Ferdi Story (15-selesai)

Di sebuah gedung yang sangat tinggi, terlihat sepasang pemuda berada di puncak gedung. “Jangan Fer…, ampunin gue, jangan bunuh gue!” Kata seorang pemudi sambil memohon kepada seorang pemuda yaitu Ferdi yang telah siap-siap melemparkannya dari atas gedung.
“Nggak, lo harus mati di tanggan gue! Gue udah nggak tahan ngeliat tingkah laku lo yang sering nasehatin gue.” Kata Ferdi dengan nada ganas. “Ferdi, gue ngelakuin ini semua karena gue sayang sama lo, gue pengen lo menjadi lebih baik Fer. Gue hanya pengen mengangkat derajat lo di depan mata cewek-cewek, bahwa lo bukan seorang cowok playboy dan seorang pecinta sex berat. Karena gue ngerti Fer, lo juga pasti memiliki cinta sejati seperti cowok-cowok lainnya.” Kata seorang pemudi itu sambil menangis.
“Lebih baik, kita urus diri kita masing-masing, dan nggak usah ngurusin orang lain. Gue udah cukup bahagia hidup di dunia gue saat ini, jadi lo nggak perlu ngerubah kehidupan gue lagi.” Kata Ferdi dengan penuh amarah.
“Baiklah Fer, kalau itu yang kamu mau. Aku hanya berharap, setelah kamu membunuhku dan aku mati, kehidupanmu bisa berubah dengan sendirinya.” Pemudi itu memandang Ferdi dengan pandangan perpisahan. Tubuh pemudi itu mulai di angkatt melewati batas pagar penjaga dan siap untuk di lepaskan. “Selamat tinggal Fer,” Tangan Ferdi mulai bergetar memegang kedua tangan pemudi itu yang siap terlepas dari pegangan Ferdi. “Aku doakan, semoga kamu bahagia setelah aku meninggal.” Keringat dingin mengucur dari kedua tangan yang saling berpegangan itu. Pemudi itu telah bergelantungan di telapak tangan Ferdi. “Tidak jangan………..” Tiba-tiba Ferdi berteriak setelah tangan pemudi itu terlepas dari genggamannya karena saking basahnya keringat yang bercucuran. Beberapa saat, tubuh pemudi itu melayang. Namun akhirnya, tubuh pemudi itu menghantam lantai gedung paling bawah dengan keras hingga tubuhnya hancur berkeping-keping. Rasa penyesalan mulai berkecamuk di dada Ferdi. “Nggak…, gue udah membunuhnya, gue udah melakukkan dosa yang teramat besar!” Kata Ferdi sambil menangis ketika melihat tubuh pemudi itu mulai di efakuasi. “Kenapa gue harus membunuhnya, kenapa?” Kata Ferdi diselah tangisnya. “tidak…! Anna…, jangan meninggal!” Teriak Ferdi dari puncak gedung. Tapi sayangnya tidak mungkin pemudi itu masih hidup, karena seluruh tubuhnya telah hancur serta jantungnya telah berantakkan. Ketika itu petugas terus membereskan kepingan tubuh itu. “Tidak…!” Ferdi berteriak sangat keras
***
“Gila, gue bukan pembunuh, gue nggak mau jadi pembunuh! Gue nggak mau Anna meninggal!” Kata Ferdi yang kembali terduduk di kursi perpustakaan dengan setumpuk pekerjaan di depannya sambil nafasnya terengah-engah. “Jam berapa ini?” Ferdi melirik jam di HP-nya. “Apa, jam 10 malam?” Ferdi sangat terkejut. “Berarti gue cukup lama tidurnya. Padahal, perasaan gue Cuma sebentar.”. Untungnya, lampu di ruang itu menyalah. Dan sialnya, Ferdi terkunci di dalamnya. “Gimana ini? Yaudahlah, nunggu takdir aja.” Dia melihat tasnya telah berada di atas meja tempat dia duduk. Nggak jauh dari tempat duduknya, ada sebuah pulpen entah milik siapa. Ferdi mengambil pulpen itu. “Sorry, gue terpaksa ngelakuinnya, gue kehabisan pulpen.” Sepertinya pulpen itu masih baru. “Pasti Anna, yang naro pulpen ini. Yaudah, sebaiknya nanti gue minta penjelasan aja sama dia.” 
Batin Ferdi. Dia kembali melanjutkan pekerjaan itu dengan perasaan sedih. Sejujurnya, dia telah merasa sangat bersalah dengan semua yang dia lakukkan kepada Anna. Mulai dari berperilaku kasar sampai membentaknya hingga membuat hatinya terluka. “Cowok macem apa gue?” Tiba-tiba Ferdi berteriak, mengungkapkan penyesalanya. Dia terus menulis, dengan air mata yang membasahi buku catatannya. Memang, baru kali ini Ferdi benar-benar menangis. Padahal, Ferdi terkenal cowok yang kejam, tidak mau mengerti perasaan orang dan seenaknya memainkan hati para cewek. Sudah banyak mantan pacarnya yang dia bikin patah hati karena sifat ke-play boy-annya dan meninggalkan mereka tanpa suatu kepastian. Tapi kali ini, Ferdi memang sungguh menyesal, dia menyesali karena mantannya yang terakhir ini adalah cewek yang bener-bener baik.
***
Paginya, Aditia berjalan menuju perpustakaan. Ketika itu, sudah pukul setengah tujuh. “Hai Fer…, bangun lo! Lo nginep semalaman yah di sini?” Ferdi mulai mengankat kepalanya kemudian mengangkat tangannya ke atas. “Eh…, lo Dit, iya gue nginep karena gue ketiduran ampe malem di sini.” Kata Ferdi dengan nada bangun tidur sambil menggeliat.
Aditia hanya ketawa geli. “Tuh…, benerkan pulpen gue ketinggalan di sini.” Kata Aditia yang melihat pulpennya tergeletak di atas meja. “Jadi…, itu pulpen lo Dit…?” Kata Ferdi dengan terkejut karena pulpen itulah yang semalam Ferdi pakai untuk menggantikan pulpennya yang habis.
“Ya iyalah, kemaren gue di suruh Pak Ratmanto untuk nganterin tas lo ke perpus. Ketika gue sampe di sini, lo lagi tidur pules banget. Tadinya gue mau bangunin lo karena udah waktunya pulang. Tapi tiba-tiba Pak Ratmanto datang dan gue nggak boleh bangunin lo. Katanya, ‘kasian, orang tidur nggak boleh di ganggu.’. Yaudah, sebelum keluar gue ngambil pulpen gue dari kantong baju gue, lalu iseng-iseng gue nulis puisi cinta buat Indri di buku gue. Eh…, tau-tau pulpennya jadi ketinggalan di sini.” Jelas Aditia panjang lebar sambil duduk di samping Ferdi.
“Jadi…, pulpen ini bukan dari Anna?” Kata Ferdi yang ingin memperjelas kebenaran itu.
“Astagfirullah Al-azim…! Gue ampe lupa.” Aditia langsung membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop surat. Amplop itu pun di berikan ke Ferdi. “Dari siapa ini Dit?” Tanya Ferdi setelah menerima surat itu.
“Baca aja!” Tiba-tiba Aditia menjadi sedih. Ferdi segera merobek amplop itu dan mengambil surat yang ternyata bertinta merah.
 
“Asalamualaikum Fer…, maafin aku kalau selama ini aku telah membuatmu menjadi tersiksa. Tapi semua itu aku lakukkan untuk membuatmu agar lebih baik. Ternyata…, aku tidak mampuh untuk melakukkan semua itu. Dan sekarang aku menyadari, kita memang harus mengatur diri kita sendiri bukan mengatur orang lain. Mulai sekarang, kamu bebas melakukkan apa yang kamu suka. Aku sama sekalih nggak punya hak apa pun atas semua yang ingin kau lakukkan. Selamat tinggal…!” Ferdi melipat kertas itu.
“Surat itu dia berikan, sebelum dia masuk ke dalam pesawat kemarin sore.” Kata Aditia dengan sedih.
“Emang dia mau kemana Dit…?” Tanya Ferdi yang ikut sedih.
“Orang tuanya pindah tugas kekalimantan. Akhirnya, dia pun terpaksa pindah sekolah.” Aditia menjelaskan sambil mengambil kembali surat itu dari Ferdi dan kembali membaca tulisannya. “Dia Cuma berharap, setelah dia pergi…, lo bisa tenang menjalani hidup lo tanpa adanya nasehat dan kritikan dari dia lagi. Dia pun nggak pernah membenci lo walau pun lo udah bertindak kasar sama dia.” Ferdi terus mencerna semua yang dikatakan Aditia.
“Nggak…, nggak mungkin, apa jadinya gue tanpa dia Dit…? Gue pengen memperbaiki diri, gue butuh bimbingannya dit…!” Kata Ferdi sambil menangis.
“Fer…, lo udah dewasa, dan lo bukan Anak kecil lagi. Seharusnya lo mampuh ngebawa diri lo sendiri. Pasti, kalau ada kemauan, lo bisa kok ngerubah diri lo sendiri menjadi lebih baik.” Mereka saling berpelukan.
“Gue…, gue temen lo, sahabat dekat lo, akan selalu ngedukung lo dan terus mengarahkan lo. Lo jangan segan-segan minta bantuan gue Fer…!” Aditia menangis di dada Ferdi. Mereka pun akhirnya saling bertangisan.
“Makasih Dit…, makasih lo masih mau terus menjaga persahabatan kita.” Ferdi mengelap air matanya dengan sapu tangan miliknya.
Bel masuk pun berbunyi, Ferdi dan Aditia keluar dari perpustakaan. Untungnya, seragam yang digunakan hari itu sama dengan kemarin, sehingga tidak terlalu bermasalah untuk Ferdi.
***
“Nih Pak rangkumannya!” Kata Ferdi ketika dia bertemu Pak Ratmanto di kantor guru. Pak Ratmanto mulai memeriksanya, dan langsung terkejut. “Ckckckck…, kamu foto kopi apa ngerangkum? Wah-wah-wah, rajin yah kamu!” Kata Pak Ratmanto setelah melihat rangkuman Ferdi yang sangat lengkap. Dia pun memberikan paraf di buku itu dan menulis komentar “Kamu adalah anak terajin sehingga kamu rela menginap di sekolah untuk mencatat semua materi yang ditugaskan. Padahal, kamu disuruh merangkum bukan memfoto kopi.” Ferdi hanya tersenyum membaca komentar itu.
“Fer…, gimana semalam uji nyali di perpus, dapet penampakan berapa?” Kata sekelompok kecil teman-teman sekelasnya yang duduk di depan pintu kelas, ketika Ferdi sampai di sana.
Ferdi hanya terdiam dan melanjutkan langkahnya ke dalam kelas. “Ternyata benar, Anna ninggalin gue.” Kata Ferdi ketika melihat meja yang di tempati Anna kosong.
“Selamat pagi…,” Bu Siska memasuki kelas Ferdi dengan membawa setumpuk artikel. Murid-murid mulai menempati mejanya masing-masing.
“Hari ini kita tagihan!” Kata Bu Siska sambil meletakan tumpukan artikel di meja guru. Serentak murid-murid menjadi gaduh dan melancarkan protesnya. “Tagihan mulu bu…!” Jawab mereka serentak. Bu Siska hanya terdiam sedangkan para siswa/siswi terus gaduh. “Stop-stop-stop! Yang nggak mau ulangan keluar aja!” Kata Bu Siska sok tegas. Murid-murid hanya bersorak.
Akhirnya, artikel itu pun dibagikan kepada seluruh Siswa/siswi di kelas itu. Bu Siska mulai menulis soal di papan tulis yang  isinya:“1. Sebutkan lima unsur kebudayaan yang ada di artikel tersebut lalu jelaskan dan berikan contohnya! 2. Diskripsikan kembali isi artikel tersebut dengan mengandung istilah-istilah sosiologi.”. Hanya itu soalnya.
“Harus lima poin yah, nggak boleh kurang!” Kata Bu Siska sambil menaruh sepidol papan tulis di tempatnya. Seluruh siswa/siswi pun mulai mengerjakan soal tersebut. Biasa, mereka menggunakan nalar mereka untuk mengerjakan setiap tugas Bu Siska karena mereka selalu teringat dengan kalimat Bu Siska yang berbunyi:”Nalar dong nalar! Kalau nggak bisa nalar mendingan keluar aja!”.
“Kenapa kamu, kayaknya sedih banget?” Tanya Bu Siska ketika Ferdi sedang asyik membaca artikelnya. “Oh…, ibu tahu kok! Yaudah nggak usah difikirin, toh setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan kok Fer…” Lanjut Bu Siska sambil menunjuk meja kosong yang seharusnya ditempati Anna.
“Tapikan nggak secepat ini Bu…, saya masih butuh dia!” Ferdi menanggapi dengan nada sedih.
“Lagian sih…, dia kamu putusin! Seharusnya sebagai manusia yang memiliki nilai dan norma, harus bener-bener berfikir dua kali untuk melakukkan sesuatu, bukan mengandalkan emosih doang!” Kata Bu Siska yang entah gosip itu kapan mendarat di telinganya.
“Anna itu memang wanita yang benar-benar baik, susah mencari wanita seperti dia. Sabar, bertanggung jawab, selalu berfikir dengan matang jika mau melakukkan sesuatu, dan tepat kalau mengambil keputusan.” Lanjut Bu Siska dengan nada menasehati. “Kok Ibu bisa bilang begitu?” Kata Ferdi sambil menulis jawaban ulangan versi dia.
“Ibukan Bibinya!” Tiba-tiba, Ferdi sangat terkejut mendengar itu. “Anna sering cerita kepada Ibu tentang hubungan kalian. Hingga terakhir Ibu mendengar ceritanya kalian udah putusan. Waktu itu Anna menempatkan dirinya sebagai orang yang paling bersalah. Dia hanya bercerita, bahwa dia sama sekalih tak bermaksud memaki-maki orang tuamu serta menghancurkan semua koleksi-koleksimu. Semua itu diluar kesadarannya! Bahkan sebelumnya, dia sama sekalih tidak tahu kalau kamu mempunyai itu semua.” Jelas Bu Siska sambil mengawasi seluruh siswa/siswi yang mulai mengeluarkan gelagat aneh.
“Percuma kalian nyontek, hanya orang yang bisa menjalankan nalarnya yang bisa menjawab soal-soal Ibu.” Kata Bu Siska kepada Rafi dan gengnya.
“Itu semua udah berlalu. Saya udah menyadari, apa yang Anna lakukkan tidak ada yang salah. Memang, orang tua sayalah yang kurang mendidik saya. Mereka hanya sibuk dengan pekerjaan mereka.” Kata Ferdi dengan perasaan bersalah.
***
“Udah Fer…, nggak usah difikirin terus. Walau pun lo nggak putusin dia, dia tetep pergi kok. Dia udah bilang jauh-jauh hari sih tentang kepindahannya ke gue, namun waktu itu belum pasti. Nah…, baru kemarin deh mendadak Ayahnya menyuruh dia sekeluarga pindah ke kalimantan dan menetaplah di sanah.” Kata Aditia ketika mereka habis melaksanakan shalat Duha untuk yang pertama kalinya bagi Ferdi selama dia hidup.
“Yah tapi Dit…, kan lama-lama pasti gue kangen sama dia.” Kata Ferdi yang telah selesai mengikat tali sepatunya.
“Kalau itu sih gampang Fer…, kita berdoa aja biar di sanah ada telpon atau minimal alamat surat.” Aditia pun berdiri. “OK Fer…, gitu aja yah…, nanti kita lanjutin lagi ngobrolnya abis Shalat Juhur berjama’ah.” Kata Aditia sambil menyalami tangan Ferdi. Mereka pun berpisah di depan mushalah itu.
***
“Tumben lo Fer…., sekarang megangnya Al-qur’an, biasanya juga komik begituan mulu yang lo baca.” Kata Susan ketika melihat Adiknya sedang serius membaca Al-qur’an Di kamarnya.
“Liat dong Kak kamar Ferdi sekarang, background-nya apaan? Nggak cocok kalau Ferdi masih megang begituan kak!” Kata Ferdi dengan nada mencari alasan.
“Yaudah…, terserah lo deh, tapi yang jelas Kakak seneng banget ngeliat lo begini Fer.” Kata Susan dengan perasaan senang.
“Semoga dan semoga deh.” Kata Ferdi sambil melanjutkan membacanya.
Susan pun pergi dari kamar Ferdi.
***
Malam harinya. Ferdi beserta keluarganya sedang melakukkan makan malam.
“Fer…, doain Yah, biar infestor baru kita mau menanamkan modalnya di perusahaan kita.” Kata Sang Papah sambil mengunyah makanan.
“Namanya siapa Pah…?” Kata Ferdi sambil menggigit ayam gorengnya.
“Pak Burhan Santoso. Dia seorang pengusaha ternama di daerah kalimantan.” Kata Pak Tanto dengan nada tidak percaya.
“Coba Pah lihat fotonya!” Kata Ferdi sambil menuangkan saos ke ayam gorengnya.
“Nih fotonya…, siapa sangka orang yang berpenampilan seperti begini adalah seorang direktur utama marangkap sebagai pemilik perusahaan.” Pak Tanto menyerahkan Hp-nya ke Ferdi. “Hmmmm…, sepertinya beliau cukup berwibawa. Memang sih Pah, hati manusia itu susah ditebak. Perasaan…, Ferdi pernah kenal deh orang ini.” Kata Ferdi setelah melihat foto calon infestor itu melalui HP Pak Tanto.
“Yah-yah…, Papah juga sering melihatnya. Biar jelasnya, kamu bisa tahu semuanya siapa dia ketika kita menghadiri acara penandatanganan kontrak kerja sama dalam waktu dekat-dekat ini.” Kata Pak Tanto dengan Nada menyembunyikan sesuatu.
“Papah harap, kamu bisa bersabar.” Lanjut Pak Tanto sambil membuka kulit pisang sebagai pencuci mulut.
“Yaudah Pah…, semoga berhasil deh.” Kata Ferdi yang hampir menyudahi makan malemnya.
***
Tidak terasa, satu minggu telah berlalu. Sejak kepergian Anna, sikap Ferdi semakin berubah. Dia semakin rajin belajar, tidak menjadi orang yang emosian, dan tentunya semakin rajin beribadah. Walau bagai mana pun, Ferdi masih mengharapkan Anna kembali ke sisinya. “Yah…, kita juga berharap demikian.” Kata Gustina mewakili kedua teman dekatnya Anna kepada Ferdi ketika mereka sedang makan di kantin.
“Eh…, ngomong-ngomong siapa entar yang giliran bayar makanan ini?” Kata Alia kepada kedua temannya.
“Biar gue aja yang bayar!” Kata Ferdi menjawab pertanyaan Tania.
“Serius lo? Kirain sejak Anna pergi, lo nggak mau dekat lagi sama kita-kita.” Kata Tania sambil meminum Pop-Icenya.
“Ya enggak lah…, kalian tetap jadi temen gue sampai kapan pun.” Kata Ferdi sambil menikmati syomainya. Mereka cukup senang kepada sikap Ferdi, karena ternyata Ferdi terus tetap memperhatikan mereka. Tiba-tiba, suara SMS berbunyi dari HP Ferdi. Dia segera membukanya lalu membaca isi SMS itu.
“Dari siapa Fer?” Tanya Gustina. “Bokap, udah nungguin di depan gerbang.” Kata Ferdi sambil bersiap-siap untuk meninggalkan kantin. “Jadi, lo izin pulang cepet hari ini?” Tanya Tania.
“Yaps…, gue harus ngadirin acara kantornya Bokap.” Ferdi mengeluarkan uang sebesar Rp 50.000,00. “Nih…, kembalinya buat lo bertiga aja.” Uang itu di berikan ke Alia. “Serius lo Fer?” Tanya Alia yang menerima uang itu.
“Ya iyalah…, udah yah, gue cabut!”. Ferdi langsung pergi meninggalkan kantin.
“Thanks yah Fer!” Kata Tania dengan nada agak meninggi karena Ferdi sudah cukup jauh dari mereka.
“Jangan-jangan?” Bisik Alia ke Gustina. “Bisa jadi sih Li, kita nggak boleh nyia-nyiain momen penting ini!” Kata Gustina juga sambil berbisik.
“Gimana kalau kita libatkan Aditia?” Usul Tania yang mengetahui maksud mereka.
“Boleh-boleh! Itu bisa tambah seru!” Kata Gustina setuju. Mereka pun membayar semua yang mereka pesan lalu pergi meninggalkan kantin.
”Kok kita pulang dulu sih Pah?” Tanya Ferdi dengan nada bingung. “Yah…, kamu harus ganti baju dululah…!” Kata Pak Tanto sambil berbelok ke arah kompleks perumahannya. “Kamu harus memakai baju seresmi mungkin. Karena acaranya bukan acara sembarangan. Papah udah mengundang para pejabat penting.” Kata Pak Tanto sambil menasehati Ferdi yang hendak turun dari mobil itu.
“Beres Pah…!” Kata Ferdi penuh semangat sambil berjalan memasuki rumahnya. Dia pun memakai jas terkeren yang dia punyai serta celana jins warna biru. Tidak lupa, dia menggunakan topi yang pin-nya bertuliskan “Ferdi, seorang playboy nomor satu…”
Dia pun menuangkan minyak wangi “Maskulin” ke seluruh permukaan pakaian yang dia gunakan.
“Kamu ini apa-apaan sih?” Kata Pak Tanto cukup jengkel setelah melihat Ferdi memakai topi itu. “Tapikan…, topi inikan keren Pah! Penampilan Ferdi bisa semakin maco gitu.” Kata Ferdi sambil menutup pintu depan mobil.
“Ini bukan pesta Nak, ini tuh acara resmi! Buka topimu, bikin malu Papah aja!” Kata Pak Tanto sambil menjalankan mobilnya meninggalkan rumah. Ferdi pun membuka topinya dan melemparnya ke kursi belakang.
Beberapa jam kemudian, mereka pun sampai di sebuah gedung yang cukup mewah.
Ternyata tamu undangannya adalah para pengusaha yang umurnya jauh di atas Ferdi. “Papah macem-macem aja deh, Ferdi malu banget nih! Kok nggak ada satu pun yang seumuran Ferdi?” Pak Tanto hanya tersenyum. “Tenang…, Papah nggak mungkin ngecewakan kamu!” Kata Pak Tanto dengan nada santai. Ferdi dan Pak Tanto pun duduk di kursi kehormatan.
“Mana si pengusaha itu?” Tanya Ferdi sambil menebarkan pandang keseluruh tamu undangan. “Tuh…!” Pak Tanto menunjuk seorang peria yang memakai kemeja kotak-kotak dan celana panjang polos. Ferdi memandangi wajahnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. “Ah…, nih orang mau main-main kalih Pah!” Kata Ferdi dengan sangsi.
“SSST…, jangan begitu kamu, tolong jaga sikapmu!” Kata Pak Tanto sambil menyenggol kaki Ferdi. “Baiklah…, acara berikutnya adalah sambutan-sambutan. Sambutan pertama akan disampaikan oleh Pak Sutanto, pemilik jaringan rumah sakit terluas di Indonesia. Kemudian dilanjutkan oleh Sang Infestor kita Bapak Burhan Santoso. Untuk Pak Sutanto, kami persilahkan!” Kata pembawa acara itu. Ternyata ketika Ferdi dan Pak Tanto dateng, acara telah dimulai. Paktanto pun naik ke atas podium dengan wajah yang tenang.
“Asalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatu.” Serentak seluruh hadirin menjawab salam Pak Tanto.
“Al-hamdulillah, pada kesempatan ini kita semua masih diberikan kesehatan, sehingga kita semua masih bisa menghadiri momen yang sangat penting ini. Seperti yang anda ketahui saat ini, dalam acara ini, saya akan menandatangani kontrak kerja sama dengan Infestor kita Bapak Burhan Santoso, mohon Pak naik ke atas podium!” Pak Burhan pun segera naik ke podium. Penonton pun memberikan tepuk tangan yang cukup meriah.
“Maaf sebelumnya kalau saya telah lancang memanggil anda ke atas podium ini.” Pak Burhan hanya tersenyum mendengar perkatan Pak Tanto. “Saya berharap, dengan terjalinnya kerja sama ini, kita bisa meningkatkan silahturahmi kita dan bisa mengembangkan usaha kita menjadi lebih baik.” Kata Pak Tanto sambil menyalami tangan Pak Burhan.
“Baiklah, sekian sambutan dari saya, kurang lebihnya mohon Maaf. Wasalamualaikum!” Pak Tanto pun menyudahi sambutannya. Seluruh undangan kembali bertepuk tangan.
Kemudian, Pak Burhan pun menyampaikan sambutannya. “Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.” Para undangan menjawab salam Pak Burhan.
“Yah…, benar sekalih, saya akan melakukkan kerja sama Dengan Pak Tanto. Sebenarnya hal ini sudah lama kami rencanakan, Cuma sepertinya momen yang tepat baru sekarang. Saya pun berharap demikian, kita bisa mengambangkan kerja sama ini dengan meningkatkan kualitas kinerja di perusahaan kita ini. Kami hanya minta dari anda semua, doakanlah kami agar kerja sama ini dapat berjalan dengan lancar. Bukan begitu Pak Tanto?” Pak Burhan menoleh ke arah Pak Tanto yang masih berdiri disampingnya. “Yah…, betul sekalih semua yang dikatakan Pak Burhan. Karena tanpa Anda semua, apalah artinya kerja sama ini.” Kata Pak Tanto menanggapi.
“Baiklah, itu saja yang mampuh saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf, Wasalamualaikum!” Kembali para undangan menjawab salam Pak Burhan sambil bertepuk tangan dengan meriah.
Acara berikutnya adalah acara puncak, dimana kedua pengusaha itu akan menandatangani kontrak kerja sama di antara mereka.
“Saya mohon, kepada Bapak Wijaya Septanto, direktur dari Wijaya Food Center, turut menyaksikan penandatanganan ini!” Kata Pak Tanto. Dengan bantuan asistennya, Pak Wijaya pun menaiki podium itu.
“seperti yang anda ketahui, Pak Wijaya ini adalah pemegang saham yang cukup besar di perusahan saya. Walau pun dia seorang tunanetra, saya sangat bangga dengan beliau. Karena beliau memiliki intelektual yang tinggi dalam mengelola perusahaannya.” Kata Pak Tanto sambil menggandeng Pak Wijaya dan mensejajarkannya di antara Pak burhan dan Dia sendiri. Pak Wijaya hanya tersenyum mendengar pujian Pak Tanto.
“Berikutnya adalah Anak saya, Ferdi setiadi. Calon penerus kepemimpinan di dalam perusahaan saya.” Ferdi pun menaiki podium dan mensejajarkan diri di sebelah kiri Pak Tanto.
“Ada yang dipanggil lagi Pak?” Kata Pak Burhan kepada Pak Tanto.
“Yang terakhir adalah, pengecara saya sekali gus kuasa hukum saya. Di mohon Bapak Haris Sulaiman untuk naik ke atas podium!” Kata Pak Tanto dengan penuh semangat.
 “Baik, saya hanya memanggil satu orang dari pihak saya, yaitu orang yang sangat berharga di mata saya. Dialah Anak saya, saya sangat bersyukur memilikinya karena dia cukup berkompeten nantinya dalam perusahaan saya. Silahkan Nak!” Pak Burhan menunjuk seorang wanita yang sebelumnya Ferdi tidak menyadari kehadirannya. Dia cukup cantik, dan sepertinya masih sebaya dengan Ferdi. “Silahkan memperkenalkan diri dulu nak!” Kata Pak Burhan setelah wanita itu telah berdiri sejajar di kanannya. “Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Perkenalkan, saya Siti Nurhasanah.” Waktu itu, jantung Ferdi langsung berdeguk kencang. Dia tidak menyangka, kalau semuanya bisa seperti ini. “Nggak…, gue harus mampuh ngendaliin diri gue!” Batin Ferdi yang ketika itu batinnya terus mendorong untuk memeluk Anna dan mengucapkan kata maaf. “Baiklah, langsung saja kita tanda tangani surat perjanjian ini!” Kuasa hukum Pak Tanto pun memberikan map surat itu dan meletakkan sebuah meja kecil di depan Pak Tanto. Pak Burhan pun segera membuka dan membaca surat itu dengan telitih. “Baik Pak, saya menyetujuinya.” Kata Pak Burhan kepada Pak Tanto setelah beliau membaca dokumen itu dengan seksama.
