Emosi, Hati, dan Satu Kaki

“Sepulang sekolah nanti kita harus buat mereka bertekuk lutut sama kita!” Mulutnya menganga lebar, dengan semangat yang membara.

Aku, Doni, Indra, dan teman-teman lainnya mengangguk setuju atas perkataan Beni tadi, menghiraukan guru sejarah yang sedang menjelaskan materi di depan.

Kami sepakat untuk memberi pelajaran kepada mereka, murid-murid sekolah sebelah yang telah membuat teman kami terluka. Rendi sekarang jatuh sakit setelah terjatuh dari motor karena terserempet salah satu dari mereka yang mengendarai motornya dengan kencang saat ia hendak berangkat menuju sekolah.

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Kami bergegas, dengan masing-masing senjata tersembunyi dalam ransel masing-masing.

***

Ini kesekian kali aku ikut tawuran. Aku sendiri sebenarnya tidak bisa memberikan alasan mengapa bisa turut andil, tapi atas nama membela temanku aku menurut sajah. Sekalipun pernah aku dan teman-teman dimarahi guru, tapi demi Rendi kami tidak akan pernah menyerah. Sahabat kami yang sekarang terbaring lemah, pasti akan tersenyum karena kita akan membuat dia yang mencelakainya kini juga akan bernasib serupa.

Dan atas nama membela pula, darah mengucur ke kepala setelah terkena pukulan lawan ditengah pertarungan. Aku terhuyung. Aku tahu kalau kuterus berada ditengah pertempuran ini sesaat lagi aku bisa tutup usia. Teman-teman lainnya masih asyik membalaskan dendam. Dengan kekuatan yang tersisa akupun menyingkir dan mencari tempat untuk bersembunyi.

Naas, seseorang menangkap basah bahwa aku akan menjauhi pertempuran. Kutarik nafas dalam-dalam dan mulai berlari sekalipun darah makin mengucur di kepala. Setelah ia tak terlihat, tanpa berpikir panjang aku bersembunyi disalah satu rumah terdekat yang terlihat usang dan tak berpenghuni untuk bersembunyi.

Hampir sajah!

Barulah sakit tadi kembali menyerang kepala setelah aku berhasil bersembunyi. Pandangan perlahan menjadi kabur dan aku merasakan lemas luar biasa. Samar-samar kulihat seorang kakek tua dengan jalan yang tak normal mendekatiku. Tapi segera menghitam ketika mata ini akhirnya terpejam.

***

Silau.

Lampunya terasa menyayat mata. Terlalu dekat dengan muka sehingga mata ini harus beradaptasi setelah beberapa saat terlelap dalam kelopak mata yang tertutup rapat. Setelah mampu melihat, pandanganku menerawang ruangan yang begitu asing. Dan ingatanpun kembali ke kepala : aku tawuran, kepala berdarah lalu aku kabur untuk bersembunyi. Dan…seorang kakek tua.

“Alhamdulillah sudah sembuh kau nak.”

Suara serak seorang kakek menyadarkanku bahwa sedari tadi dia duduk disana mengipasiku.

“Syukur lukamu tidak parah dan obat-obatan masih ada.” Katanya sambil tersenyum lalu melanjutkan “Kepala kamu tadi berdarah, untung kamu bersembunyi disini, kalau tidak bisa fatal akibatnya.”

Kakek itu mengambil tongkatnya lalu berusaha berdiri. Butuh beberapa helaan nafas agar dia bisa berdiri seolah-olah usahanya bisa gagal hanya dengan satu tiupan angin.

“Sebentar saya ambilkan minum dulu.”

Dari kejauhan saya melihatnya, tersadar bahwa kaki sebelah kirinya kini hanya tinggal sepenggal. Kaki kanannya yang tersisa bahkan terlihat ringkih untuk menopang badan.

“Saya dimana pak?” Akhirnya saya bisa bersuara setelah meneguk segelas air pemberiannya.

“Kamu dirumah saya, sudah sekarang kamu istirahat dulu nanti saya minta bantu orang untuk mengantar kamu pulang.”

“Tidak usah pak, terima kasih.” Kataku meyakinkannya.

“Sudah tidak apa-apa, lebih baik kamu sekarang tidak banyak bergerak.” Katanya sambil seulas senyuman muncul dalam wajahnya yang keriput.

Akhirnya aku pun pulang. Sesampainya dirumah aku pun disambut keluarga yang kaget melihatku dan langsung mengantarkanku ke dokter terdekat.

