Dua Puluh Satu Cahaya

“Kue ini punya dua puluh satu cahaya. Kedua puluh satu cahaya ini akan mulai padam ketika kau menghembuskan nafasmu padanya. Tapi, cahaya-cahaya itu tak akan begitu saja hilang. Ia masih akan merasukimu. Tepatnya, berada dalam bilik hatimu. Cahaya yang terkumpul itu akan selalu bertambah setiap tahunnya. Dari dua puluh satu, menjadi dua puluh dua. Dua puluh dua, menjadi dua puluh tiga. Begitu seterusnya. Layaknya cahaya itu, cinta aku ke kamu juga begitu. Akan ada satu tunas baru setiap tahunnya. Tumbuh subur dalam hatimu. Merayapi dinding-dindingnya.”

 

Gadis itu menatapku perlahan. Manik cokelatnya terpatri erat dalam retinaku. Manik cokelat itu terus saja membayangiku, membuatku meleleh seperti lilin-lilin yang mencair di atas kue. Hal itu membuatku ingin segera berpaling darinya. Tapi, aku tak jua mau berpaling. Malahan, aku membiarkannya menyelami duniaku lebih dalam lagi. Menyesapi ketiadakuasaanku tanpanya. Menyerahkan segala keyakinanku atasnya. Dan membimbingnya dalam penguasaan penuh akan hidupku.

 

“Selamat ulang tahun, sayang… ini dua puluh satu lilin. Dengan dua puluh satu cahaya. Dan dua puluh satu cinta. Sesuai umurmu ditahun ini.” bibir gadis itu mulai menyunggingkan senyuman. Senyuman yang masih saja mampu menggetarkan hatiku.

 

Aku tergerak meniup cahaya keemasan yang berada di puncak lilin bersanggakan sumbu putih itu. Begitu nafasku menyentuh puncaknya, warna kuningnya berangsur-angsur menghilang. Menyisakan bau asap yang terasa begitu menyegarkan di hidungku.

 

“Terima kasih, Cinta.”ucapku perlahan, sembari menelan air mataku bulat-bulat. Hingga hanya tersisa sebeningan kaca di peraduannya.

 

“Apakah ini air mata bahagia?” tanyanya. Tangannya mengelap satu bulir air yang lolos dari mataku.

 

“Tentu saja ini air mata bahagia. Sangat bahagia.” jawabku, sambil membalas senyumannya.

 

“Air mata bahagia, ya.” gadis putih di hadapanku ini menghentikan kalimatnya sesaat.

 

Aku memperhatikan bagaimana bibir berminyaknya mengerucut tiba-tiba. Lalu, kerutan bibirnya mulai melebar meninggalkan sebentuk garis yang tadi tercipta. Bibir itu kemudian bergerak dalam ritmenya. Aku tak lepas memandang si pemilik bibir. Pemilik bibir yang begitu cerewet. Tapi sangat aku cinta.

 

“Kalau begitu, jangan di tahan air mata bahagianya. Aku juga akan mengeluarkannya. Tapi, kita potong dulu kuenya, ya.”

 

“Cinta, bagaimana kalau kamu tanpa aku?” kataku tiba-tiba, menghentikannya.

 

Sesungguhnya, aku tak menatapnya saat mengatakan ini. Aku memilih menatap kakiku yang bergerak mengacaukan susunan kerikil di tanah.

 

“Tanpa kamu?” aku menangkap kesan getir di sana.

 

Pemilik suara yang kupanggil cinta itu melanjutkan,

 

”Aku takkan bisa tanpamu. Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi? Bukannya kita sudah membahasnya berkali-kali. Aku cuma cinta kamu. Aku sudah bertahan sama kamu selama ini, di titik dua tahun ini. Semestinya, kata-kata itu tak lagi terucap. Hanya membuatku sesak. Dan kamu pasti juga sesak…”

 

Aku memalingkan pandanganku dari kerikil-kerikil yang ada di tanah. Pandanganku telah beralih pada seraut wajah putih ayu yang mengguratkan ketakutan. Atau kecemasan lebih tepatnya. Aku menangkap bening – bening kaca di manik matanya. Membuatku merasa tak enak telah kembali bertanya. Bertanya dengan pertanyaan sama yang entah untuk keberapa kalinya.

 

Cinta tertunduk. Satu titik air membasahi telapak tanganku. Ketika aku melihat, air mata sudah turun banyak dari matanya.

 

“Apa itu tandanya kamu mau meninggalkan aku? Apa kamu menemukan gadis lain yang lebih cocok daripada aku?” suaranya begitu gemetar. Membuat jantungku serasa tertikam belati panas beracun.

 

“Tidak… bukan begitu, Cinta. Aku… aku hanya ingin kepastian. Eh, bukan. Aku, aku hanya ingin meyakinkan aku. Aku benar – benar menjadi milikmu.” tukasku, mencoba memberi pengertian.

 

Tapi, sepertinya, pernyataanku salah. Aku malah memerangkap kami berdua dalam keambiguan yang tak mampu di reda cepat. Yang ada malah suara isakan bertalu-talu. Isakan yang semakin liat menyelubungiku. Meninggalkan rasa bersalah yang teramat sangat. Bagaimanapun aku mencoba menenangkannya, satu hal masih juga tak mampu terpecahkan. Aku telah mengecewakannya.

 

“Aku mau pulang…”katanya tiba-tiba.

 

“Aku pikir, bahagia hari ini berlalu begitu cepat.” tambahnya lagi, sambil tersenyum dengan air mata yang terus saja menetes.

 

“Kamu masih juga mengatakan hal-hal yang aku benci. Jelas aku sering mengatakannya. Aku tak suka kamu menanyakan hal itu. Kamu mengulanginya.” ucapnya lagi, menyudutkanku.

 

Selama itu aku tak mampu membantah. Aku hanya menggerakkan ototku, dan menyalakan mesin motor. Membawanya ke rumahnya, sembari memecah angin malam dengan suara bising motorku.

 

“Putra,  jangan lagi begini, ya.” tukasnya, di sela-sela perjalanan kami menuju rumahnya.

 

Dan, aku hanya mampu terdiam sebagai jawaban.

***

 Aku menunggangi bayanganku, sambil berdiri berdampingan dengan Cinta. Cahaya bulan sendiri terlihat bersemangat memandikan kami dengan putihnya. Aku menatap Cinta yang tak henti memandangi gelapnya langit dihiasi kemilau bintang.

 

“Aku akan pergi. Besok…” lirih, ia mengucapkannya, seperti tak ingin aku mendengarnya. Dadaku seketika itu bergemuruh.

 

“Mau kemana?”tanyaku perlahan. Dengan dada yang masih bergemuruh.

 

“Aku keterima di Unsoed. Aku harus ke Purwokerto. Kamu mengizinkan aku pergi, kan?” ia balik bertanya. Suaranya bergetar. Aku tau ia akan menangis.

 

“Kalau itu yang terbaik. Asal, hati-hati disana. Jaga dirimu. Ibadahmu. Kesehatanmu. Kembalilah pada saatnya tiba. Aku akan selalu menantimu…” aku mencoba tegar, meski sebuah lubang kecil menganga di hatiku.

 

“Aku pasti akan merindukanmu nantinya.” ia menarik nafasnya panjang. Dengan panjang pula Cinta menghembuskannya.

 

“Akupun demikian. Sukseslah di sana. Lalu, jadi dokter yang baik.” aku menatapnya sambil tersenyum.

 

“Hu-uh. Aku mau lulus cepat. Mau lulus muda. Hehehe…” ia tertawa, memamerkan gigi rapihnya.

 

“Jangan terlalu lelah. Aku pasti menunggu.” timpalku. Lalu, aku ikut tertawa bersamanya.

 

“Jadi, malam ini akan jadi malam terakhir kita?” aku kembali mengurai kalimatku. Wajah gadisku terlihat menegang. Dahinya mengerut, sementara alisnya menyudut.

 

“Terakhir? Tidak, kok.”ketus ia mengucapkannya. Membalik perkataanku dengan sekali libas. Tepat berhasil menyentuh urat nadiku.

 

“Aku akan merindukanmu.” aku mengulang kalimat yang tadi baru kami katakan.

 

“Aku akan merindukanmu.” Cinta membeo kalimatku.

 

Malam itu, kami berdua terus saja mengucapkan kata rindu yang sama. Terus beriringan, sambil menatap beningnya cahaya bulan. Berharap malam itu akan berlangsung lebih lama.

***

 

Kalau aku hitung, ini sudah memasuki satu tahun kepergian Cinta. Sampai hari ini, aku terus menanti kepulangannya. Sebenarnya, aku tak dapat menahan rasa lagi. Aku tak cukup hanya bersanding dengan pesan – pesan singkatnya, atau suara cemprengnya di telepon. Aku mau bertemu dengannya. Menatap bagaimana liat mimik wajahnya bergerak. Memandang bagaimana bentuk bibirnya yang menggemaskan. Melihat bagaimana ia beranjak semakin dewasa.

 

Tapi, aku tau sekarang. Rasa rinduku akan segera terobati. Aku sudah dekat akan pemenuhanku atas rindu. Ramadhan sudah dekat. Idul fitri sudah beranjak. Dan, Cinta juga akan pulang.

 

Aku segera menangkap telepon genggamku yang berada di bawah bantal. Aku membuka menu message, lalu masuk untuk mengirim pesan baru baginya.

 

Pulang kapan cinta?

 

Setelah selesai aku mengetiknya, aku mengirim pesan itu pada sebuah nomor beratasnamakan Cinta. Lama aku menunggu, akhirnya pesan itu terbalaskan.

 

Jangan menantiku, Putra. Carilah yang lain…

 

Pesan itu begitu kuat, tegas, dan telak. Membuat nafasku begitu saja tercekat. Aku seperti dipaksa menelan berbongkah – bongkah batu. Batu itu sendiri melesat jauh dari kerongkongan, malah menghantam jantungku. Aku terdiam. Tapi, aku membalas.

 

Kenapa? Maksudmu apa Cinta? Aku rindu kamu. Seperti kamu yang rindu aku.

 

Kali ini, Cinta membalas sedikit lama. Rupanya, isi pesannya terlampau panjang.

 

Kita sudah lama ya, Putra. Tiga tahun lamanya. Aku enggak sadar kalau waktu itu berjalan cepat sekali. Secepat itu waktu membimbing kita. Aku juga enggak tau, kalau waktu itu yang mampu merubah hati kita….

 

Aku menarik mataku dari layar telepon genggam. Mataku terasa memanas. Tapi, aku masih harus membaca pesan itu keseluruhannya. Maka, aku paksakan kedua beningku, meski adrenalku terpacu menekanku. Dengan pandangan mengabur, aku mulai membaca.

 

Kamu, carilah yang lain. Tak usah menungguku disini. Aku masih terlalu muda. Terlampau empat tahun dari kamu. Kamu pantasnya mencari yang lebih baik dari aku. Aku juga tak akan mengganggumu lagi. Aku tau sampai detik ini kamu mampu membaca, kamu masih tak mengerti. Aku sudah menemukan yang lain. Yang mampu menjadi yang aku mau. Jadi, kamu juga harus mencari yang lain. Berjalanlah untuk mendapatkannya. Kamu manis, baik, penuh tanggung jawab. Kamu akan mendapatkannya Putra. Baik – baiklah. Seperti kebaikan saat hubungan kita ini terputus.

 

Pletak..!!

 

Aku menatap handphone-ku yang kini sudah dalam bentuk tak rupa. Ya, aku membantingnya. Aku terlalu sakit, hingga tak kuasa untuk melemparnya. Aku telah hancur. Begitu hancur hingga rupanya tak mampu aku terka kembali. Aku sudah seperti rupa handphone-ku. Sementara itu, otakku terus saja memutar beragam kemungkinan, sambil terus membuka pertanyaan baru atas aku. Dan, aku juga yang mesti menjawab.

 

Akhirnya, aku menghabiskan malamku ini dengan air mata. Aku bukan lelaki cengeng. Tapi, hal ini benar – benar menyakitiku terlampau dalam. Aku yakin tak akan ada yang tau betapa berartinya Cinta bagiku. Ia yang membuatku bangkit dari keterpurukan. Membantuku berjalan untuk tetap berada dalam cahaya. Hingga aku benar – benar mampu, dan menjadi sukses seperti sekarang. Aku mampu membiayai operasi ibuku. Aku mampu memperbaiki keuangan keluargaku. Aku mampu membeli apapun sendiri. Tapi, semua itu tak akan ada artinya sekarang. Tanpa Cinta, aku bukan apa – apa.

 

***

 

Aku terus menyibuki diriku dengan pekerjaan. Menenggelamkan hidupku dengan berkutat atas barang – barang yang berlabel C^P. Aku, atas dorongan Cinta, membuat usaha digital printing untuk pasangan. Sekarang, usahanya sudah berkembang terlampau jauh. Sudah merapat sampai pada baju muslim khusus couple. Hanya saja, meski perkembangan sedrastis apapun, pekerjaan ini tak lagi memiliki jiwa. Jiwa itu sudah lama berlayar, bersamaan dengan kepergian Cinta.

 

Bahkan sampai detik ini, sampai waktu telah menyatakan aku berada di penghujung dua puluh lima, aku masih juga tak mampu mengenyahkan rasa akan Cinta. Sepertinya, kata – katanya dulu telah merasuk terlampau jauh. Cinta benar. Tunas cinta yang ia tumbuhkan benar – benar bertambah setiap tahunnya. Kenyataan ini malah membuatku semakin terpekuk. Meski usiaku semakin tua, aku masih juga tak mampu menemukan penggantinya. Cintaku…

 

“Kak Putra, ya..”sebuah suara menyentuh membran timfaniku. Membuatku terlonjak dan memandang rupa pemilik suara. Aku mengenalnya. Ia Firda, sahabat baik Cinta.

 

“Eh, Firda ya. Ada perlu apa? Mau cari baju couple?” tanyaku berbasa-basi.

 

“Hehehe. Kalau dikasih gratis mau deh, kakak.”jawabnya sambil tertawa.

 

“Ada apa nih kesini?” aku menghentikan basa – basi kami. Langsung bertanya atas perihal kedatangannya.

 

“Aku kesini untuk Cinta, kak.” Firda terdiam. Sementara itu ototku menegang tatkala gadis berjilbab itu mengucapkan nama gadisku dulu.

 

“Cinta?”aku membeo.

 

“Dia butuh kakak.” perkataan Firda membuat aku mengkerut. Butuh? Bukannya sebenarnya diriku yang membutuhkan Cinta?

 

“Butuh aku? Bukankah dia yang meninggalkan aku. Untuk apa dia butuh aku? Dia sendiri sudah punya pria idamannya. Pria yang aku terka sama-sama bertitelkan dokter. Bukan seperti aku yang lulusan SMA dan hanya menjadi wirausaha semata. Yah, meski gaji bisa sama seperti dokter. Tapi tetap saja titelnya SMA dan dokter beda.”ujarku dengan nada sakartis.

 

“Masalahnya, pria idaman itu enggak ada kak. Itu hanya bisa-bisanya saja Cinta mengarang. Pria itu fiksi. Pria yang ada di statusnya semua fiksi. Pria idamannya yang sebenarnya cuma kakak.” balas Firda, membuatku kaget.

 

“….”

 

“Kak, Cinta itu udah kayak raga tanpa nyawa sekarang. Cinta bukannya meninggalkan kakak tanpa alasan.” tambah Firda.

 

“Ya, memang tanpa alasan. Karena, alasannya sudah ia utarakan sendiri padaku. Bahkan, aku masih menyimpan pesannya sampai sekarang. Jadi, kalau dihitung, usia pesan yang sudah empat tahun ini masih ada jelas di handphoneku. Mau lihat?” aku memotong kalimat Firda, dan mencecarnya dengan segala bentuk kekesalanku. Atau, pembelaan diri lebih tepatnya.

 

Firda menghela nafasnya, lalu melanjutkan.

 

”Kakak sudah sekeras batu, ya? Begini deh. Cinta itu enggak akan begitu karena ia punya alasan kuat. Aku kesini karena aku sahabat Cinta, dan tau yang terbaik buat dia. Dan yang terbaik untuknya itu kakak. Dia sekarang di Bandung. Alamatnya ini, Kak.” jawab Firda, sambil memberikan secarik kertas.

 

Aku memandangi kertas itu lama. Sementara itu, pikiranku terus berkecamuk. Aku membiarkan diriku terlena dalam fikiranku, tanpa sadar bahwa Firda sudah berlalu.

 

‘Apa aku harus pergi ke sana?’

 

Aku bertanya pada diriku sendiri.

 

‘Apa benar Cinta butuh aku?’

 

Pertanyaanku yang lain muncul, membuatku semakin bingung harus melakukan apa. Saking bingungnya, aku membiarkan secarik kertas itu di dalam laci mejaku. Tapi, beberapa jam kemudian, aku mengambil kembali kertas itu dari penantiannya untuk ku baca. Aku menimang-nimang. Mungkin, aku memang harus pergi. Kalau nanti aku kecewa, tak apalah. Biar kutelan kekecewaan itu lagi.

 

***

 

Dan, disinilah aku saat ini. Di depan sebuah rumah berukuran sedang dan tingkat. Terletak di antara gang-gang sempit. Aku menekan tombol belnya. Membiarkan nada ‘assalammualaikum’ berkumandang, yang seharusnya nada itu keluar dari mulutku.

 

Aku berbalik memandangi apa yang ada di tanganku. Kue tart berwarna putih, dengan hiasan bunga di atasnya. Dua puluh batang lilin putih mengelilingi kuenya. Sementara, satu batang lilin biru berada di atas bunga.

 

Taklama, sesosok dengan kursi roda muncul, membelalakkan mataku. Aku mengenal sosok itu. Mata cokelatnya masih tetap indah, namun ada garis kehitaman di bawahnya. Raut wajah kekagetannya masih sama, tapi terlihat kekusaman di sana. Bibirnya – yang mengucapkan namaku tanpa suara –  masih sama, tetapi tanpa berminyak. Wanitaku tak berubah. Ia masih yang sama. Cintaku..

 

“Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday, happy birthday… Happy birthday to you…”

 

Aku mendekatinya sembari menyanyikan lagu selamat ulang tahun versi Inggris. Setelah sampai di hadapannya, aku berjongkok agar sejajar dengannya. Lalu, aku menaruh kue tart di atas pangkuannya. Aku kembali menatap wajahnya dan bagaimana matanya berhiaskan rasa penuh ketidakpercayaan.

 

“Kue ini punya dua puluh satu lilin, dengan dua puluh satu cahaya. Cahaya ini enggak akan hilang begitu saja. Tapi, ia akan masuk ke dalam jiwamu, menyentuh hatimu. Layaknya lilin ini, cintaku ke kamu juga begitu. Akan ada tunas baru yang muncul setiap tahunnya.”aku menghentikan kalimatku sesaat, dan menatap wajahnya dengan pandangan mengabur.

 

“Putra…”ujarnya lirih dengan air mata yang berurai.

 

Aku menghapus noda air itu dari wajahnya. Aku tak mau air mata itu menyungai di pipinya. Aku masih mau memandang mulusnya pipi tirusnya. Aku tak mau ada yang menghalangi, meski itu sebulir air mata dan jejak yang ditinggalkannya.

 

“Kamu tau, Cinta. Kamu benar. Tunas-tunas itu selalu muncul tiap tahunnya. Tunas itu malah memunculkan tunas baru yang tumbuh dua kali lipat. Cabang tunas itu bernamakan rindu,”jelasku, sambil tersenyum memandangnya.

 

“Kamu tau dari mana aku di sini? Kenapa jua kamu repot-repot datang? Sekarang, lihatlah. Aku sama sekali tak berguna, Putra. Aku tak berguna. Aku gagal menjadi dokter. Aku malah duduk di depan laptop, menuliskan berbagai kisah pilu. Tentang aku, tentang hidupku, dan…”Cinta berhenti membalas perkataanku.

 

“Tentang aku, kan?”aku balik bertanya, yang sebenarnya melengkapi perkataannya.

 

Cinta terdiam. Ia tak mampu membalas. Cinta malah larut dalam tangisannya. Tangisan bercampur dari rasa bahagia, sedih, dan takut.

 

“Hey.. hey… cintaku. Aku cinta kamu apa adanya.”aku berkata perlahan.

 

“Meski aku tak sempurna lagi?”tukasnya.

 

“Ya, meski kamu tak sempurna.”aku membalas.

 

“Tapi, nanti aku akan jadi tua. Aku juga mungkin susah punya anak. Apa kamu bisa terima kenyataan ini?”ujarnya dengan nada yang semakin gemetar.

 

“Aku juga akan menua, bahkan lebih tua darimu. Anak? Kita bisa angkat anak jika memang tak mendapatnya?”aku membalas.

 

“Kamu benar-benar mau terima aku? Tapi aku tak pantas.”jawabnya, sambil menunduk.

 

Aku mengangkat wajahnya. Memandangi bagaimana bulir-bulir air matanya berjatuhan. Aku tak menghapus nodanya. Aku membiarkannya mengalir, agar Cinta mampu tenang.

 

“Ya, aku mau terima kamu. Tak ada kata pantas. Semua itu pantas. Rasa itu ada dari Tuhan. Semua itu anugerah. Dan, kamu adalah anugerah paling indah yang pernah ada,” jawabku.

 

Cinta menganggukan kepalanya, sembari tersenyum. Seketika itu juga puluhan kupu-kupu berterbangan dalam hatiku. Mereka menyesapi bunga-bunga yang tumbuh subur di dinding-dindingnya.

 

“Ini dua puluh satu cahaya, ya?”ucapnya, sambil tersenyum.

 

Lalu, kedua puluh cahaya itu lenyap diterpa nafas Cinta.

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *