Friendship

Cerpen mengenai persahabatan antara para mahasiswa dengan latar belakang beragam. Ada cinta dan rasa kecewa di dalamnya. Selamat membaca.

Aku mulai bergegas untuk mencari-cari tempat kost yang cocok dengan kriteriaku selagi matahari Bandung belum begitu menyengat. Setelah beberapa kali aku ke tempat kos-kosan, ternyata tempat itu tidak ada yang cocok denganku, yang sudah penuh lah, harganya terlalu mahal, atau terlalu jauh dan susah transportasinya dengan kampusku. Selagi aku masih berjalan di bawah teriknya Matahari Bandung dengan perasaan yang sedikit gusar, aku mendengar suara adzan di kejauhan dan memutuskan untuk Shalat Dzuhur dahulu baru mulai lagi melanjutkan pencarian. Aku menuju ke masjid terdekat dan setelah shalat aku berdo’a “Ya Allah, izinkanlah aku untuk menuntut ilmu di kota ini. Engkaulah tuhan yang mengetahui segalanya. Berilah aku yang terbaik untuk tinggal di kota ini. Maka terimalah do’a ku”. Setelah shalat dan berdo’a, aku merasa lapar dan memutuskan untuk mengganjal perut dulu di warung makan dekat masjid. Pada saat aku sedang makan, si penjaga warung bertanya padaku.

Penjaga warung : “Ujang orang baru ya di sini?”.
Aku berkata : “Iya mang, saya mau kuliah di sini. Saya dari Jakarta”.
Penjaga warung : “Oh begitu, tinggal di mana ujang di sini?”.
Aku berkata : “Belum ada mang, saya sedang mencari-cari tempat kost yang cocok dengan saya”.
Penjaga warung : “Oh kalau itu ada di sini. Itu kostnya Pak Rusli. Yang di belakang Masjid itu. Di sana yang tinggal anak-anak kuliahan semua. Harganya tidak terlalu mahal dan mudah transportasinya”.
Aku berkata dalam hati : “Terima kasih Ya Allah, Engkau telah memberikan petunjuk padaku”. Lalu aku berkata “Terima kasih ya mang atas informasinya.

Aku langsung menghabiskan sisa makananku dan membayarnya dengan lebih karena saking senangnya dan juga sekaligus sebagai tanda terima kasih pada si Emang. Aku langsung mencari tempat kos-kosan itu seperti yang telah diinformasikan si Emang. Tempat itu akhirnya ketemu dan aku masuk ke dalamnya untuk ketemu dengan Pak Rusli si empunya kost. Aku bertemu dengan Pak Rusli dan langsung akrab dengannya karena ia orang yang sangat ramah dan bersahabat. Aku berkeliling untuk melihat keadaan tempat kost itu kemudian langsung menanyakan harga sewa untuk sebulannya. Kata pak Rusli Rp 150.000,00. Aku langsung setuju karena itulah harga termurah yang aku temui selama aku mencari tempat kost di kota ini dan juga karena tempat kostnya yang cukup bagus dan terawat. Aku langsung meletakan barang-barangku ke dalam kamar yang akan menjadi kamarku untuk kira-kira beberapa tahun. Aku langsung merebahkan diri ke tempat tidurku. Ternyata kasurnya cukup empuk dan aku langsung terlelap karena kelelahan setelah seharian berkeliling mencari tempat kost.

Baca:  Setetes Embun Di Batas Senja

Aku terbangun ketika mendengar adzan ashar telah berkumandang di masjid dekat tempat kost baruku. Aku langsung berganti pakaian dan bergegas menuju masjid untuk Shalat. Setelah Shalat, aku agak kaget karena aku diajak bersalaman dengan orang yang sepertinya pernah kutemui sebelumnya. Ah!, Arman ternyata. Aku menanyakan mengapa ia berada di daerah ini. Katanya ia kost juga di kos-kosan yang sama denganku. Dan ia ternyata sudah berputar-putar mencari tempat kost yang cocok sebelumnya seperti aku. Dan ia tiba setelah aku masuk ke kos-kosan itu. Aku menjadi sangat senang. Karena aku sudah mempunyai teman di kota ini yang satu kost denganku dan satu kampus pula. Pada saat aku kembali dari Masjid bersama Arman, aku melihat di dekat pintu masuk kost ada seorang pemuda yang wajahnya agak tidak menyenangkan. Lalu pemuda itu berkata “Hai rul, kok kamu ada di sini?”. Aku baru teringat, ternyata dia itu Soni pemuda yang kutemui di kereta menuju Bandung. Aku menjawab “Seharusnya aku yang bertanya begitu. Ngapain kamu ada di sini.”. Soni menjawab “Aku mau kost di sini”. “Hah mau kost di sini?. Enggak salah. Ini kan tempat kost yang enggak level sama uang kamu!”. Ia menjawab “Aku dikasih sedikit uang aja sama Mama. Katanya biar bisa mandiri. Jadinya cari yang murah-murah juga deh!”. Aku merasa lebih senang. Karena aku dapat teman satu lagi di kota yang baru sekali bagiku. Aku tidak lupa mengenalkan Arman kepada Soni. Armand sepertinya agak tidak suka melihat Soni, mungkin karena tampang Soni yang tidak meyakinkan. Aku dan Armand meninggalkan Soni yang juga mau menuju ke kamar kostnya sendiri. Setelah jauh dari Soni Armand berkata “Rul, kamu harus hati-hati dengan si siapa namanya?, oh iya Soni itu!”. “Emangnya kenapa?”. Soalnya kelihatannya Soni itu anak yang enggak bener”. “Ah tidak juga. Aku sudah kenal dia di kereta. Memang tampangnya itu agak sedikit berandal, tapi hatinya itu baik banget kok!”. “Oh begitu ya, aku coba bersahabat dengan dia deh” Armand masih berbicara dengan nada yang tak yakin.
***
Awal-awal kuliahku di kampus baru berjalan dengan lancar. Prestasiku lumayan bagus di kelas. Aku juga dapat kerja sambilan di kota ini sebagai guru privat untuk anak-anak SD dan SMP yang mengajari ilmu-ilmu eksakta. Aku selalu belajar bersama dengan Soni dan Armand walaupun kami berbeda jurusan. Armand itu mahasiswa yang cukup cerdas. Ia sering membantuku walaupun mata kuliah kami berbeda. Lah beda lagi dengan Soni, dia ini orangnya kalau lagi belajar kebanyakan mainnya dari pada belajar dan banyak bercanda pula. Oleh sebab itu Armand sampai sekarang masih sedikit tidak suka dengan Soni. Soni itu orangnya beridiologi radikal sayap kiri. Jadi orangnya tidak mau tunduk dengan peraturan-peraturan kapitalis selama ini. Apa lagi setelah ia disuruh mandiri oleh orang tuanya, rasa persamarataan derajat dan sosialis dari Soni itu semakin besar karena ia sekarang tahu bagaimana rasanya jadi orang yang pas-pasan. Soni itu anaknya sangat gaul, bisa menempatkan diri di mana aja dan suka banget sama musik rock dan metal gitu. Oleh karena itu tampang dari Soni agak awut-awutan karena katanya biar merakyat gitu. Biar bisa diterima di manapun dia menclok. Berbeda sekali dengan Armand, ia sangat religius, tidak mau membantah kaidah-kaidah yang sudah tercipta di dunia selama ini. Dia itu orangnya beridiologi moderat sayat kanan. Jadi enggak mau segala sesuatu yang serba radikal dan aneh-aneh. Dia beranggapan segala sesuatu yang sudah ada selama ini harus diikuti sebagai pandangan hidup masyarakat. Perilaku yang berbeda dengan pandangan umum masyarakat itu adalah sesuatu yang aneh dan harus dihindari. Ia suka musik-musik yang berbau Islami seperti nasyid, musik-musik klasik, dan paling tidak suka dengan musik-musik keras dan memekakan telinga. Oleh sebab itu Armand sampai sekarang masih berkonfrontasi dengan Soni. Begitupun Soni yang agak tidak menyukai Armand karena dia anggap Armand itu terlalu kolot dan sok suci banget. Tapi di belakang semua perbedaan dan konfrontasi itu, mereka berdua bersahabat dengan baik walau kadang-kadang sering terjadi perbedaan pendapat. Lalu aku ini, aku ini orangnya netral. Tidak terlalu religius dan tidak terlalu funky banget. Jadi aku bisa menengahi mereka berdua dan oleh sebab itu kami bertiga menjadi sahabat yang akrab. Ke manapun kami pergi, kami selalu bersama. Kami saling nasehat-menasihati antar sesama. Walau tetapi Armandlah yang paling banyak menasihati kami. Tapi kalau soal teman, Sonilah yang mempunyai paling banyak. Oleh sebab itu kami pun juga memiliki banyak teman. Karena teman Soni, adalah teman kami pula.

Baca:  Pusaka Indonesia

Setahun telah berlalu, hubungan persahabatan kami semakin erat. Pada liburan akhir semester, kami sama-sama merencanakan untuk pulang ke rumah orang tua masing-masing. Aku mengusulkan bagaimana agar kita sama-sama bertiga pergi ke rumah masing-masing bergantian. Maksudnya adalah untuk minggu pertama, kita bertiga menginap di rumahku, minggu kedua di rumah Soni, dan minggu ketiga di rumah Armand. Bagaimana mau enggak?. Soni dan Armand setuju dengan rencana dariku itu. Kami bertiga naik kereta ke Jakarta untuk menuju ke rumahku. Orang tuaku sudah kuberitahu sebelumnya bahwa aku liburan akan membawa dua temanku. Sebelumnya juga dalam surat-suratku, aku pernah menceritakan tentang dua sahabatku itu. Sebenarnya aku agak malu kepada Soni dan Armand karena rumahku sangat sederhana sekali. Tapi karena kami sahabat, jadi hal itu bukan masalah. Aku datang ke rumah dan orang tuaku menyambut kami dengan hangat. Aku melepas rindu kepada kedua orang tuaku yang sudah setahun tidak bertemu. Beberapa hari di rumahku, Soni dan Armand kelihatannya tidak ada ekspresi kecewa. Tapi mereka malah senang karena sering ku ajak jalan-jalan silaturahmi ke tempat saudara-saudaraku. Kemudian tibalah gilirannya Soni untuk mengajak kami menginap ke rumahnya. Rumah Soni terletak di bilangan Pondok Indah dan rumahnya itu sangat besar dan mewah. Orang tua Soni walaupun kaya, tetapi mereka tidak sombong dan sederhana sekali. Selama berada di rumah Soni, aku dan Soni mengajak Armand untuk berjalan-jalan berkeliling Jakarta. Karena inilah kali pertama Armand berkunjung ke Jakarta. Kami mengajak Armand berkunjung ke tempat-tempat hiburan di Jakarta seperti ke ancol, dufan, TMII, dan pernah juga ke luar Jakarta yaitu Anyer. Setelah beberapa hari di rumah Soni, kami bertolak ke rumah Armand di Tasik. Sebenarnya aku agak berat meninggalkan rumah Soni, karena fasilitas di rumah itu lengkap sekali. Kami pergi ke Tasik naik kereta api. Sesampainya di rumah Armand, aku sangat terkesan dengan pemandangan di sana. Daerahnya masih alami, banyak sawah, ada danau, dan sungainya pun masih bersih. Tempat Armand memang pedesaan dan orang tua Armand juga seorang petani. Tapi aku sangat kerasan di sana sebab mana ada pemandangan seperti ini di Jakarta. Di sana aku dan Soni diajaknya berjalan-jalan keliling kampung, melintasi hutan, berjalan di persawahan, memancing ikan di sungai, bersantai di danau, dan membantu orang tua Armand memanen padi karena pada waktu itu sedang musim panen. Aku dan Armand melakukan hal itu dengan tanpa rasa kesulitan, tapi Soni yang dibesarkan di keluarga kaya dengan fasilitas lengkap, terlihat agak kesulitan. Tapi Soni sangat antusias melakukannya. Kemudian tibalah waktunya kami kembali ke Bandung untuk menuntut ilmu lagi. Sebenarnya aku sangat malas untuk kembali ke kota itu, karena suasana di daerah Armand sangat indah dan mempesona. Ya akhirnya, dengan berat hati kami berangkat untuk kembali ke Bandung. Sepulangnya dari tempat Armand, kulitku agak gelap karena terlalu sering main-main di sawah dan sungai.

Baca:  Pengalaman Salah Pencet
Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

2 Comments

  1. Keren nih cerpen akrab dg kehidupan sehari-hari dan bisa nambah wawasan buat siswa-siswi sma yg mau lanjutin kuliah. friendship kupikir ttg sahabat misalnya sahabat seorganisasi selama sekolah atau sahabat beda jurusan. Tp detil cerita bagus dan pesannya dpt banyak dzikir selama perjalanan. Sukses terus buat karya-karyanya

Leave a Reply