***

Beberapa hari kemudian keadanku semakin membaik. Atas perintah dokter aku diistirahatkan beberapa hari di rumah. Ada perasaan bersalah kepada teman-temanku di sekolah. Semoga mereka tetap menganggapku teman, bukannya pecundang yang lari dari pertempuran.

Rumahku terbiasa kosong saat di siang hari, kedua orang tuaku bekerja dan kakakku sedang kuliah di luar kota. Setelah berlama-lama terlelap diatas kasur membuatku ingin banyak bergerak. Kemana sajahlah asal tak terkurung didalam rumah ini. Apalagi setelah teringat seorang kakek yang menolongku beberapa hari yang lalu.

Untung masih kuhapal jalannya, akhirnya aku pun bersiap lalu menuju kesana.

***

Rumahnya kosong. Lebih parah dari keadaan yang kuingat saat pertama kali masuk untuk bersembunyi. Kaca jendelanya baru kusadari banyak yang terpecah, mungkin karena tawuran kemarin pikirku.

“Kalau pagi Pak Lukman jualan sayur sekitaran komplek de. Tunggu sajah sebentar lagi biasanya pulang kok.” Kata seorang ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumah kakek ini sambil menggantungkan beberapa pakaian basah di tali jemuran.

Aku pun memutuskan untuk menunggu di kursi reyot disebelah pintu masuk rumah.

Setelah beberapa lama, Pak Lukman pun datang dengan tubuh yang basah oleh peluh. Anehnya, gerobak sayur yang sudah dimodifikasi itu masih bisa maju sekalipun didorong oleh seorang kakek ringkih dengan kaki yang hanya tersisa sebelah.

“Assalammualaikum. Wah ada ade, gimana udah baikan?”

“Waalaikumsalam Pak Lukman, alhamdulillah sudah.”

Dia pun langsung membuka pintu dan mempersilahkan ku masuk. Sebenarnya aku kesini hanya untuk berterima kasih. Tapi secangkir teh untukku membuatku ingin berlama-lama mengenal kakek tua ini.

Kami pun duduk dengan teh yang tersedia diatas meja yang sama ringkihnya dengan sang kakek. Membuatku takut meja itu tak sanggup menopang dua cangkir teh yang dia beban.

Pembicaraan bergulir dari rasa terima kasih, rumah kontrakannya yang makin mengenaskan lalu berlanjut kepada sejarah bagaimana kakinya kini tak lagi sepasang.

“Kaki saya terpaksa diamputasi saat perang.”

Ekspresi matanya sama sekali tak minta dibalas kasihan. Sejujurnya aku mengharapkan kesedihan hadir dimatanya, mengemis minta dikasihani sehingga balas budiku akan menjadi lebih mudah nanti.

Pak Lukman yang akan berumur seabad beberapa belasan tahun lagi ini adalah salah satu dari mereka yang merenggut kembali kemerdakaan yang dirampas oleh para penjajah. Sebagai mereka yang berada dibarisan terdepan, tentulah semakin besar pula nyawa yang dipertaruhkan.

Tapi dia justru merasa beruntung. Katanya banyak sekali sanak-saudara dan kerabatnya yang tak hanya kehilangan anggota tubuh, tapi juga harus meregang nyawa. Membuatku merinding karena lagi-lagi tak ada rasa minta dikasihani dari ekspresi matanya, tapi justru semangat membara untuk tetap hidup. Membuatku malu dan ingin menyusut menjadi debu.

Istrinya sudah meninggal sejak lama, hanya beberapa tahun setelah negara ini akhirnya dapat menghirup udara kemerdekaan hasil jerih payah dan teman-teman seperjuangannya. Anak-anaknya telah wafat bahkan sebelum berhasil dilahirkan, karena sang bunda tak sanggup menyuapi beragam makanan dan minuman bergizi agar calon buah hatinya bisa berkembang.

Jasanya kini bahkan tak banyak yang tahu. Sang veteran yang kini rutin mendorong gerobak sayur ini bahkan tak ada yang menjamin hidupnya akan makmur setiap waktu. Anggaran yang turun pun tak cukup untuk membiayai hidupnya berdua bersama satu-satunya saudara jauh yang tersisa. Yang kini juga bekerja sebagai pengantar koran dipagi hari sebelum berangkat sekolah.

Tak terasa sudah lama aku tenggelam dalam ceritanya. Seolah-olah dapat kudengar lolongan penderitaan sebuah perang, sekaligus gelora semangatnya untuk membebaskan anak-cucu mereka dari penjajahan. Sekalipun itu berarti kehilangan kakinya yang dulu sempurna.

Mungkin aku akan semakin tenggelam dalam cerita jika sajah tak ada bunyi ribut diluar sana dan pintu rumah tiba-tiba terbuka.

“Kek ada tawuran lagi!”

***

Pemuda seumuranku itu kini membawa kami bersembunyi setelah terlebih dahulu menyembunyikan gerobak sayur milik kakek. Kami bersembunyi di rumah tetangga yang lebih kokoh dan dipagari pagar besi yang semakin memberikan perasaan terlindungi.

“Sayang sekali tenaga para pemuda dibuang untuk sesuatu yang percuma.” Kata sang kakek setelah akhirnya rela untuk berdiam di dalam rumah setelah pemuda itu membujuk untuk tidak mencoba melerai tawuran diluar sana.

Aku hanya bisa terdiam ketika kakek, si pemuda dan pemilik rumah saling berbicara. Jantungku semakin kencang ketika kutahu dari pemuda itu bahwa tawuran yang terjadi diriuhkan oleh kedua sekolah yang sama beberapa hari sebelumnya. Sekolahku, dan sekolah seseorang yang membuat temanku terbaring di rumah sakit.

“Aku ingin mencoba menjelaskan, tetapi mereka tak mau mendengar. Aku juga sudah meminta maaf kepada dia yang tak sengaja menjadi terluka karena aku. Tapi mereka lagi-lagi tak menghiraukan.” Kata sang pemuda itu yang akhirnya kutahu bernama Raka.

Jadi begitu. Kini kutahu hal-hal yang tak diketahui teman-temanku yang kini sedang beradu emosi diluar sana. Semakin aku merasa bodoh pernah bergabung bersama mereka bahkan tanpa ada alasan yang benar. Atas nama membela teman tapi tanpa dasar sebuah kebenaran.

Raka, yang saat pagi itu telah selesai mengantar koran dan akan menuju ke sekolah tiba-tiba mendapat kabar bahwa penyakit kakek kambuh dan harus segera ditolong. Karena keadaan yang genting Raka pun berbalik arah untuk menolong kakek sebelum keadannya makin parah. Tak disangka Rendi yang melaju kencang datang dari arah berlawanan. Raka yang sedang tidak bisa berpikir tidak menyadarinya karena yang ada dipikirannya saat itu hanyalah Pak Lukman.

Dan diluar sana terdengar sebuah sirine mengaung. Polisi datang meleraikan tawuran untungnya sebelum jatuh korban. Kami pun keluar rumah ketika yakin keadaan sudah aman. Teman-temanku dan teman-teman satu sekolah Raka kini berbaris diawasi polisi.

Kakek yang walaupun berkaki satu maju mendekati polisi untuk memberikan keterangan. Melihatnya bersandingan bersama polisi yang gagah tak membuat kakek terlihatan lemah. Ada aura seorang pejuang dibalik tubuhnya yang ringkih itu.

Dan polisi pun menjelaskan apa yang telah dijelaskan Pak Lukman kepada kedua belah pihak, sekolahku dan sekolah Raka. Teman-temanku kini tertunduk malu karena telah terlebih dahulu mendahulukan emosi tanpa terlebih dahulu mendengarkan.

Kini aku menjadi saksi. Bagaimana seorang kakek tua dapat menopang sebuah kebenaran sekalipun tubuhnya hanya ditopang satu kaki. Bagaimana sebuah keberanian sejati tidak terpengaruh oleh keadaan apapun.

***

Rendi sudah pulang dari rumah sakit. Kini aku dan teman-teman yang lainnya tak lagi mendahulukan emosi dibandingkan logika dan hati kami. Aku selalu menyisihkan waktu untuk membantu kakek menopang kehidupan yang tersisa. Semangatnya boleh diadu dengan siapapun yang memiliki tubuh yang sempurna.

“Semangat untuk hidup dan keberanian untuk membela kebenaran tak tersimpan didalam fisik, tapi tertanam didalam hati.” Kata Pak Lukman suatu hari.

“Jangan biarkan tubuh yang tak sempurna menjadi alasan untuk tidak memiliki hati yang sempurna.” Tambahnya dengan mata yang memancarkan sebuah keberanian yang tak akan pernah padam.

 

Penulis: Turangga Sukandar Putra

Penulis lahir 21 tahun lalu di Cirebon, kini berdomisili di Bandung. Dapat mengenal lebih jauh penulis melalui http://twitter.com/ranggasp dan http://facebook.com/turanggasp

 

Redaktur: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *