DISABILITAS KENA MASALAH MENTAL, EMANG BISA?

Haiii, saya mau cerita. Judulnya emang agak kayak artikel yang serius sih, tapi, percaya deh, saya Cuma mau ngobrol sama kalian, dan mengajak kalian berpikir lebih rasional dan lebih memiliki empati,  sehingga pada akhirnya, aku, kamu, kita semua bisa memanusiakan manusia lain dengan cara yang lebih baik lagi.

 

 

Jadi sebenernya apa sih hubungan penyandang disabilitas dengan issue mental health alias Kesehatan mental? Sebenernya banyak ya, dan bisa dibilang mesraaa banget hubungannya. BTW, mau tau gak kenapa sih penyandang disabilitas itu lebih rentan mengalami masalah serius pada mental mereka? Sebenernya ada beberapa factor sih, di antaranya :

Baca:  Aksi Disabilitas Sobek Surat Pernyataan Sakit

 

 

  1. Minimnya support dari lingkungan. Menilik kata lingkungan, setiap orang (nggak peduli dia penyandang disabilitas atau nggak) pasti menginginkan hidup, tinggal dan bersosialisasi di lingkungan yang bisa menerima mereka. Cuma, terkhusus untuk orang-orang dengan hambatan/disabilitas, ini agak lebih menjadi challenging part di hidup mereka, karena ternyata dari lingkungan sesederhana keluarga aja tuh udah susah menerima kondisinya mereka yang “berbeda” dari saudara-saudaranya yang lain.

 

 

2. Kurangnya edukasi dan sosialisasi tentang keberadaan, cara penanganan, serta pengoptimalan tumbuh-kembang mereka. Emang susah sih ya tinggal di lingkungan yang agak-agak kolot dan masih mempercayai yang Namanya “kutukan” dlsb. Padahal ya, kalau dibimbing dan dirawat dengan baik dan benar, yakin, deh, para penyandang disabilitas ini bisa menemukan jalan hidupnya, menjadi apa yang mereka inginkan, bahkan bisa jadi kebanggaan keluarga juga lho.

 

3. Faktor external dari lingkungan sekolah atau pertemanan.

 

 

Ini nih yang seru, sengaja saya kasih jeda enter/paragraph baru, karena kayaknya bab ini yang akan paling banyak dibahas hahaha. Ada apa sih dengan lingkungan pertemanannya penyandang disabilitas? Apa yang menarik dari hal itu sehingga perlu dibuatin bahasan sendiri? Jadi gini lho. Eh, tunggu, sebelum lanjut ke pembahasan, ambil dulu minuman dan camilan faforitnya ya, biar lebih santai gitu…

 

 

Sebagai seorang penyandang disabilitas juga, saya sudah lumayan banyak mengamati bagaimana lingkungan pertemanan para penyandang disabilitas, bahkan dengan sesama kaumnya sendiri. Berdasarkan pengamatan saya (cieee, ngintip nih yeee!), dan cerita dari orang-orang dengan disabilitas juga yang pernah saya temui dan ajak ngobrol, ada sebuah ke-toxic-an yang cukup menjadi momok mengerikan yang bikin para penyandang disabilitas sendiripun bisa dianggap “kanibal” karena menumbalkan sesamanya ; yaitu factor iri, dengki, dll.

Baca:  Pemimpin Jakarta Peduli Disabilitas?

 

 

“Kamu bisa gak stop caper di jurusanku?” atau, “Sok banget sih kamu? Kenapa selalu kamu-kamu lagi yang maju dan dipercaya? Padahal, kalau Cuma kayak gitu doang mah, aku juga bisa! Emang, apa sih istimewanya kamu?” hal-hal yang kadang dianggap remeh dan sepele, kalau dipikir-pikir, bisa jadi sesuatu yang besar kalau nggak diperhatikan. Karena kadang dari kata-kata yang sejenis itu tadi juga akhirnya menimbulkan Tindakan-tindakan ekstrim lain, seperti melakukan penyerangan fisik (kalau emang kebetulan deket posisinya) saking iri dan nggak terimanya dengan prestasi/pencapaian si temannya.

 

 

Awalnya, saya sempet kaget dan menolak percaya, bahwa “Ternyata, di kalangan para penyandang disabilitas sendiri bisa saling sikut dan saling bully, ya,” tapi, ternyata fenomena itu bener-bener terjadi, bener-bener ada dan factor penyebabnya juga buanyak banget. Nanti deh, saya buatin artikel sendiri, khusus di point yang ini aja. Selain itu, hubungan penyandang disabilitas dengan manusia lain (non disabilitas) di sekitarnya itu juga kadang-kadang agak mengkhawatirkan ; kalau Cuma canggung atau bingung bagaimana memulai berinteraksi sih ok, gitu, kita masih bisa bantu, tapi, manusia non-disabilitasnya ini kadang-kadang juga agak… Apa ya? Kalau Bahasa jawanya sih ini “nggapleki” ya hahaha. Kadang-kadang mereka itu bersembunyi di balik kata “Bercanda” lho.

 

 

“Dih, canda doang kali, gitu aja baper, gak seru,” Eh, mas, mbak, dengerin, keinginan mereka (atau kita?) untuk dihargai, itu sama besarnya sama keinginan kalian untuk itu, jadi jangan mentang-mentang kita penyandang disabilitas, kita itu gak punya perasaan marah, atau dendam, kita nggak bisa memaafkan orang setiap waktu, apa lagi kalau perbuatan buruknya diulang terus-menerus, ya capek lah kita juga. Jadi, please, becanda sesuai kaidah dan batasannya aja ya, karena kita semua kan punya perasaan, jadi, saling menghargai itu baik. Oiya, perlu diketahui juga, bahwa Tindakan bullying itu aslinya dimulai dari hal-hal sederhana itu lho ; se-sederhana yang udah saya contohkan di atas.

Baca:  Ketika Taxi Menolak Penumpang Tunanetra

 

 

Ok, let’s back to the topic. Pertanyaan tadi masih ada lho di benak saya, atau mungkin di benak kalian semua ; apakah penyandang disabilitas bisa kena gangguan/masalah mental? Jawabannya, bisa, tergantung sebesar apa semua tekanan yang ia hadapi, tergantung juga pada penglelolaan stress-nya, dan, tergantung, apakah dia punya teman dan tempat berbagi untuk semua perasaannya. Harapan saya sih, siapapun yang baca tulisan ini, yang mungkin lagi punya struggle yang berat banget, semoga kalian tetap dikuatkan ya. Salam sayang, salam Bahagia. Kita hebat, kita bisa.

 

Bagikan artikel ini
zelda maharani
zelda maharani

seorang pelajar yang jatuh setengah mati pada seni

Articles: 8

5 Comments

  1. Huhu yaa, bener, aku beneran kaget banget pas tau fakta itu wwkwkwk tapi, inilah hidup, emang gak selamanya kita akan merasa “aman” berada di lingkungan dengan sesama kaum. Aksi-aksi bawah tanahnya kadang lebih ngeri tau 😅

    • nah itu dia. kenapa konsep inklusif adalah yang paling ideal. Dengan berada hanya di dalam yang kamu bilang tadi “kaum” itu memang tidak pernah lebih baik kan? Malah kalau kita ada di lingkungan yang beragam, akan beragam pula orang yang ditemui. ada yang mengapresiasi, ada yang mencibir, ada yang baik, ada yang kurang baik, tapi semuanya akan balance.

  2. menurut saya, pandangan umum terhadap penyandang disabilitas atau stereotyping juga ada andil dalam hal ini. Masyarakat yang melabeli penyandang disabilitas sebagai “orang suci” “para ahli surga” “anak-anak tanpa dosa” secara tidak langsung mempengaruhi pandangan penyandang disabilitas sendiri dalam mengidentifikasi sesamanya. Jadi sangat wajar ketika kaget bahwa sesama penyandang disabilitas ada yang saling bully atau menjatuhkan. Awalnya mungkin kecewa karena tidak sesuai ekspektasi. tapi realitas hidup memang seperti itu. Sebetulnya pandangan ini kontradiktif dengan pergerakan disabilitas yang menghendaki kesetaraan dan inklusivitas, karena ternyata, di kalangan penyandang disabilitas sendiri, masih ada diskriminasi ke sesamanya.

Leave a Reply