MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

DPR Harus Akomodasi Hak Penyandang Disabilitas di RUU KUHAP

Terakhir diperbaharui 3 tahun oleh Redaksi

JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh DPR dinilai belum optimal. DPR harus pertimbangkan hak penyandang disabilitas di RUU KUHAP. RUU tersebut belum memiliki ketentuan dan prosedur yang jelas mengenai penanganan kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas.

Dilansir dari Kompas.com, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyerukan kepada DPR agar menunda pembahasan RUU KUHAP.

“Penanganan kasus di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan belum mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas di hadapan hukum. Misalkan penerjemah bahasa isyarat dan penerjemah bagi penyandang disabilitas mental,” ujar Pengacara Publik dari LBH Jakarta, Marulitua Rajagukguk di Kantor LBH, Jakarta, Selasa (4/3/2014).

Maruli menjelaskan, dalam RUU KUHAP, hanya ada dua pasal yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas, yaitu Pasal 91 ayat 2 dan Pasal 168 ayat 1 dan 2 RUU KUHAP. Pasal 91 ayat 2 berbunyi:

Dalam hal tersangka atau terdakwa buta, bisu, atau tuli diberikan bantuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168.”

Adapun Pasal 168 ayat 1  berbunyi:

“Jika terdakwa atau saksi bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi tersebut sebagai penerjemah.”

Dalam Pasal 168 ayat 2 yaitu: “Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada terdakwa atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”

Baca juga:  Janji Kandidat Pilgub Jabar ke Disabilitas

Menurut Maruli, kedua pasal tersebut lebih mengatur ketentuan pada proses persidangan. Sedangkan di tingkat penyidikan, hak penyandang disabilitas belum diatur dengan jelas. “Dalam konteks penyidikan atau perkara yang belum disidangkan, belum diatur dengan jelas,” katanya.

Menurut data PBB, diperkirakan jumlah penyandang disabilitas di sebuah negara berkembang seperti Indonesia yitu 10% dari total penduduk. Singkat kata, ada kurang lebih 24 juta orang yang mengalami disabilitas fisik, mental, atau intelektual. Angka tersebut tak dapat dikatakan kecil, sehingga DPR harus akomodasi hak penyandang disabilitas di RUU KUHAP.

“Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sangat besar. Maka perlindungan terhadap penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum harus diatur dalam RUU KUHAP yang semestinya menjadi lebih baik dibanding KUHAP. Tetapi ini nyatanya tidak,” kata Maruli.

Menurut Maruli, hal ini menyebabkan hak penyandang disabilitas dalam kasus hukum menjadi terpinggirkan. Banyak kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas tidak diproses. Koalisi untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana pun meminta DPR dan pemerintah menunda pembahasan RUU KUHP-KUHAP karena masih banyak substansi yang perlu diperbaiki, khususnya masalah perlindungan terhadap penyandang disabilitas.

Penundaan ini diperlukan sebab selain belum terakomodasinya hak penyandang disabilitas di RUU KUHAP secara eksplisit, pemahaman pemerintah dan DPR mengenai disabilitas pun perlu dibenahi. Bahwa disabilitas itu bukan hanya yang terlihat secara fisik, sebab ada pula yang sifatnya mental dan intelektual. Bahkan dua jenis disabilitas terakhir tersebut yang kerap mendapat diskriminasi oleh aparat hukum.(DPM)

sumber: Kompas

Beri Pendapatmu di Sini