“Dengan mengucap Bismillah, kami akan menandatangani dokumen ini!” Sementara kedua belah pihak menandatangani dokumen tersebut, Anna dan Ferdi hanya saling pandang di antara mereka. Ferdi melempar senyum kepada Anna dan Anna pun membalasnya. Tiba-tiba, Ferdi mencucurkan air matanya. Anna segera melempar sapu tangannya ke arah Ferdi dan berkata dalam bahasa isyarat, “jangan nangis!” Ferdi segera mengelap air matanya. “alhamdulillah, kami telah resmi melakukkan kerja sama.” Kata Pak Tanto sambil menutup map dokument itu dan kembali menyerahkan berkas itu ke kuasa hukumnya.
“Sebelum ditutup, tampaknya Anak kita mau menyampaikan sesuatu. Kalau gitu silahkan Nak!” Pak Burhan memberikan microphone itu ke Ferdi.
“Saya…, saya merasa bersyukur, karena hari ini Papah saya berhasil melakukkan kontrak kerja sama yang baru dengan Pak Burhan. Yang membuat saya semakin terharu…, Ternyata,” Ferdi berusaha sibisa mungkin untuk menahan tangisnya. “Kedua belah pihak itu…,” Ferdi terus berjuang menahan tangisnya. “Telah mempertemukan saya kembali dengannya, Orang…” Ferdi sudah tidak kuat menahan tangisnya, dia pun hanya sanggup menunjuk Anna, sebagai orang yang dimaksud. Pak Tanto mau pun Pak Burhan hanya tersenyum. “Fer…, nggak ada yang harus ditangisi. Kita masih terus bersama kok!” Kata Anna dengan nada lembut. Tiba-tiba, Pak Tanto memberikan sebuah kotak perhiasan berisi cincin ke Ferdi yang dulu pernah dibawanya kerumah Anna. “Kasih ini!” Bisik Pak Tanto.
“Ann…, kita balikan yah! Aku sangat membutuhkanmu.” Kata Ferdi tanpa microphone di sela tangis yang sebisa mungkin terus dia tahan. “Pakailah ini, jika kamu setuju.” Lanjut Ferdi sambil menyerahkan kotak perhiasan itu ke Anna.
Anna hanya termenung, sementara para undangan terus memperhatikan mereka dengan seksama. “Fer…, aku nggak bisa, aku nggak mau kalau nantinya aku kembali membebanimu.” Kata Anna yang juga mulai mengeluarkan air matanya sambil memandangi isi kotak itu.
“Nggak Ann…, nggak ada lagi beban untukku. Aku akan menderita, jika kamu memilih untuk menjauh. Aku benar-benar butuh kamu!” Kata Ferdi dengan memohon. “Tolonglah aku Ann! Aku sangat menyintamu!” Lanjut Ferdi.
Suasana tegang pun terjadi, Anna terus berfikir apakah dia harus terima atau tidak. Akhirnya dia tahu apa yang harus dia lakukkan. “Kamu janji mau memperbaiki diri?” Tanya Anna sebelum mengambil keputusan itu.
“Yah…, aku akan terus berusaha.” Kata Ferdi dengan mantap. Perlahan, Anna mengambil cincin itu dari kotaknya dan memasukan cincin itu ke jarinya. Cincin itu sangat cocok di jari manisnya, dia terlihat sangat pantas menggunakannya. Tepuk tangan pun cukup meriah dari para undangan yang hadir di tempat itu.
“Saya… Cukup terharu, saya tidak menyangka kalau kondisinya bisa seharu ini.” Kata Pak Burhan kepada seluruh undangan.
“Anak anda telah banyak membantu keluarga kami hususnya kepada Ferdi Anak saya. Maka dalam kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah Anak saya untuk memberikan cintanya kepada Anak Anda.” Kata Pak Tanto dengan nada memohon.
“Yah-yah, kami mengerti. Kami sebagai orang tua, hanya mampuh berdoa agar cinta mereka abadi.” Jelas Pak Burhan. “Baiklah, demikian acara puncak ini, kami berdua mohon maaf jika dalam penyelenggaraan acara ini masih banyak kekurangan di sana-sini. Untuk para undangan, dipersilahkan menikmati makan siang yang telah kami sediakan di meja hidang. Wasalamualaikum!” Mereka semua pun menuruni podium. Tampak asisten Pak Wijaya Septanto mengambilkan makan siang untuk  boss-nya.
“Ann…, kenapa sih kamu harus pindah sekolah?” Tanya Ferdi di salah satu meja di gedung itu. “Pindah sekolah kemana Fer…?” Anna menjadi heran. “Aku tetap sekolah di sekolah kita kok.” Lanjut Anna. Ferdi pun bingung, “Terus, selama seminggu ini kamu kemana dong, bukannya kamu kekalimantan?” Kata Ferdi penasaran. “yah…, aku ke kalimantan. Aku melayat Nenekku yang meninggal seminggu yang lalu. Sorry, aku nggak bisa kasih tahu kamu. Soalnya, perginya mendadak.” Kata Anna sambil menikmati makan siangnya. “Hai…,” Kata Alia, Tania, Gustina, Dan Aditia bersamaan. “Selamat yah Fer…,” kata Aditia dengan muka ceriah sambil menyalami tangan Ferdi. “Selamat yah Ann!” Kata Gustina yang langsung diikuti Aditia, Alia, mau pun Tania. “Ternyata rencana kita berhasil untuk menyatukan kalian berdua.” Kata Aditia dengan perasaan puas.
“Jadi…,“ Kata Ferdi setengah tidak percaya. “Yah…, kami sengaja nggak mengatakan sebenarnya ke lo tentang kepergian Anna. Surat yang waktu itu di tunjukin ke lo…, sebenarnya kami yang membuat.” Kata Gustina dengan penuh percaya diri. Muka Ferdi pun memerah, sedangkan Anna hanya tersenyum.
“Kenapa Fer…, lo marah lagi? Udahlah, ceritanya udah mau abis nih, masa marah melulu.” Kata Aditia sambil setengah tertawa. “Siapa yang mau marah, gue Cuma terharu dengan kalian. Kami yang pacaran, kok kalian yang jadi repot.” Kata Ferdi dengan nada terharu. Mereka hanya tertawa.
“Oh-yah…, Indri mana? Nggak ikut ke sini?” Tanya Ferdi.
“Apeh lo nanyain gue hah?” Tiba-tiba Indri muncul di tengah-tengah mereka dengan wajah jutek.
“Nggak…, gue pengen minta maaf sama lo atas kejadian beberapa waktu yang lalu.” Kata Ferdi sambil mengulurkan tangannya ke Indri.
“Udah basi, kadarluarsa tau…! Gue nggak bisa maafin lo!” Kata Indri tambah jutek.
“Hlo jangan gitu dong say…! Sebagai manusiakan pasti mempunyai rasa hilap.” Kata Aditia menasehati.
“Gue sakit hati Dit, hati gue terasa teriris-iris!” Kata Indri dengan nada jengkel.
“Yaudah… Gini aja deh…, lo mau apaan? Jalan-jalan di mall atau ke dufan?” Kata Ferdi dengan merayu.
“Nggak…, udah bosen!” Kata Indri cemberut.
“Gimana kalau ramai-ramai kita nonton ke 21. Ada filem bagus lo…!” Kata Ferdi yang terus merayu Indri.
“Sama aja kalau make uang sendiri-sendiri.” Indri masih cemberut.
“Siapa bilang? Gue yang bayarin kok!” Kata Ferdi masih belum menyerah untuk merayu Indri.
Tampaknya rayuan Ferdi mulai menampakkan hasil yang lumayan. Indri mulai tersenyum.
“Kalau gitu…, mau dong maafin gue?” Kata Ferdi yang harapannya mulai tumbuh untuk diterima maafnya oleh Indri.
“Siapa bilang…! Nggak semudah itu Fer… Sorry yeh!” Kata Indri yang kembali jutek. Ferdi pun menyerah, dia pasrah dengan kenyataan yang terjadi.
“Fer…, kamu dan teman-temanmu pulang duluan yah! Papah dan Pak Burhan mau ngadain rapat dulu.” Kata Pak Tanto sambil menyerahkan konci mobilnya ke Ferdi.
“Kamu pulang bareng mereka yah Nak!” Perintah Pak Burhan kepada Anna. “Baik Yah…,” Anna menyetujuinya.
Akhirnya, setelah mereka menghabiskan makan siangnya, mereka pun pulang bersama.
 
Di perjalanan pulang, Ferdi lagi-lagi mencoba keisengannya. Dia menyetel lagu “Asoy” di cdplayer mobilnya dengan volume yang keras. “Kenapa, kalian kok tutup kuping? Ini tuh lagu yang sangat bersejarah buat gue.” Kata Ferdi dengan tersenyum kepada mereka semua. “Gila aja lo, nyetel lagu gituan keras-keras, kuping gue budek!” Kata Aditia sambil berteriak mengatasi bisingnya lagu itu. Anna langsung menekan tombol “Stop” Pada tombol cdplayer itu. Lalu menekan tombol “Eject” Dan mengeluarkan kasetnya.
“Lo kok di matiin Fer…? Gue Cuma minta lagunya dikecilin doang! Soalnya itu lagu faforit gue juga.”
“Bukan gue kok yang matiin, nih…, cewek gue yang matiin.”. Ternyata Anna juga ikut-ikutan iseng, dia kembali menyetel lagu itu. Tapi beberapa saat kemudian. “Bletak!” Terdengar suara ledakan kecil di dalam cdplayer itu. Anna sendiri pun kaget. “Yah… Kasetnya patah. Gimana dong Fer…?” Kata Anna setelah kembali meng-eject CD player itu dan melihat kaset CD yang telah menjadi terbelah dua di laci cdplayer tersebut. “Yaudah…, mau diapain lagi, buang aja say! Gampanglah, gue bisa beli lagi.” Kata Ferdi dengan nada bercanda.
“Bye My last colection!” Batin Ferdi ketika Anna membuang kepingan CD itu keluar jendela mobil. Biar gimana pun, itu adalah koleksi terakhirnya yang dia miliki sebelum peristiwa yang menyakitkan itu terjadi.
“Fer…, buku yang aku pegang ikut kebuang!” Kata Anna dengan Panik.
“Hlo…, kok bisa begitu sih say?” Ferdi menjadi heran.
“Nggak tau…, tadi aku buang kaset itu sambil bengong. Eh…, ternyata bukuku ikut terbuang say. Kalau kamu sayang aku, tolong ambilin dong!” Kata Anna dengan manja.
Ferdi meminggirkan mobilnya untuk bersiap mengambil buku itu.
“Yaudah Fer, gue aja yang ambilin!” Kata Aditia.
“Nggak usah say, biar Ferdi aja, masak sih ngambilin buku gitu doang nggak mau.” Kata Indri masih dengan khas juteknya.
Ferdi pun akhirnya turun. Tapi kemudian, Indri langsung menggantikan posisi Ferdi dan membawa kabur mobil itu. “Dah…!” Kata Indri dengan nada mengejek sambil melarikan mobil Ferdi.
“Woy…, jangan bawa kabur mobil gue…! Tungguin gue….!” Teriak Ferdi yang ternyata memang dia dikerjain sama Anna dan teman-temannya. Dia pun berlari mengejar mereka walau pun percuma saja. Dia nggak menyadari kalau di depannya ada got karena matanya terus memandang ke arah mobilnya yang makin menjauh. Sehingga dia pun kecebur di dalamnya dan basah kuyup berlumuran air yang bercampur lumpur got. Untung tidak jauh dari got itu, ada jasa pencucian mobil.
Dengan menghilangkan rasa malu, Ferdi pun minta dibersihin sama karyawan pencuci mobil  tersebut.
***Suatu hari di ruang kerja yang penuh dengan arsip-arsip perusahaan, Pak Wijaya (Seorang Presiden direktur Food Center) sedang menikmati segelas kopi susu dan sepiring aneka gorengan. Waktu itu memang sedang jam istirahat siang.
 Tiba-tiba, telpon di ruangan itu berdering.
 “Selamat siang Pak!” Kata penelepon yang ternyata seorang resepsionis kantor.
“Yah, siang! Ada apa?” Tanya Pak Wijaya kepada resepsionis itu.
“Ada dua orang yang mau bertemu dengan Bapak dan ingin sedikit mewawancarai Bapak.”
“Yah…, suru datang ke ruangan saya!” Pak Wijaya menutup telpon itu. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu diketuk. Pak Wijaya menyuruh mereka masuk. Mereka di dampingi oleh asisten Pak Wijaya.
“Saya Mega, mahasiswi jurusan ekonomi, sedang dalam masa skripsi. Saya berniat untuk mewawancarai anda untuk bahan skripsi saya. Bisa saya minta waktunya?” Tanya wanita itu.
“Yah, bisa! Kebetulan saya punya waktu banyak untuk itu.” Kata Pak Wijaya dengan ramah. Pak Wijaya mempersilahkan mega dan rekannya duduk. Terdengar Mega juga berbisik kepada temannya yang intinya menyuruh temannya duduk juga.
“Gini, saya sedang membahas tentang seorang pengusaha penyandang cacat yang sukses menjalani usahanya. Ternyata, saya benar-benar mengacungkan jempol kepada anda. Saya salut, karena…, anda adalah salah satu tamu kehormatan dalam acara penandatanganan kerja sama antara Pak Sutanto dan Pak Burhan.” Kata mega sambil membuka map kerjanya.
Pak Wijaya hanya tersenyum. “Nggak ada yang spesial kok! Pak Sutanto memang dari dulu adalah teman dekat saya. Kita dulu sesma kok. Sempat sekampus pula. Cuma…, pas kuliah dia ngambil fakultas kedokteran dan saya ngambil fakultas ekonomi. Akhirnya, setelah wisuda kita membangun perusahaan mandiri berdasarkan bidang kita masing-masing.”
“Oh…, kenapa anda berpotensi untuk mendirikan Wijaya Food Center, bukan panti pijat, sekolah musik atau pun sekolah pengembang dakwah, mau pun yayasan sosial untuk kesejahteraan penyandang cacat seperti anda? Karena yang saya tahu, tunanetra hanya bisa melakukkan itu.” Tanya Mega. Pak Wijaya hanya tersenyum mendengarnya.
“Yah…, anda benar! Dan semua orang boleh bilang seperti itu. Tapi jangan salah, teman yang sependeritaan dengan saya bisa bulak-balik ke Amrik kok! Walau saya seorang pengusaha sukses, saya belum pernah tuh ke sanah karena memang belum ada tujuan untuk ke sanah. Masalah saya nggak memilih untuk membuka sekolah musik, panti pijat, pendidikan pengembangan dakwah, atau pun yayasan sosial, ya karena mereka sejak dari dulu sudah ada. Sayang-sayangkan, kalau seorang tunanetra hanya berkutat di dalam bidang itu sajah.” Pak Wijaya berhenti sejenak. “Dan…, kenapa saya mendirikan Food Center? Sebenarnya persoalannya sangat sederhana. Saya adalah orang yang benar-benar menyukai aneka jenis makanan. Saya juga seorang pengkolektor resep masakan-masakan terkenal, ya walau pun saya sendiri tidak bisa memasaknya. Tapi saya terus yakin, suatu saat ada yang berminat dengan koleksi resep masakan saya untuk dicoba kelezatannya.” Tegas Pak Tanto dengan penuh ceriah. Mega semakin berdecak kagum. Tapi rekannya hanya terdiam saja. “Terus, siapa yang menjadi motifator bagi kemajuan usaha anda?” Tanya Wanita itu dengan penuh minat.
“Sebenarnya…, tanpa motifasi dari siapa pun, saya memang sudah bercita-cita mendirikan sebuah rumah makan yang memiliki cita rasa yang tinggi. Namun Tuhan terus mengasih jalan kepada saya, untuk terus mengembangkan Food Center menjadi lebih baik. Akhirnya dengan bantuan teman-teman yaitu Koris sanjaya (seorang programmer) serta Haryanto Yuspordo (pembuat mesin pemesanan mandiri), akhirnya Food Center pun mulai disukai banyak orang karena kecanggihan tekhnologinya dalam memesan makanan. Buat orang yang super sibuk, Tinggal kirim SMS premium ke kami, makanan pun datang ke tempat tujuan.” Kata Pak Wijaya dengan penuh semangat.
“OK…, saya rasa cukup menarik untuk dibicarakan. Terus, ngomong-ngomong apa kegiatan anda selain bergelut di dunia usaha Food Center?” Tanya Mega. Pak Wijaya menyeruput kopi susunya dan mengambil sebuah gorengan dari piringnya. “Oh-yah, silahkan cicipi gorengannya dulu! Kebetulan, saya penggemar berat gorengan.“ Kata Pak Wijaya sambil menyodorkan sepiring gorengan kepada mereka. Mega mengambil tempe goreng lalu memakanya. Tetapi rekannya tidak mengambil apa pun dari piring itu. Seorang office boy datang ke ruangan itu dan membawakan tiga botol cocacola serta sekotak cake coklat mewah. Dia meletakkan semua itu di depan mereka. “Silahkan neng…,” Kata ofice boy itu. “Yampun…, kami jadi merepotkan yah?” Kata mega dengan tersenyum.
“Enggak kok, ini sudah kewajiban kami untuk melayani anda sebaik mungkin.” Kata Pak Wijaya dengan ramah sambil ikut memakan kue itu.
Sambil makan, Pak Wijaya menjawab pertanyaan yang sempat tertunda.
“Yah…, seperti yang anda ketahui dan seperti yang anda baru saja lihat, saya telah menyelesaikan novel perdana saya yang telah saya muat di salah satu situs yang mau menerima novel main-mainan buatan saya. Ending-nya percis seperti di acara penandatanganan itu. Saya memang mehendaki, Ferdi dan Anna bersatu kembali dan hidup bahagia. Saya nggak suka dengan cerita yang bad ending.”
“Oh-yah, maksud anda Ferdi’s Story? Saya sudah tamat membaca cerita itu! Ceritanya cukup bagus, anda tinggal lebih meninggkatkan daya imaginasi anda, terutama dalam hal penampilan tokoh serta deskripsi suatu tempat. Kalau boleh sedikit tahu nih, bagai manah cerita itu bisa tersusun sehingga terbentuk sebuah novel?”
“Yah, cukup simple aja…” Sejenak Pak Wijaya berfikir. “Cerita ini bermula dari pengalaman pribadi saya ketika SMU. Saya sempat menyintai seorang siswi yang ternyata cukup mencurahkan perhatiannya kepada saya. Saya benar-benar jatuh cinta berat kepadanya. Tapi sayangnya siswi itu ternyata hanya simpatik saja sama saya. Akhirnya saya down, dan hampir kehilangan semangat hidup. Tapi ternyata Tuhan masih menyayangi saya. Dia pun mencarikan pengganti yang lain untuk saya. Dia seorang siswi yang Bener-bener ingin saya kubur kenangannya dalam-dalam.” Pak Wijaya sejenak terhenti, mukanya mulai sedih.
“Hlo…, kenapa Pak? Apakah dia lebih jahat?” Tanya Wanita itu semakin penasaran.
“Bukan, bukan itu masalahnya. Ternyata dia lebih baik, dia wanita yang lembut, penyabar, dan kalau hubungan kami sedang konflik, dia selalu menyelesaikan dengan kepala dingin serta tanpa amarah sedikit pun.” Pak Wijaya mulai bergetar. “Sosok Anna, mungkin adalah karakter yang sangat pas untuk dia. Kebetulan dia juga mempunyai nama panggilan Anna, tapi nama lengkapnya bukan Siti Nurhasanah.” Pak Wijaya terus mengatur emosinya. Tiba-tiba rekannya mega menjadi tertunduk.
“Dia…, meninggal ketika bus yang dia tumpangi kecelakaan karena selang bahan-bakar bus itu bocor sehingga menimbulkan percikan api. Bus itu pun terbakar habis dan menghanguskan…, menghanguskan dia serta penumpang lainnya yang tidak terselamatkan! ” Pak Wijaya tidak bisa mengontrol tangisnya lagi.
“Mulai saat itu, saya berkomitmen untuk tidak mencari penggantinya. Karena, cinta saya hanya untuk dia, dan nggak bisa saya berikan kepada yang lain.” Kata Pak Wijaya dengan nada terisak. Beliau pun menenangkan diri dengan menyeruput kopinya kembali dan mengambil potongan kue cake lezat itu.
Tiba-tiba, Pak Wijaya mendengar isakan tertahan dari rekannya mega. “Ada apa, kenapa ikut menangis? Apakah cerita saya terlalu mengharuhkan? Atau kamu hanya simpatik saja kepada cerita saya.” Tanya Pak Wijaya yang mulai kembali tenang kepada Rekannya mega. “Oh-yah…, siapa nama rekan Anda yang ikut datang ke sini?” Tanya Pak Wijaya kepada Mega.
“Yaampun…, saya hampir lupa. Maaf, dia memang paling nggak tahan mendengar kisah sedih. Cepat terbawa suasana. Nama rekan saya adalah…,” Mega tampak berfikir sejenak. “Hanna Nabilah Rahma” Kata Mega dengan mantap.
“Han-na Na-bi-la Rah-ma…” Tiba-tiba Kopi susu yang berada di tangan Pak Wijaya tumpah kebaju beliau dan gelasnya terlepas dari tangannya. Gelas itu pun akhirnya jatuh ke lantai lalu pecah. Dadanya terasa sangat sesak setelah kembali mengucapkan nama itu dan beberapa saat kemudian kesadarannya pun hilang. Serentak mereka pun panik dan berteriak minta tolong. Beberapa staf karyawan langsung mendatangi ruang itu. “Mungkin jantungnya kumat lagi…!” Teriak seorang skretaris dengan panik. Pak Wijaya langsung diefakuasi dari ruangannya oleh para stafnya. Mega mau pun rekannya sangat ketakutan dan wajahnya pucat.
“Apa yang terjadi sebelum Pak Wijaya kehilangan kesadarannya?” Tanya seorang asisten pribadi Pak Wijaya kepada Mega serta rekannya dengan tegas.
“Ketika itu…, saya menyebutkan nama rekan saya ini. Terus tiba-tiba dia pinsan begitu saja Pak setelah dia mengulang nama itu dengan terbata-bata.” Kata mega dengan gugup.
“Ikut keruangan saya sekarang!” Asisten itu berkata sambil menarik tangan mereka. Mereka pun menurutinya.
 “Duduk kalian…!” Perintah asisten itu dengan tegas sambil menutup pintu ruangan. Mereka tertunduk karna ketakutan. “Anda adalah orang yang mirip dengan foto ini!” Asisten itu menyodorkan beberapa lembar foto ke tangan Anna. Anna hanya terdiam sambil memandangi foto-foto itu
“Nama orang ini adalah Hanna Nabila. Apakah anda menyebutkan itu?” Tanya asisten itu kepada Mega.
“Yah Pak Benar…, saya nggak tau kalau akhirnya jadi begitu.” Kata Mega dengan nada ketakutan.
“Pak Wijaya sebelumnya tidak yakin, kalau orang yang berada di foto ini sudah meninggal. Dia pun bertekat menyuruh tim kepolisian untuk mencari keberadaan orang itu. Namun semuanya sia-sia. Mungkin dia sangat shok ketika mendengar nama Anda diucapkan oleh Mbak Mega ini. Karena jujur saja, wajah dan nama anda sama.” Kata asisten itu sambil kembali membereskan foto-foto tersebut.
“Yah…, saya memang Hanna Nabila Rahma, saya adalah orang yang berada di foto-foto itu. Apa yang di rasakan bos anda itu memang benar. Saya masih hidup.” Hanna Nabila berbicara dengan nada sedih. Asisten itu pun ikut terkejut. “Bagai mana anda bisa selamat dari kecelakaan maut itu?  Mengapa anda baru kembali setelah bertahun-tahun menghilang?” Asisten itu bertanya dengan nada penasaran.
“Ketika itu…, saya nggak betah di tempat duduk saya. Saya ingin berdiri di depan pintu bus yang saya tumpangi. Waktu itu malam hari, ketika sebagian besar penumpang sedang tertidur lelap. Tapi entah kenapa, ketika saya bersandar di pintu bus itu, tiba-tiba pintunya terbuka dan saya pun terlempar dari Bus tersebut. Kepala saya pun terbentur sesuatu dengan keras. Setelah itu, saya nggak ingat apa-apa lagi Pak…” Hanna Nabila menyudahi pembicaraannya.
“Saya menyaksikan dia terlempar dari bus itu Pak. Karena malam itu, saya baru pulang dari rumah teman saya. Waktu itu keadaannya parah, dia telah mengeluarkan banyak darah di kepalanya. Cepat-cepat saya langsung menolongnya dan membawanya kerumah sakit. Ternyata, dia mengalami geger otak parah sehingga menyebabkan amlesia. Beberapa jam setelah saya menolongnya, barulah bus yang dia tumpangi mengalami kecelakaan maut. Saya, bersama keluarga pun merawatnya selama ini sambil terus berusaha mengembalikan ingatannya. Akhirnya, lambat laun ingatan Hanna Nabila kembali. Sebenarnya, tujuan saya  dan Hanna ke sini Hannya ingin mempertemukan masa lalunya Pak Wijaya yaitu Hanna Nabila.” Lanjut mega.
Tiba-tiba, telpon di ruangan itu berdering.
“Kalian ikut saya!” Perintah asisten setelah menjawab telpon itu.
Mereka pun dibawa ke rumah sakit tempat Pak Wijaya di rawat. Hanna Nabila langsung menghampiri Pak Wijaya yang masih pinsan di ruang UGD. “Dia terus menyebut-nyebut nama anda, mungkin dengan mendengar suara anda, beliau bisa melewati masa kretisnya.” Kata sang dokter kepada Hanna Nabila.
“Jay…, bangun Jay…! Jangan tinggalin aku! Maafkan aku Jay…, karna telah lama ninggalin kamu.” Kata Hanna dengan nada sedih sambil memegang tangan Pak Wijaya.
Hanna Nabila mengeluarkan sebuah buku yang tampak kusam dari tasnya. Tampak sampulnya bertuliskan “Kemilau cinta di Laut Biru.”
Dia membuka-buka buku itu dan mencari pembatas yang terakhir dia baca.
“Ini dia!” Kata Hanna Nabila setelah menemukan pembatas itu pada halaman 268.
“Kamu masih ingatkan dengan novel yang ketika SMU kita baca bersama? Sorry, waktu itu aku belum sempat lagi membacakan cerita itu ke kamu hingga semua itu terjadi.” Hanna Nabila pun mulai membaca buku itu dengan penuh penghayatan.
Tiba-tiba, setelah tiga halaman buku itu terbaca, Pak Wijaya pun membuka matanya.
“Hanna…, apakah itu kamu?” Kata Pak Wijaya dengan lirih.
“Iya Jay…, ini aku, Aku kembali!” Kata Hanna dengan nada sedih.
“Kenapa kamu ninggalin aku Ann…? Aku nggak bisa kehilangan kamu!” Kata Pak Wijaya sambil mengeluarkan air matanya.
“Ceritanya panjang Jay…” Hanna kembali mengulang cerita yang baru saja di ceritakan kepada asisten Pak Wijaya.
“Yang berlalu, biarlah berlalu Jay, yang jelas marilah kita menyongsong masa depan yang lebih cerah.” Kata Hanna Nabila setelah menyudahi ceritanya.
“Maukah kamu berjanji?” Kata Pak Wijaya kepada Hanna Nabila.
“Janji apa Jay?”
“Jangan pernah ninggalin aku lagi! Selama ini aku berdoa kepada Allah, semoga kita selalu bersama di dunia mau pun di akhirat. Cintaku hanya untukmu.” Kata Pak Wijaya.
“Yah terimakasih…, kamu telah setia sama aku. Cintaku juga hanya untukmu!” Kata Hanna Nabila sambil mengusap mata Pak Wijaya yang basah karena air mata yang mengalir dengan sapu tangan miliknya.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Wijaya

Saya adalah orang yang hobinya membaca dan menulis.

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *