Friendship

Di rumah sakit, aku terbaring lemas tak berdaya mencoba untuk membuka mata dalam kepenatan yang membebani kepalaku. Saat aku membuka mata dan mengfokuskan pandangan, orang yang pertama kali ku lihat adalah Soni dan Armand sahabatku. Sekali lagi bukan Dina. Ya, bukan Dina, perempuan yang selama ini ku kira mencintaiku dan aku berharap bisa mencintainya. Tapi ternyata para sahabatku yang sebelum ini aku kecewakan dengan sikapku. Aku melihat tampang Soni dan Armand kelihatannya seperti sangat sedih dan menyimpan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu. Kata-kata yang aku katakan pertama kali kepada mereka adalah “Maaf…., Maaf…., maafkan aku sobat. Atas sikapku akhir-akhir ini. Sekarang aku sadar bahwa sahabat adalah segalanya”. Armand berkata “Jangan terlalu banyak bicara dulu rul, kami sudah maafkan semua kesalahanmu selama ini”. Soni juga berkata “Aku juga rul, aku juga sudah memaafkanmu. Kita kan sahabat, jadi harus saling memaafkan. Soal kejadian akhir-akhir ini, lupakanlah saja itu”. Aku masih curiga, apa yang sebenarnya di sembunyikan mereka berdua. Sepertinya ada ekspresi ngeri dari wajah mereka. Aku berkata “Trims sobat, sebenarnya apa yang terjadi denganku?”. Armand dengan getir menjawab “Kamu mengalami kecelakaan tabrakan motor dengan mobil di perapatan dekat kampus. Kamu salah jalur, motormu waktu itu berjalan di jalur kanan sehingga mobil yang dari arah berlawanan tak bisa menghindar menabrak motormu”. Aku berkata “Aku waktu itu sedang banyak pikiran, sehingga kurang berkonsentrasi. Tapi, mengapa aku tidak merasakan apa-apa pada kakiku?”. Soni menjawab dengan hati-hati “Kata dokter…., kaki kamu lumpuh…”.

Setelah kejadian itu, aku menggunakan kursi roda sebagai alat bantu berjalanku. Biaya alat dan perawatan selama ini di bayar oleh Soni karena cadangan uang Soni masih banyak. Sedangkan aku, uangku sudah terkuras habis untuk melayani Dina. Ya, Dina. Saat aku teringat olehnya, aku coba menghubungi ke handphonenya. Tetapi sepertinya Dina tidak mau menerima colling dariku dan selalu mereject panggilanku dan jika ku sms tidak pernah dibalas. Ku tanyakan pada Soni apakah dia pernah melihat Dina selama aku mendapat musibah, Soni menjawab ya dan ia tidak berkata apa-apa atau sesekali menanyakan keadaanku. Aku menjadi sangat kecewa dan tambah yakin bahwa persahabataan yang tulus tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Mengenai kejadian ini aku melarang Soni dan Armand untuk memberitahukannya kepada orang tuaku. Karena jika mereka tahu, hal ini hanya akan menambah beban mereka.

Proses perawatan dan penyembuhanku terus dibantu oleh Soni. Selain itu Soni dan Armand terus memotifasiku bahwa aku akan sembuh dan jangan putus asa. Armand membantuku dengan mengajarkan do’a-do’a untuk memohon kesembuhan dan turut pula membantuku untuk melatih kaki-kakiku agar kuat kembali dan dapat digunakan untuk berdiri lagi. Kemudian kata dokter yang selama ini merawatku, bahwa aku akan sembuh dan dapat berdiri lagi dalam beberapa minggu. Ini dikarenakan perkembangan yang cukup pesat dari kaki-kakiku untuk sembuh dan juga karena aku sering latihan untuk berdiri. Yang pastinya juga karena do’a-do’aku dan orang yang mendo’akanku telah dikabulkan oleh Allah SWT.

Ahirnya, hal yang ku harap-harapkan tiba juga. Aku dapat berdiri dan berjalan walaupun masih belum sempurna. Pada saat hal itu terjadi, kami bertiga langsung berpelukan dan menangis karena terharu. Pada saat itu aku langsung bersyukur kepada Tuhan atas karunianya ini dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para sobatku itu. Kalianlah yang terbaik bagiku.
***
Setelah beberapa bulan mengalami proses penyembuhan, aku sudah bosan dan mulai masuk kuliah lagi. Kami berangkat ke kampus bertiga karena kedua sobatku itu masih khawatir jika aku kenapa-kenapa pada saat menuju kampus. Kami berjalan bertiga beriringan menyusuri lobi kambus. Di tempat itu mataku menangkap sesosok wajah cantik yang selama ini sudah kukenal tetapi ternyata tidak. Dina seperti kaget melihatku yang bisa berjalan lagi dan aku hanya menengok sebentar ke arahnya dan tersenyum ramah kepada Dina. Soni berkata kepadaku “Eh rul, cewe luh tuh!”. “Ah biarlah yang lalu tinggal kenangan, yuk jalan lagi!” aku menjawab sambil meneruskan langkah menuju kelas. Soni menepuk pundakku dan Armand hanya tersenyum yang membuat persahabatan kami semakin erat dan abadi untuk selamanya.
***
T A M A T

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

2 komentar

  1. Keren nih cerpen akrab dg kehidupan sehari-hari dan bisa nambah wawasan buat siswa-siswi sma yg mau lanjutin kuliah. friendship kupikir ttg sahabat misalnya sahabat seorganisasi selama sekolah atau sahabat beda jurusan. Tp detil cerita bagus dan pesannya dpt banyak dzikir selama perjalanan. Sukses terus buat karya-karyanya

    1. serius juga nih, jadi terharu. ini cerpen tulisan pas masih SMA, jadi agak2 gitu deh. terima kasih ya apresiasinya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *