Foto Penampakan

Setiap hari minggu, atau datangnya tanggal merah, banyak sebagian besar orang merasa senang karena bisa menikmati hari libur dan bersantai bersama keluarga. Mereka yang bekerja di instansi perkantoran, maupun anak sekolahan, semua menyambut hari libur dengan suka cita. Begitu juga dengan Roi yang telah memplanning hari liburnya untuk dihabiskan di kampung rumah kakek dan neneknya.

Sabtu sore, dengan diantar ayahnya Roi menginap di rumah sang nenek. Sudah lama Roi tak berkunjung ke kampung halaman ayahnya, padahal semasa kecil ia selalu menghabiskan waktunya di desa tiap adanya hari libur dengan bersepeda keliling desa bersama kawan-kawan serta saudara sepupu-sepupunya, mandi di kali, bermain layang-layang di tengah sawah sambil bermain lumpur, dan juga bermain kelereng di bawah terik matahari. Kini Roi sudah remaja, sudah jarang datang mengunjungi kampung kakek dan neneknya lantaran padatnya kegiatan sekolah serta ekskul.

‘Roi, mau ikut nggak?’, Ajak Gilang saudara sepupunya.
‘Kemana?’,
‘Aku kan ikut karang taruna, malam minggu ini ada kegiatan untuk mempersiapkan acara hari kartini.’,
‘Ah, daripada di rumah aku nggak ada teman, ikut aja deh Lang.’

Rapat pengurus karang taruna yang diikuti oleh remaja setempat berlangsung hingga jam sembilan malam di kantor balai desa. Roi yang sudah merasa jenuh dengan rapat yang berlangsung, ia berpamit pada Gilang untuk menghirup udara segar di luar. Malam tak begitu gelap karena bermandikan cahaya perak dari rembulan. Roi menikmati sejuknya malam dengan duduk santai di taman balai desa sambil berfoto.

Satu kali jepret, dua kali, fotonya biasa saja. Tiga kali jepret, Roi terperanjak kaget. Ia mengucek-ucek matanya, rabunkah sudah penglihatannya. Ada yang aneh dengan hasil jepretan di layar, padahal Roi membidik dirinya. Tapi malah di layar berganti gambar foto seorang pria dewasa memakai jubah dan sorban putih. Matanya mencorong merah, serta mukanya rusak mengerikan. Roi celingukan ke kanan dan ke kiri, tak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu.

Kembali ia melihat layar ponselnya untuk memastikan foto yang dilihatnya baru saja. Kosong! Tak ada gambar apapun. Dengan penasaran kembali Roi memotret dirinya sendiri sekali lagi. Kali ini Roi yakin, ada yang tak wajar di taman balai desa itu. Bulu kuduknya merinding. Setelah berfoto sekali lagi, yang ada di layar ponselnya gambar seorang pria berjubah dan bersorban putih namun menghadap belakang, hanya punggung dan rambutnya yang terurai panjang terlihat, serta kaki telanjangnya tak menginjak bumi seperti melayang. Ditambah lagi tercium bau amis darah yang menyengat.

Dengan tergesa Roi menghampiri Gilang dan kawan-kawannya, namun ia tak mau menceritakan apa yang telah dialami dirinya di depan balai desa.
‘Ada apa Roi, kok mukamu pucat begitu?’,
Tanya Gilang heran pada Roi.
‘Ah, oh, nggak ada apa-apa. Aku hanya pusing saja.’,
Kilah Roi.
‘Hem, ini sudah jam 9 malam, untuk lain-lain kita diskusikan besok lagi! Tuh, mas Roi kasihan sedang ndak enak badan, biar cepat istirahat dia.’
Usul Melisa, dan kawan-kawannya pun menyetujui.

Sesampai di rumah neneknya, Roi tak dapat tidur. Gilang yang tidur di sebelahnya sudah sejak tadi mendengkur. Ia hanya bergulingan di kasur, ke kanan, ke kiri. Pikirannya tak bisa istirahat untuk tak mengingat kejadian aneh yang dialaminya di balai desa tadi saat berfoto. Coba diraihnya kembali ponselnya untuk melihat sekali lagi penampakan hasil jepretannya.

‘Astaga! Kenapa jadi begini? Padahal aku tadi jelas melihat penampakan punggung dan rambutnya saja! Kenapa sekarang berganti gambar seorang wanita cantik berambut panjang terurai namun matanya memelotot seperti akan copot dan menyeringai!’

Akhirnya Roi tak tahan lagi mendapat gangguan bertubi seperti itu, ponselnya dengan tanpa sadar di lemparnya ke pojok kamar. Gilang yang tengah terbuai di alam mimpi, dengan kaget terjaga dari tidurnya karena mendengar suara keras seperti cermin jatuh.

‘Haah, a, ah! Ada apa Roi? Gempa bumikah itu?’,

Gilang yang tergelagap bingung bertanya pada sepupunya tak mendapat jawaban apa-apa, Roi langsung menarik selimutnya hingga menutupi seluruh badan dan memunggungi Gilang seketika.

‘Roi! Roi! Kamu dengar nggak siiih, itu barusan suara apa? Eh Roi, kamu merasa aneh nggak suasananya? Aku kok jadi merinding ya! Roi! Roi! Ah ni anak!’

Karena Roi tak merespon diajak bicara, Gilang kesal dan membanting tubuhnya di kasur sebelah Roi dan tidur lagi.

Lewat tengah malam, gulita kian menukik menjamah kesunyian pekat. Banyak insan yang terlelap dalam ayunan mimpi bawah sadarnya. Makhluk-makhluk takasat mata bervoya mengganggu insan yang jiwanya kosong dan sedang labil. Di rumah itu, penghuninya sudah terlelap semua. Gilang yang paling dekat posisinya, ia lagi-lagi dikejutkan oleh teriakan Roi yang keras dan tak jelas maksudnya.

‘Aaaaaaa! Aaaaaa! Tidaaaaak! Jangaaaaaan! Panas, perih, panaaaaas! Sakiiiiit! Aaaaaaaa!’

Roi terus ngigau dan meracau. Suhu tubuhnya tinggi dan berkeringat. Matanya melotot serta raut mukanya seperti orang yang sedang kesakitan, ketakutan, cemas juga bingung.

Gilang yang melihat saudara sepupunya demikian, segera memanggil kakek dan neneknya di kamar sebelah. Kecemasan terjadi di rumah itu. Eni, ibu Gilang terus mengompres keponakannya yang sedang sakit panas. Heri, ayah Gilang menghubungi bidan desa untuk memeriksakan Roi, dan juga menghubungi pak ustadz untuk memeriksa kondisi Roi apakah kerasukan makhluk halus karena sakitnya tak wajar.

Bidan usai memeriksa Roi dan memberi beberapa butir obat, langsung bergegas pulang ke rumahnya. Giliran pak ustadz yang melihat kondisi Roi dengan cara kontak batin seperti orang bersemedi.

Pak ustadz duduk bersilah di lantai dengan kedua tangan ditangkupkan di depan dada, mata terpejam, serta mulutnya komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Selang beberapa menit, pak ustadz membuka mata dan kembali pada posisi biasa sambil menjelaskan pada anggota keluarga tentang apa yang telah diketahuinya mengenai Roi.

‘Bagaimana dengan cucu saya pak ustadz? Cepat katakan!’, Pak Sutarjo, kakek Roi bertanya dengan tak sabar.
‘Roi ini kerasukan arwah Poniman, sopir truk yang mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu di persimpangan desa ini. Setelah kami berkomunikasi lewat kontak batin, dia minta dirukat untuk melepas arwahnya yang tidak tenang karena ulah warga yang menaburkan perasan air jeruk nipis serta garam pada darahnya yang berceceran di sekitar lokasi kejadian kecelakaan.’

Kesibukan terjadi di keluarga itu. Anggota keluarga mempersiapkan alat ritual rukat seperti kembang setaman, jenang lima warna, jajanan tujuh macam, dan ketupat lepet serta gunteleng.

Ayam berkokok menandakan fajar menjemput pagi. Persiapan ritual pun siap dilaksanakan. Pak ustadz mulai berdoa dan membacakan ayat suci Al-Qur’an. Lalu air rendaman kembang setaman dipercik-percikkan pada muka dan badan Roi oleh pak ustadz. Selang beberapa saat kemudian, Roi mulai tenang. Suhu badannya menurun, bicaranya tidak ngelantur, dan matanya terpejam tidur. Pak ustad mengurut-ngurut tengkuk leher dan bahunya hingga siuman. Ditanyainya, Roi tak ingat barang sedikit pun tentang apa yang dialaminya semalam. Yang dia ingat hanyalah ketika berfoto di balai desa.

Bondowoso, 1 Mei 2017.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Vika Wulandari

Keterbatasan bukan suatu halangan. Pengalaman adalah guru yang paling berharga

1 komentar

  1. ceritanya sebetulnya serem, tapi dikemasnya jadi agak lucu. lanjutkan kak 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *