Galau Tandus

Bermandi air mata, bertemankan luka, ada derita dalam setiap desah nafasnya. Bantal-guling teman setia. Di pembaringan ia menghabiskan sisa hidupnya. Seperti jemuran saja, jika ingin bertemu mentari, haruslah ada orang yang membantu ia keluar dari kamar dukanya. Dan jika ingin kembali ke tempat peraduannya, harus di angkat pula oleh tangan-tangan lain. Tak mampu ia melakukannya sendiri, lumpuh layu yang menyebabkan ia seperti itu. 

Hanya tujuh tahun ia hidup normal seperti yang lain. Selebihnya, ia harus berkawan dengan penyakitnya. Di usianya yang ketujuh itu, panas tinggi dan kejang-kejang tiba-tiba menyerangnya. Tak ada sentuhan medis terhadap penyakitnya. Lagi, kemiskinan yang menjadi penyebabnya. Alhasil, Poliovirus (virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular) terus menggerogoti sistem sarafnya. Hingga kelumpuhan menyerang kaki dan tangannya. Kian hari ukuran kaki dan tangannya pun kian mengecil. Sampai kini usianya dua puluh tiga tahun, penyakit itu tak mau enyah darinya.

Bagi perempuan, dua puluh tiga tahun adalah usia yang cukup ideal untuk menikah. Tapi jangankan berharap untuk bisa menikah, untuk sekedar jatuh cinta saja ia tak berani. Ada rasa pesimis untuk mendapatkan cinta. Sebab akankah ada pria yang jatuh cinta kepada gadis yang tak berdaya seperti dirinya?

“Saf-sah”, yang berarti “gurun yang tandus”. Itulah nama yang dimiliki gadis lugu berkulit putih yang tak berdaya itu. Seperti namanya, hatinya pun tandus dari tumbuhnya cinta para pria.

Tak akan pula ia membiarkan hatinya ditumbuhi rasa cinta terhadap para pria. Tak ingin patah hati ia karena itu. Karena cinta yang tak berbalas, akan terasa menyakitkan.

***

            “Siapapun gadis pilihanmu, kami akan menerima dengan suka-cita,” lembut suara Bu Suryana hinggap di telinga anaknya, saat anaknya mengemas barang-barang untuk bekal tinggal di kampung terpencil.

            “Baiklah, Ma, Pa! Sepulang melakukan observasi yang menjadi tugas kantorku ini, ‘kan ku gandeng gadis yang ‘kan menjadi teman penghuni kamarku ini,” asal putra keluarga Suryana berucap, karena memang belum ada kandidat, atau sekedar teman dekat  akhwat.

            “Memang sudah seharusnya begitu, ‘kan?! Kau sudah mapan, usiamu juga sudah cukup, jadi tidak ada alasan bagimu untuk terus melajang,” tegas Pak Suryana mengingatkan.

            Dalam menentukan siapa yang akan menjadi teman penghuni kamar anaknya, Pak Suryana dan istri memang memberi kebebasan pada anaknya ini untuk memilih sendiri. Tanpa memandang miskin atau kaya, berparas cantik atau biasa, asal satu agama.

Tapi mengingat usia anak semata wayangnya ini yang sudah hampir melebihi batas wajar tuk terus melajang, Pak Suryana dan istri akhirnya memberi ketegasan pada anaknya untuk mau menerima Syakila, gadis pilihan mereka, bila saat pulang ia belum bisa menemukan gadis impiannya.

Syakila, adalah putri bungsu dari keluarga Patra Atmadja. Rekan kerja Pak Suryana. Ia seorang gadis yang cantik dan cerdas, hanya saja hati putranya keluarga Suryana ini merasa agak kurang sreg dengan Syakila, gaya hidup Syakila yang glamour kurang ia suka. Karenanya ia mau mencoba mencari sendiri dulu yang benar-benar sreg dengan hatinya.

            “Iya, aku janji, saat pulang nanti aku akan menikah dengan Syakila bila gadis impianku belum berhasil kutemukan juga. Tapi bila pada saatnya nanti aku berhasil menemukannya, giliran Mama dan Papa yang harus menepati janji untuk merestui kami.”

            “Ok. Deal!” serempak dan akrab Pak Suryana beserta istri berucap. Mereka semua sepakat.

***

“Saya orang baru di sini. Senang bisa bertetangga dengan Anda.”

Saf-sah langsung menenggelamkan wajahnya saat pria berkaca mata memperkenalkan diri padanya di balik daun jendela kamarnya.

Sebenarnya Saf-sah ingin bertanya; “Siapa namamu? Dari mana asalmu?”

Ah, tapi untuk apa? Tak perlu lah ku mengenalnya lebih jauh. Batin Saf-sah menepis keinginan dihati.

Di lain kesempatan, pria berkaca mata mendapati Saf-sah tengah dipeluk mesra oleh kursi tua di teras rumahnya. Seolah tak peduli dengan sikap Saf-sah yang selalu dingin terhadapnya, ia lalu menyapanya. “Melamun sendirian saja, Mbak?”

Lagi, Saf-sah diam saja. Ia tak menjawab sapaan pria berkaca mata meski hanya dengan seulas senyum.

***

Sinar merah di ufuk barat telah lenyap, pria berkaca mata tak kunjung lewat. Sudah hampir seminggu ia tak terlihat. Meski hanya sekejap. Hanya bayang-bayangnya saja yang selalu berkelebat. “Ah, kenapa aku terus teringat pada pria berkaca mata itu?” gelisah menggelayuti hati Saf-sah. Dari pembaringannya, sesekali Saf-sah menengok ke jendela. Berharap sosok pria berkaca mata itu bisa menjelma.

Tak ada yang dapat menolak cinta rupanya. Meski Saf-sah tak berani mendongakkan diri pada sang cinta, cinta itu datang seperti memaksa, secara tiba-tiba.

“Kamu ada hati sama Zahir, Nak?” tanya Bu Jazimah, tetangga Saf-sah yang tak sengaja mendengar lirih kerinduan Saf-sah.

 “Zahir? Siapa dia?” tanya Saf-sah kaget, tiba-tiba ada suara seorang ibu di kamarnya.

“Pria berkaca mata yang sempat numpang tinggal di rumah ibu,” jawab Bu Jazimah sambil tersenyum.

“Jadi Zahir namanya?”

Bu Jazimah mengangguk

“Tak pantas rasanya, Bu, perak menginginkan emas.”

“Meski emas itu sangat berharap bisa memiliki perak, menurutmu tetap tak pantas perak berbaur dengan emas?”

“Maksud ibu?”

“Andai dari dulu ibu tahu kamu ada hati pada Zahir, tentu saat Zahir meminta ibu untuk nyomblangin dirinya denganmu, ibu pasti langsung bergerak.  Tapi saat itu, ibu enggan berucap, karena merasa waktunya kurang tepat, mengingat dirimu begitu menutup diri terhadap para pria.”

“Ibu jangan bercanda! Apa yang diharapkan oleh seorang pria dari gadis sepertiku? Aku tidak cantik. Kayak juga tidak. Pintar apalagi. Yang ada, hanya ketidakberdayaan. Ku tak berdaya untuk mengurus diri sendiri. Apalagi mengurus oranglain. Jadi mana mungkin ada yang mau denganku.”

“Sudah ibu sampaikan pada Zahir semua yang menjadi kegundahanmu itu. Ingin kamu mendengar jawabannya?”

“Boleh, Bu.”

Bu Jazimah lalu menceritakan perbincangannya dengan Zahir beberapa waktu lalu,

“Aku ini sedang mencari calon istri, Bu! Bukan pembantu. Jadi jika Saf-sah tidak pandai mengerjakan apa yang biasanya perempuan kerjakan, ya tak masalah. Karena memang sudah seperti itu keadaannya. Aku juga bukan sedang mencari seorang calon model, jadi tak perlu ku memilih yang cantik. Dan jikalau Saf-sah tak pintar, toh aku bukan sedang mencari kaum intelektual,” kata-kata itu, mantap terucap dari bibir Zahir saat ia meminta Bu Jazimah nyomblangin dirinya dengan Saf-sah.

“Tapi bukankah semua itu juga biasanya menjadi bahan pertimbangan para pria dalam memilih calon istri?” Bu Jazimah mencoba mendalami keseriusan Zahir terhadap Saf-sah.

“Bagi orang lain mungkin iya, tapi bagiku tidak. Aku hanya ingin mendapatkan seorang istri yang apabila ku memandangnya ia meneduhkan, dan apabila ku meninggalkannya ia menentramkan. Dan kurasa, semua itu ada pada diri Saf-sah.”

“Tak ada yang istimewa pada diri Saf-sah, Za! Bahkan, ibu tak pernah melihat ia tersenyum meski hanya sekali,” pernyataan Bu Jazimah ini benar-benar seperti menyudutkan Saf-sah, tapi sebenarnya Bu Jazimah hanya ingin mengetahui sejauh mana keseriusan Zahir.

“Jutru ku ingin membuat ia menjadi istimewa. Ku ingin menjadi orang pertama yang membuat ia tersenyum. Dan selalu tersenyum. Hingga Tuhan memberhentikan ia tuk tersenyum.”

Terharu dan mengeluarkan air mata Saf-sah mendengarnya. Ia merasa menjadi orang yang paling istimewa diantara yang istimewa.

Hatinya yang tandus seperti terkucuri air kasih. Mendadak gembur dan subur. Ditumbuhi banyak pepohonan cinta. Tak ubah seperti hutan yang hijau. Nampak indah sekali. Sekat-sekat yang membentengi ruang hatinya dari para penanam cinta, perlahan mulai menampakkan celahnya.

 

***

Mengetahui Saf-sah mulai mau membuka hatinya terhadap Zahir, Bu Jazimah tak mau membuang waktu. Saat itu juga, masih di kamarnya Saf-sah, Bu Jazimah langsung mengontak Zahir yang sejak seminggu lalu telah kembali ke kota.

Deg-degan dibuatnya juga Saf-sah saat Bu Jazimah menyampaikan kesediaannya pada Zahir.

“Hmm….benar begitu, Bu?” terdengar ada keraguan dari suara Zahir. Mungkin karena sebelum-sebelumnya acuh selalu Saf-sah kepadanya.

“Kapan ibu berbohong?”

“Suatu kebahagiaan bagiku bila bisa memiliki Saf-sah.”

Bahagia pula Saf-sah mendengar perkataan Zahir ini. Bisa dicintai oleh pria berhati malaikat seperti Zahir, adalah hal yang tidak pernah terpikirkan ataupun di impikan olehnya. Ia merasa seperti menjadi Cinderella yang dijemput oleh pangeran penghilang duka yang membawa sejuta bahagia. Lukisan bahagia nampak begitu nyata di sketsa wajahnya. Baru kali ini ia bisa sebahagia itu.

“Lalu kapan kamu mau menjemput calon bidadarimu?”

“Inginnya secepatnya. Tapi…….” tenggorokan Zahir seperti tercekat.

“Kenapa, Za?” Bu Jazimah tiba-tiba merasa cemas. Begitu pun dengan Saf-sah. Ada perasaan takut. Tapi entah takut apa.

“Ibu ingat curhatku dulu tentang janjiku pada orangtuaku?”

Tanpa harus mengundang keras, memori Bu Jazimah yang berisi curhatan Zahir langsung muncul.

“Nah, baru kemarin aku menepati janjiku itu.”

“Kau sudah akad dengan Syakila?”

“Iya, Bu! Karena saat pulang aku tak berhasil memboyong Saf-sah, orangtuaku menuntut janji yang kuucap dulu. Yakni menikah dengan Syakila. Mengingat sepertinya tidak ada ruang dihati Saf-sah untukku, akhirnya aku menyerah. Karena kasihan juga orangtuaku kalau harus terus menunggu tuk mendapatkan menantu. Pernikahan itu segera ku tunaikan, sebagai baktiku pada orangtuaku. Karena mereka pun sudah cukup bijaksana memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih dulu.”

            “Anak yang baik…” lirih Saf-sah perih.

Hatinya serasa terkoyak-koyak. Baru saja kebahagiaan itu menghampirinya, kini sudah terhempas kembali.

 “Maafkan ibu, Saf-sah! Tak berhasil mempersatukan kamu dengan Zahir,” ucap Bu Jazimah lemah sambil menutup telpon. Handphone-nya langsung ia lepas begitu saja. “Andaikan dari dulu ibu memenuhi permintaan Zahir untuk nyomblangin kalian, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin sekarang kalian sudah bersatu. Ah ini memang salah ibu. Terlambat bersuara.”

“Tidak apa-apa, Bu! Mungkin belum jodohnya saja,” Saf-sah berusaha untuk ikhlas. Namun nun jauh di lubuk hatinya, ia menyesali dirinya sendiri yang sudah terlalu menutup diri. Sehingga kesempatan itu lenyap begitu saja.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Yesi Nur Esti

seorang tunadaksa asal Cianjur

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *