Dongeng Gemericik Suara Hati (48)

Akupun naik pitam, wajahku memerah, tangan sudah terkepal dan pergi meninggalkan mereka yang kurang tahu diuntung dengan bergegas, karena mengingat aturan yang dulu Raja Sendok berikan serta amanah dari para tetua untuk tetap tenang dalam menghadapi segala situasi, salah satunya adalah orang yang sulit untuk di atur mengikuti aturan dan bersikap seenaknya, atau orang-orang yang kurang tahu bagaimana caranya berterimakasih, yang malah menolak mentah-mentah karena kesombongan mereka sudah mengetahui dan mengoneksi banyak hal. Duh….amit-amit bro, kalau sampai Tingit ketularan begitu, berarti kudu ganti nama dan segera mengundurkan diri, malu, masa pemimpin malah menyontoh yang baik? Eh…..
Dua puluh abad kemudian, Raja Gozo kembali, Tingit berfirasat akan mati dibunuh dalam peperagan di suatu hutan di dalam Istana yang dulu menjadi kamar saya saat kecil. Saya menitipkan kepada anakku yang bernama Pangeran Harguna yang tampannya bukan main berupa sebuah surat perkamen untuk dihanyutkan di sungai Zargkc dan menguburkan saya di pemakaman khusus, tempat para Leluhur di kebumikan di Kerajaan Bumi dengan tanpa membubuhkan nama Tingit disana guna menebus kesalahan mereka, namun, saya minta dibuatkan ukiran “Disinilah sejarah Kerjaan Bumi berakhir dan saat sesuatu berubah, maka hancurlah pada waktunya dan digantikan oleh Raja lain dan berubah Kerajaan beserta isinya berubah semua namanya atas izin Halla” di dekat kuburan yang saya tunjuk pada putri yang merupakan adik dari Pangeran Harguna yang bernama Putri Sadardi.
“Simnal”, “Blupug, Meong, ada apa yang mulia” sambil memperlihatkan wujudnya kepada kedua anakku dan juga suamiku, Uyek. “Waaaah….lucu, ini apa Ibunda?”, sambil menegadahkan kepalanya ke atas,”Ini Simnal, Singa peliharaan Ibu dari kecil, lucu yaaaa….suka?”,”Iya….hehehhe”. “Ooh….gitu, kalau suka di rawat baik-baik yah sayangku….”, “Woke bun….”.
“Simnal, titip keluargaku, karena Tingit sebentar lagi akan mati, dalam kondisi apapun, tolong jagalah mereka, hingga titik darah pemnghabisan terakhirmu, dan bila kau turut mati, matilah disampingku” sambil berjalan dan mengelusnya, “Baik, sungguh kehormatan bagiku paduka, bisa melayani dari hamba kecil, terimakasih sudah menjagaku setiap saat dan setiap waktu, terimakasih sudah diizinkan untuk selalu bersamamu dan dipanggil sesuka hatimu”, semuapun terlarut dalam diam. Namun, semuanya serempak menitikkan air matanya karena sudah saatnya berpisah setelah sekian lama. Membayangkannya saja sekarang, rasanya gimanaa gitu, rasa hilang itu….ooooh…..
“Nij, prajuritku dan sahabat-sahabatku yang merupakan kiriman dari Raja Halla, terimakasih atas pengabdian kalian selama ini kepada Kerajaan Bumi, aku mohon maaf atas kesalahan yang telah Tingit perbuat, serta para yang masih hidup dan para pendahulu kami yang telah menyakiti kalian”, “Tidak apa Ratuku, kami rela, sudah menjadi titah kami atas Raja Halla dan Ratu Tingit, kami juga sudah tahu lewat pikiranmu, kami akan kebingungan karena penyerang itu, sihirnya sungguh luar biasa, terimakasih atas niatnya untuk membebaskan kami ke Raja kami kembali, namun, izinkan kami melaksanakan sisa tugas kami, hingga engkau

Last Updated on 10 tahun by Tyaseta Rabita Nugraeni Sardjono

Oleh Tyaseta Rabita Nugraeni Sardjono

Nama lengkap saya adalah Tyaseta Rabita Nugraeni Sardjono, biasa dipanggil Tyas. Sejak 2012-sekarang saya mengalami halusinasi suara, jangan takut sama saya, 2013-2016 mengalami penurunan penglihatan (low vision) dan hingga kini terganggu penglihatan. Saya ini orangnya kritis :)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *