Suasana di kelas tampak ramai seperti hari-hari sebelumnya. Hujan deras yang mengguyur gedung kampus kami tak membuat kami patah semangat untuk tetap datang ke kampus. Aku mengambil sebuah buku dari dalam tas ku, berisi tentang kisah seorang anak yang terpisah dengan kedua orang tuanya karena peristiwa tsunami di Aceh kemarin. Sementara asyik membaca, terdengar suara gaduh percakapan dua teman yang duduk tepat di belakangku.

Oh, teryata Alfi dan Indah. Mereka terdengar sibuk membicarakan berita yang di tayangkan salah satu TV swasta kemarin sore. Sebuah desa yang seluruh isinya penyandang disabilitas.  Ada yang fisiknya lengkap dan normal tapi memiliki keterbelakangan mental. Ada yang kondisi mentalnya normal, tapi fisiknya cacat. Karena tertarik mendengar percakapan mereka, akupun berbalik arah ikut mendengarkan. Seketika itu juga aku teringat kejadian 6 tahun silam di masa-masa SMP kemarin.

22 April 1992. Desa Dilanrengi, kecamatan Parigi, Gowa. Sebuah desa terpencil di Sulawesi Selatan. Seorang bayi laki-laki terlahir ke dunia. Tak ayal sepasang suami istri yang telah lama menanti kedatangan sang buah hati tak henti-hentinya mengucap syukur melihat kelahiran anaknya. Bayi mungil nan lucu, berkulit putih, memiliki mata yang indah, namun kaki kanannya sedikit berbeda dengan bayi normal lainnya. Tapi itu tidak membuat Pak Abu dan Ibu Sarifah berkecil hati. Mereka tetap bersyukur atas anugrah yang di berikan oleh Allah kepada mereka. “Dodo” begitulah sehari-hari para tetangga memanggilnya.

Baca:  Celoteh Cadas Bantaran Sungai

3 tahun telah berlalu. Dodo semakin tumbuh besar. Namun, ada satu keanehan lagi pada anak ini. Di usia 3 tahun, dia masih belum bisa menyebutkan satu kata pun dengan baik. Sampai akhirnya, tetangga-tetangga setempat memvonis bahwa anak ini bisu.

Hari-hari dilaluinya dengan duduk di balai-balai sekitar sawah sambil menulis di buku kesayangannya. Walaupun memiliki fisik yang berbeda dengan anak normal biasanya, tapi iya termasuk anak yang rajin dan pandai. Dengan bantuan tongkat kayu buatan Ayahnya, iya sering membantu membawakan makanan ke sawah. Tidak hanya itu, di umur 5 tahun, dia sudah pandai membaca dan menulis. Sesekali, dia bercerita di bukunya tentang keinginannya, apa yang dia lihat, dan apa yang sedang iya rasakan. Setiap malam Ibu Sarifah tertawa membaca guyonan anak semata wayangnya itu.   1999, tahun ajaran baru di SD Inpres Batu Menteng. Pak abu berencana menyekolahkan Dodo. Dia datang langsung ke sekolah tersebut untuk meminta toleransi agar anaknya bisa ikut bersekolah di sana. Namun dengan alasan tertentu, Kepala Sekolah tidak menerima permintaan Pak Abu.

Sedikit kecewa dengan jawaban Pak Kepala Sekolah, Pak Abu kemudian mengayuh sepedanya menuju SD Inp Tonrokombang. Walaupun kondisi sekolahnya boleh dikatakan hampir tidak layak huni lagi, tapi masih banyak juga orang tua yang menyekolahkan anaknya di sana. Bersyukur, tanpa bicara panjang lebar, Kepala Sekolah memperbolehkan Dodo untuk bersekolah di sana.   Seminggu kemudian, Dodo pun mulai bersekolah dengan seragam merah putih hasil jahitan Ibunya, sendal jepit di kaki kirinya, tas baru yang di hadiahkan olehnya, dan tongkat kayu yang selalu setia bersamanya.

Hari demi hari berlalu, Dodo tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sejak kelas satu sampai kelas 6 dia tidak pernah melepas peringkat pertama-nya. Karena kecerdasannya itulah Dodo diberi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP di kota oleh bupati setempat.

­­­­­­            SMP Negeri 2 Sungguminasa, di situlah kami bersekolah bersama-sama. Karena ada masalah keluarga, aku baru bisa masuk sekolah sebulan setelah pembelajaran di mulai. Jadi, masih bisa terbilang sebagai anak baru. Dengan rambut dikuncir setengah, seragam rapi dan tas biru yang melekat di punggungku, aku akhirnya masuk ke kelas pertamaku.

Baca:  Pemberian Terakhir

Awalnya sangat gugup. Aku diminta memperkenalkan diri di depan kelas. Setelah memperkenalkan diri satu persatu anak-anak bertanya pertanyaan konyol. Mulai dari nomer sepatu, tinggi badan, sampai warna pakaian dalam. Aku cuma bisa tersenyum melihat tingkah teman-teman baruku. Di sudut sana aku melihat seorang anak laki-laki berkulit putih dengan tahi lalat di ujung bibirnya sedang melambaikan tangan sambil tersenyum. Setelah membalas lambaian tangannya, aku pun dipersilahkan duduk oleh Ibu Guru.

Aku duduk di samping Ana. Iya, dia anak pertama yang aku tau namanya. Sedikit merasa asing dengan keadaan di sana. Yang lain saling bercakap, kenal satu sama lain, sementara aku? Hanya bisa bungkam.

Waktu istirahat pun tiba. Aku lebih memutuskan untuk tetap tinggal di kelas dari pada keluar mencari makanan pengisi perut. Ana mengajakku, sambil tersenyum akupun menolak.Aku berbalik arah melihat lelaki yang melambaikan tangannya tadi. Ternyata dia masih di tempat duduknya sedang menulis. Kemudian aku mendatangi dia di tempatnya.

“Heiiiii,,, lagi ngerjain tugas yah? Tugas apa?” tanyaku membuka pembicaraan. Dia hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Umm.. lagi nulis surat cinta yaa???” ledekku sambil mencoba mengintip tulisan pada secarik kertas yang terlihat kusam. Dia hanya tersenyum lagi, kemudian melanjutkan menulis.

“Oh iya, kenalin, nama aku Dhila, nama kamu siapa?” ucapku sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan.

Dia kemudian mengambil secari kertas baru, lalu menuliskan sesuatu di sana. Kemudian memperlihatkannya kepadaku sambil menerima jabat tanganku.

“Nama aku Aditya Widodo, panggil Dodo saja. Senang berkenalan dengan kamu”

Itu kalimat yang dia tulis di secarik kertas tadi.

“Hemm??” Aku mengerutkan dahi sembari memandangi kertas tadi.

“Kaamuu??? ……” belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, dia kemudian mengangguk sambil tersenyum.

Sedikit kaget mengetahuinya. Aku belum pernah berteman dengan anak yang memiliki kekurangan fisik seperti dia. Mau bertanya lagi, tapi takut mengganggu dan merepotkan karena setiap pertanyaan yang akan aku ajukan pasti jawabannya harus di tulis dulu. Aku hanya tersenyum sambil berkata,

“Yaudah, apapun yang kamu tulis selamat menulis yah. Senang bertemu kamu juga ”

Kemudian aku kembali ke tempat dudukku sambil membuka-buka absen kelas melihat nama-nama teman baruku.

Semakin hari aku semakin terbiasa dengan suasana sekolahan. Ternyata Dodo anaknya asyik. Sering membuat teman-teman tertawa tepingkal-pingkal. Namun tidak sedikit diantara anak-anak di sekolah yang sering mencemooh dia. Apalagi anak Ibu kantin. Kira-kira usianya sudah menginjak 8 tahun, namun belum bisa membaca, itu sebabnya dia tidak bisa berinteraksi dengan Dodo yang hanya bisa berkomunikasi melalui tulisan. Maka dari itu, saking sebalnya karena tidak mengerti apa yang dipesan Dodo saat jam istirahat makan siang, dia sering mengatainya dengan kalimat yang membuat Dodo berkecil hati. Bahkan dia pernah mengatakan,

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (42)

“Ahh ribett,,, kenapa sekolah di sini sih, noh di seblah, SLB, gabung tuh sama temen-temen senasib”.

Jangankan itu, sewaktu pendaftaran ekstrakulikuler saja Dodo menjadi bahan guyonan di antara senior-senior. Aku dan beberapa teman lain mendaftar di ekskul basket, termasuk Dodo. Saat pengambilan formulir pendaftaran saja, Dodo malah di tertawakan oleh beberapa senior yang membagikan formulir. Mereka hanya bilang,

“Yakin do?”

Dan seperti biasa, Dodo mengangguk sambil tersenyum.

Kemudian terbukti sendiri, semua senior gigit jari melihat Dodo yang mahir men-drible bola dengan bantuan tongkatnya. Mustahil? Awalnya aku pikir juga seperti itu. Tapi setelah menyaksikan langsung, aku pun percaya bahwa keinginan yang kuat bisa mengalahkan segalanya. Bahkan cemoohan orang-orang sekalipun.

Selama 3 tahun di bangku SMP, kami selalu sekelas di kelas unggulan. Aku selalu memperhatikan kemajuannya tiap saat. Jiwa sosialnya pun semakin membaik. Banyak orang yang dulunya sering mencibirnya sekarang malah memujanya. Walaupun tak lagi mendapat peringkat satu dikelas dia tetap jadi tauladanku. Alasannya sederhana, di bangku SMP ada banyak mata pelajaran yang mengharuskan kita untuk berbicara di depan kelas, mulai dari drama, baca puisi, pidato, debat, dan banyak lainnya. Sementara Dodo yang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi terpaksa hanya bisa diberi nilai standar.

Hari kelulusan pun tiba, dan alhamdulillah, seluruh siswa/siswi di SMP Negeri 2 Sungguminasa dinyatakan lulus 100%.

Setelah itu aku melanjutkan kuliah ku di Jakarta. Sementara Dodo, entah, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya.

Hanya saja, beberapa bulan yang lalu aku sempat dikagetkan oleh sebuah artikel di salah satu majalah langgananku. Sedang asyik-asyiknya membaca majalah di teras depan sambil menyeduh segelas teh hangat, mataku terfokus pada sebuah artikel berjudul “Keep Your Chin Up”

Di sana tertulis jelas,

Penulis: Aditya Widodo

Aku pun tersenyum sembari menitikkan airmata.

Bagikan artikel ini
Nurfa Dhilah Nurdin
Nurfa Dhilah Nurdin
Articles: 1

Leave a Reply