang pentingkan hatinya baik.” Laksmi tersenyum menyemangati.


 


Percakapan dengan Laksmi rupanya terus membayangi Karina. Ratu tak pernah tahu perasaan apa yang selama ini sering mengganggunya, perasaan seorang gadis duapuluhan yang ingin hidup apa adanya, perkataan Laksmi telah menyentuh dasar perasaan Karina yang selama ini tertutupi oleh benteng kuat dirinya sebagai cerebral palsy.


 


Ya, Kak Ratu mungkin banyak punya kenalan cowok di kampusnya sehingga dia bisa ngerasain gimana rasanya dekat sama teman cowok. Atau selama ini … tanpa sepengetahuan Karina Kak Ratu udah punya pacar? Berarti kalau Kak Ratu bisa punya teman deket kenapa dia nggak? Pertanyaan demi pertanyaan terus membombardir Karina tanpa ia sendiri bisa menjawabnya.


 


Ratu menatapnya ingin tahu. Sejak kepergian Ratu ke kampus tadi pagi sampai sekarang ia sudah pulang ke rumah, Karina belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan kembali ceria. Bahkan Bu Sartini lebih banyak menghiburnya ketimbang memberikan pelajaran pada Karina.


 


”Entahlah Rat, adikmu gak mau bilang penyebab kenapa dia murung.” Jelas Bu Sartini.


 


”Gak apa-apa bu, nanti saya coba tanyain lagi sama Karin.”


 


Setelah mengantar perempuan paruh baya itu pulang, Ratu mencoba membujuk Karina agar mengeluarkan unek-uneknya.


 


Namun sekeras apapun Ratu membujuk, tetap saja gadis itu enggan mengeluarkan keluh kesahnya. Ratu mencoba bersabar dengan sikap adiknya, dugaan-dugaan tak berarti terus berkecamuk di benaknya. Mungkin Karina belum siap berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya walau hanya keluarga Bu Ali, mungkin Karina masih canggung, atau ia diledek oleh adik-adiknya Laksmi? Kalau memang itu benar Ratu masih bisa memahami. Tapi rasanya bukan, ada sesuatu yang disembunyikan Karina darinya.


 


”Kar, cerita sama kakak. Kamu kenapa sih?” kata Ratu kembali membujuk.


 


Mereka sedang duduk di beranda rumah. Karina menerawang kesebrang halaman, ia hanya bersenandung tak menghiraukan pertanyaan Ratu. Ratu menghela napas, kecemasan, kesabaran, kemarahan dalam dirinya perlahan mulai membentuk keinginan kuat untuk membentak adiknya. Monster di dadanya mulai menggeram ketika Karina menunjukkan kembali sikap murungnya.


 


”A-ku gak ma-u ce-ri-ta s-ama kakak, kakak pas-ti gak ma-u ban-tuin a-ku.”


 


”Emangnya kakak gak pernah menuhin keinginan kamu selama ini?” tanya Ratu mencoba menjaga suaranya agar setenang mungkin.


 


”E-nggak sih, ta-ta-pi te-tep a-ja Ka-rin gak mau cerita. Nan-ti kakak ju-ga nger-ti.”


 


Bayangan foto yang diperlihatkan Laksmi terus menghantui Karina. Andai ada cowok seperti itu yang mendekatinya, tapi mungkinkah? Karina cuman sosok yang gak punya apa-apa. Perasaan minder mulai meneror pikirannya, dia penyandang disabilitas, dia lemah, dia seperti yang pernah dikatakan Dokter beberapa tahun lalu jiwanya tidak stabil, apa itu jiwa tidak stabil? Sampai saat inipun Kak Ratu, bahkan orang tuanya yang telah pergi belum pernah menjelaskan arti jiwa tidak stabil yang sering dikatakan orang-orang padanya.


 


Mata Karina menangkap seringai cowok di foto itu kearahnya. Ia marah dengan seringai itu, Karina jengkel pada Kak Ratu yang tak kunjung mengerti perasaannya, Karina kesal pada Laksmi kenapa menunjukkan foto yang membuatnya mengingat kembali kata-kata jiwa tidak stabil.


 


”Gak! Gak mauuuuuuu!” Karina melempar gelas diatas meja. Sirup didalamnya memercik kemana-mana, Ratu tersentak dan melompat bangkit sambil memegangi Karina agar tidak menghancurkan barang-barang lain.


 


”Stop! Stop Kar! Cukup!” Karina memberontak, ia mencoba melepaskan diri dari pegangan Ratu. Tangan Ratu terasa bagai tali yang mengikat tubuhnya, suara Ratu adalah suara si cowok yang ditunjukkan Laksmi, tertatap olehnya wajah Kak Ratu yang marah, namun itu tak lebih dari seringai cowok yang baru saja berkelebat dibenakknya.


 


”Cukup Kar!” Ratu mulai membentak Karina.


 


”Gak l…  leepasin aku!” Karina meronta sekuat tenaga.


 


Namun kondisi tubuhnya yang lemah mencegahnya lepas dari pegangan Ratu. Karina terkulai dalam pegangan kakaknya, ia terisak namun rona kemarahan di wajah Ratu masih terpancar kuat.


 


”Kamu kenapa sih Kar!? Dari tadi aku minta kamu cerita kamunya gak mau! Tiba-tiba kamu ngamuk gak jelas, mecahin gelas! Sebenarnya mau kamu apa?” Karina masih terisak.


 


”Jawab Kar! Jangan nangis aja, kamu ngertiin kakak dong? Sekarang kamu udah gede, umur kamu udah duapuluh. Apa terus-terusan kamu mau kayak gini? ha?” akhirnya perasaan yang selama ini dicoba untuk dipendam keluar juga dari mulut Ratu.


 


”Kar, jangan nangis mulu! Bilang sama kakak!” tangan Ratu gemetar, hampir saja tangannya menampar wajah Karina.


Karina berhenti terisak, ia kaget melihat kemarahan Ratu. Ratu menatapnya tajam, mata itu bukan lagi kelembutan yang selalu ditunjukkan Ratu, tatapan kakaknya membuat Karina tak berani bersitatap dengan Ratu.


 


”M m maafin Ka-rin kak. Kar-in bi-kin kakak ke-sal.” Ratu menarik napas dan menghembuskannya perlahan.


 


Tanpa sepatah katapun ia mendorong kursi ke kamar Karina dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Kembali perasaannya berkecamuk, menyesal karena baru saja menumpahkan kemarahan pada adiknya, kesal kenapa dia bisa lepas kontrol begini? Sekilas ia teringat percakapannya dengan Elsa pagi tadi.


 


Mungkinkah dengan situasi ini Ratu bisa bertahan? Apakah cita-citanya untuk mendedikasikan diri pada dunia disabilitas akan terwujud jika menghadapi cerebral palsy yang tak lain adiknya sendiri Ratu sering kewalahan? Pinaka Swastika Ratu terhenyak di sofa, seperti biasa bayangan-bayangan saling berbisik membuatnya dilema. Adik, atau cita-cita? Tapi adik dan cita-citanya saling berkaitan.


Namun, bagaimana cita-cita mau tercapai sedang menghadapi adik sendiri ia masih sering lepas kontrol, tidak tidak, Ratu harus bertahan atau tidak sama sekali. Ia menghela napas, Teringat janjinya besok dengan Kakman, Ratu bangkit menuju kamarnya. (Senna)

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *