MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

GADIS PENGHARAPAN

Terakhir diperbaharui 6 tahun oleh Redaksi

Shinta dan Meta sedang bermain di pantai Kuta, Bali

“Apakah kamu yakin ingin melakukan ini?
Tangannya bergetar. Mulutnya sudah terbuka, namun tidak ada satu katapun yang terucap. Setelah beberapa puluh detik, ia mengangguk pelan dan berkata, “Ya. Mari kita mulai.”

Aku mengambil kamera, meletakkannya pada posisi yang tepat, menyetelnya. Setelah siap, aku memberi tanda bahwa perekaman akan segera di mulai. “Camera rolling… 3, 2, 1, action.”

Sore itulah, pukul 18.00 WIB, Meta Septalisa menceritakan secara lengkap apa yang terjadi pada dirinya…

***

Aku duduk sendiri di ruang kerja, menghadap perangkat komputer lengkap dengan segala macam peralatan editing. Burung walet yang sibuk membangun sarang di gedung sebelah kantorku tidak henti-hentinya berkicau. Tidak apa-apa, aku tidak jengkel. Justru lama kelamaan suara mereka terdengar menjadi irama tertentu di telingaku.

Masih jelas dalam ingatanku, ketika suatu siang aku duduk di depan televisi menonton sebuah siaran berita yang melaporkan kejadian pemerkosaan terhadap seorang gadis remaja.  Dalam pemberitaan itu dikatakan bahwa korban menderita trauma berat dan depresi. Saat itu aku sendiri sedang duduk di bangku SMP dan mulai merenung, bagaimana kalau hal itu sampai terjadi kepadaku? Aku selalu berpikir bahwa pelecehan seksual, atau pemerkosaan, adalah hal terburuk yang dapat terjadi dalam hidup seorang perempuan. Aku sendiri tidak yakin bila mengalami hal itu, aku akan mampu mengatasi hal tersebut dan tidak memilih untuk bunuh diri.

Ketika pertama kali berjumpa dengan Meta di bangku kuliah, ia sangat ceria. Semua orang yang mengobrol dengannya pasti dibuat tertawa. Dengan kulit coklat, mata bulat dan senyum yang lebar, Meta selalu tampil lincah, enerjik, penuh semangat dan selalu saja mengeluarkan lelucon segar yang mengocok perut. Siapa sangka bahwa hal yang mengerikan itu pernah terjadi kepadanya?

“…….saat itu.. usiaku baru enam tahun, masih belum mengerti apa-apa. Dan pelakunya itu adalah tetanggaku sendiri… Dia…,” suara Meta tercekat di tenggorokan. “Dia…,seorang perempuan…”

Air mata terus mengalir di pipinya ketika ia menceritakan detail kejadian tersebut. Ya, Meta mengalami kekerasan seksual di usia yang masih sangat muda. Entah mengalami penyimpangan atau apa, gadis remaja yang saat itu masih duduk di bangku SMA tersebut melecehkan Meta selama bertahun-tahun. Ia melakukan kekerasan baik secara psikis dan fisik juga seksual dengan cara-cara yang aneh, sampai-sampai Meta hampir tidak mampu menceritakannya. Ketika kemudian orang tuanya memutuskan untuk meninggalkan desa dan pindah ke kota Palangka Raya, barulah ia terbebas dari perlakuan itu. Meta berpikir bahwa semuanya sudah berakhir, namun ternyata belum. Saat itulah ia mulai menyadari betul apa yang sudah terjadi dan perasaan tidak berharga justru semakin menjadi-jadi dalam dirinya. Ia berubah menjadi seseorang dengan kepribadian ganda. Di hadapan semua orang ia sangat mencolok, supel, heboh, berusaha menarik perhatian orang dengan cara apapun dan tentunya sangat percaya diri bahkan sampai berlebihan. Namun di rumah, ia selalu depresi dan menangis. Sering mengalami insomnia dan mimpi buruk. Kadangkala ia bisa duduk melongo sendiri, memandang tali ayunan keponakannya, menimbang-nimbang apakah ia akan memutuskan untuk bunuh diri atau tidak. Ia selalu terintimidasi dengan ketakutan bilamana ia menjadi penyuka sesama jenis.

Baca juga:  Safrina, Api dari Minomartani

Ketika duduk di semester awal perkuliahan, kami menjadi sangat akrab. Tiga tahun lalu adalah momen dimana pertama kalinya aku mengetahui apa yang pernah terjadi pada Meta. Kami berbicara, dan berdoa bersama. Untuk pertama kalinya, Meta menceritakan masa lalunya yang kelam kepada orang lain. Untuk pertama kalinya juga, luka yang ia biarkan membusuk di dalam hati itu dikorek dan membuatnya menjerit habis-habisan. Kendati demikian, untuk pertama kalinya juga, beban berat yang selama ini menekannya dengan hebat bersama dengan belenggu perasaan ketidaklayakan seolah terangkat dari jiwanya. Semenjak saat itu, Meta mulai berubah. Ia menjadi lebih ceria, lebih tenang, lebih lembut. Kami pergi beribadah bersama, berkumpul bersama-sama rekan lain dalam sebuah komunitas rohani, bernyanyi, berbelanja, dan saling menguatkan satu sama lain. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk menuangkan kisah ini ke dalam bentuk sebuah film personal dokumenter. Saat duduk siang hari di teras rumah yang sejuk, kami membicarakan hal ini.

“Kalau kamu belum siap, tidak apa-apa. Kita tidak harus membuatnya sekarang,” ucapku pelan.

“Tidak, jangan tunda lagi. Aku ingin kisah ini diangkat agar mata masyarakat terbuka. Selama ini perihal pelecehan dan pemerkosaan dianggap terlalu tabu untuk dibicarakan, tetapi justru karena itu banyak korban yang hanya diam dan menanggung semua penderitaan sendiri. Aku tidak ingin terus menerus ada meta-meta yang lain!” tegasnya.

Itu memang betul. Selama ini kami terus melakukan penelitian, investigasi dan mengumpulkan informasi.  Melalui aktivitasku sebagai konselor Kristen, aku menemukan bahwa hampir semua mahasiswi di komunitasku pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecilnya, dimana peristiwa itu rata-rata terjadi di kampung. Pertama kali mengetahui betapa banyaknya orang-orang yang mengalami pelecehan dan pemerkosaan, aku kaget. Kebanyakan di antara mereka hanya diam dan menyembunyikan peristiwa itu dari orang tuanya. Ada pula beberapa yang memberitahu orang tuanya, namun karena dianggap aib dan mencemarkan nama keluarga maka peristiwa itu tidak dilaporkan kepada yang berwajib. Si pelaku tetap melenggang kangkung dengan leluasa, sementara si korban hanya bisa diam tanpa keadilan, menanggung rasa sakit dan perih yang perlahan-lahan merobek jiwa mereka.

Baca juga:  Persahabatan Inklusi

Itulah yang mendorong Meta dan aku untuk membuat sebuah film dokumenter berjudul ‘Korban yang Diam’ yang berisi kisah dari korban pelecehan seksual. Tujuan kami adalah untuk mengangkat isu ini  ke permukaan, agar masyarakat Dayak yang selama ini mengambil sikap tidak peduli dengan tameng budaya menjadi sadar akan realita yang terjadi. Pelecehan seksual ibarat kanker yang merusak jiwa generasi muda, menghancurkan jati diri dan karakter sebuah lapisan masyarakat. Meta ingin agar masyarakat mengetahui dua hal. Pertama, fakta bahwa korban-korban tersebut ada di sekeliling mereka. Kedua, diam itu menyakitkan. Siapa yang lebih mengetahui penderitaan itu selain dari mereka yang telah mengalaminya? Tapi ketidakpedulian masyarakat terhadap isu ini membuat para pelaku kejahatan tidak pernah jera, terus saja melancarkan aksinya. Dengan pemulihan yang sedikit demi sedikit ia alami, Meta ingin agar para ‘korban diam’ lainnya di luar sana tahu bahwa pemikiran akan masa depan yang hancur itu adalah kebohongan belaka. Meski dengan air mata yang terus mengalir deras di pipinya, Meta berhasil menuturkan semua kisahnya.

Sambil memandang rekaman audiovisual di komputer, dan mengingat keteguhan hati gadis yang sedang berbicara di sana, aku tersenyum. Perlahan namun pasti, aku menyelesaikan pengeditan film tersebut.

***

‘Hai, Shin!”

Senyum lebar terukir di wajahnya. Ya, senyum Meta memang sangat lebar, perpaduan khas wajah Dayak dan Jawa.

“Bagaimana perjalananmu di Kupang, menyenangkan?”

“Tentu saja! Aku mendapatkan banyak sekali pembelajaran, terkhusus tentang pemberdayaan korban. Ada juga materi tentang pendokumentasian cerita-cerita mereka. Aku rasa kita akan punya banyak sekali PR yang harus segera dikerjakan.”

Ya, Meta sekarang menjadi seorang aktivis perempuan.

Semenjak trailer film Korban yang Diam mulai disebarkan, film tersebut menarik banyak perhatian publik. Kami juga mengolah kisah tersebut dalam bentuk rohani dengan judul lain yaitu Gadis Pengharapan. Film tersebut ditayangkan dalam sebuah festival film rohani di kota kami dan masuk ke situs rohani dunia. Gadis Pengharapan juga diunggah ke Youtube dan dibagikan oleh banyak orang bahkan dari luar provinsi. Film Gadis Pengharapan dan Korban Yang Diam juga dibawa kemana-mana oleh Meta, diputarkan dalam pertemuan-pertemuan aktivis, kegiatan pemberdayaan perempuan dan seminar-seminar.  Demikianlah Meta mulai membangun programnya sendiri sebagai aktivis perempuan yang berfokus kepada pelecahan seksual dan perdagangan manusia. Ia berjejaring dengan berbagai lembaga perempuan baik dalam lingkup provinsi dan nasional.

Baca juga:  Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas

Semenjak film tersebut diluncurkan, semakin banyak gadis-gadis yang datang kepada kami dengan cerita bahwa mereka juga pernah menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan. Dalam delapan bulan terakhir, tidak kurang dari sepuluh kasus baru yang terungkap. Para korban ini mengatakan bahwa mereka beroleh keberanian untuk bicara karena menonton kisah Meta melalui film Korban yang Diam dan Gadis Pengharapan. Mereka menjadi yakin bahwa hidup mereka belum hancur. Bila Meta bisa bertahan melalui hal itu dan pulih, hal yang sama pasti juga berlaku untuk mereka. Kami melayani mereka untuk pemulihan pribadi melalui pendalaman spiritual dan konseling, serta membawa mereka ke dalam kehidupan sosial yang akan membantu mereka untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Sekarang beberapa dari mereka siap untuk mendokumentasikan kisah-kisah mereka untuk juga dipublikasikan, dengan tujuan dan harapan akan ada perubahan dalam tatanan sosial, budaya maupun pemerintahan, agar penekanan akan tindak kejahatan seksual ini bisa mulai dilakukan.

Dengan kedua mataku, aku melihat para gadis remaja yang dulunya muram, tidak memiliki tujuan hidup, terpuruk dalam penderitaan dan penolakan, sekarang bisa tersenyum lebar dengan mata yang bersinar-sinar dan mensyukuri anugerah kehidupan yang diberikan kepada mereka. Tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada melihat hidup seseorang dipulihkan.

Ini semua berawal dari keberanian seorang gadis berkulit coklat bermata bulat yang memiliki senyum lebar. Ia telah melalui perih dan luka yang mendalam, hingga bahkan ia tidak dapat terluka lagi. Yang ada sekarang hanyalah kasih dan keinginan tulus untuk melihat  orang lain dapat lepas dari jerat masa lalu yang kelam.

Aku tidak pernah tahu bagaimana rasa sakitnya. Namun aku tahu dan bisa merasakan segala kebaikan yang terpancar dari hatinya. Meta bertekad bahwa ia tidak akan berhenti sampai di sini, namun akan terus berjuang hingga kelak bisa mendirikan sebuah yayasan untuk perempuan. Meta Ministry, itu adalah nama yang ia pilih. Dengan semangat ia menceritakan visi dan mimpinya, untuk suatu hari nanti bisa menolong perempuan-perempuan yang terjerat dalam pekerjaan sebagai PSK, perempuan-perempuan dengan disabilitas, perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan. Aku yakin, Meta pasti mampu mewujudkan mimpinya itu. aku bisa seyakin itu karena aku melihat bahwa mimpi dan visinya itu bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri, namun bagi kehidupan orang lain. Dia tidak pernah berhenti berharap, dan ia juga tidak dapat berhenti; ia terus saja membagikan pengharapan itu kepada mereka yang putus asa.

Dialah sang gadis pengharapan.

Beri Pendapatmu di Sini