GULALI MERAH

Matahari siang ini sepertinya tidak terlalu terang. Sisa-sisa hujan tadi membuat udara menjadi sedikit lembab. Aroma hujan membuat siapa saja ingin sekali hanya duduk-duduk di teras sambil minum teh. Tetapi ada langkah kaki seorang anak remaja kini sedang menelusuri jalanan yang dipenuhi dengan genangan air. Ia melangkah dengan hati-hati agar sepatunya tidak menginjak genangan air di permukaan jalan yang tidak rata. Maka dari itu langkahnya sedikit lebih lambat. Seharusnya kemarin ia tidak mencuci sepatunya kalau tahu hari ini akan hujan. Ia berjalan dengan wajah sedikit mengkerut karena sibuk memilih jalan yang aman untuk ditapaki. Tetapi wajah itu tiba-tiba menjadi cerah ketika dari kejauhan ia melihat sosok yang selalu ia temui setiap hari.

 

“Bang Tem!” teriak Maharani kepada orang yang membawa dorongan yang berisi dagangannya. Tetapi karena sosok itu masih tidak menoleh, maka dari itu ia berteriak lebih kencang, bahkan ia tidak peduli lagi dengan niat awalnya yaitu berjalan hati-hati agar sepatunya tidak menginjak genangan air, karena kini ia telah berlari sambil berteriak.

“Bang Tem woi bang Teeemmmm!”. Sosok itu berhenti dan menoleh ke belakang. Bahkan yang menoleh bukan hanya dirinya, tetapi orang-orang yang berada di teras-teras rumah.

 

“Walah mba Rani?” sosok itu heran, ternyata tubuh mungil pelanggannya itu memiliki suara sekeras itu. Dan secara bersamaan juga ada seorang pemuda yang menghampiri bang Tem sambil menggendong seorang anak kecil berusia dua tahun.

 

“Mas” panggil pemuda itu dan bang Tem yang merasa dipanggil menoleh ke depan kembali dan melihat seorang pemuda berkulit putih telah berada di dekatnya

“Eh iya mas? Mau beli apa?” tanya bang Tem ramah.

 

Pemuda itu tersenyum dan bertanya kepada keponakannya, “Tino, kamu mau beli yang mana?”. Anak kecil itu menatap omnya lalu menatap ke atas dorongan warna-warni itu.

“Mau itu” katanya sambil menunjuk ke arah gulali yang ternyata hanya tinggal satu. Bang Tem langsung mengambil gulali itu ke Tino. Tetapi sebelum ia mengambil gulali dari tangan bang Tem, Maharani  tiba-tiba sudah berada di samping gerobak itu berseberangan dengan pemuda tadi.

 

“Bang Tem aku beli gulalinya” katanya tanpa memandang ke arah bang Tem karena ia sibuk mengatur nafas sehabis berlari. Bang Tem yang merasa tidak enak berkata dengan sedikit bersalah.

“Yah mba, gulalinya udah abis”. Maharani yang melihat hal itu mengangkat wajah dan melihat bang Tem sedang memegang gulali merah di tangannya.

“Lah yang dipegang itu apa?” katanya sambil menunjuk ke arah gulali itu.

“Ini udah dibeli sama masnya” kata bang Tem dan menyerahkan gulali itu ke Tino yang menerimanya dengan mata berbinar. Ia memeluk plastik gembung itu yang ternyata ukurannya cukup besar.

 

Maharani baru menyadari bahwa ada orang di seberangnya. Pemuda itu dan Maharani saling menatap satu sama lain. Dan saat pemuda itu tersenyum, dampak yang dirasakan Maharani begitu dahsyat. Tiba-tiba jantungnya berdetak begitu cepat. Ia mungkin sering melihat cowok ganteng, bahkan di SMA-nya pun ada beberapa cowok ganteng yang digilai oleh teman-temannya, tetapi tidak ada yang membuat jantungnya seperti ini. Senyum pemuda itu begitu manis, bahkan tatapan matanya begitu teduh.

“Maaf ya, gulalinya sudah saya beli”. Katanya meminta maaf. Dan suara bariton itu masuk ke pendengaran Maharani membuat otaknya penuh dengan ilusi. Maharani mengerjapkan matanya dan tersenyum lebar.

“Gak apa-apa” katanya sambil mengatur nafasnya yang kini sedikit bergemeruh. Bukan karena habis berlari tadi, tetapi karena kini paru-parunya yang mengembang aneh.

 

“Jadi mba Rani mau beli apa?” tanya bang Tem membuat Maharani kembali ke dunia nyata.

“Hmmmm…” Maharani yang tersedot kembali ke tubuhnnya jadi buruburu melihat ke dorongan bang Tem. Tetapi sepertinya ia tidak tertarik dengan cemilan manis yang lain. Maka dari itu ia menggelengkan kepala.

“Gak bang” sambil melirik ke arah pelukan Tino dan kembali melirik pemuda itu.

“Ya udah besok abang simpenin satu buat mba Rani” kata bang Tem dan memberikan kembalian ke arah pemuda itu. Lalu bang Tem berlalu pergi beserta dengan dorongannya.

 

Mereka masih berdiri di sana. Pemuda tadi menurunkan Tino dan membuka bungkusan gulali tadi. Maharani yang melihat hal itu kini ada perasaan sedikit tidak rela, tetapi tidak mungkin ia berebut dengan anak kecil yang berbicara saja masih belum benar. Akhirnya ia hanya menatap gulali itu dan sedikit-sedikit melirik pemuda tadi. Ia melakukan itu bukan kode bahwa ia ingin sekali diberi gulali itu walaupun kalau pemuda itu mau memberikannya, ya dengan senang hati Maharani akan menerimanya. tetapi Maharani melakukan hal itu karena entah mengapa wajah pemuda ini begitu sedap dipandang. Dan mata itu terperangkap ketika kedua mata itu menatap Maharani dengan perasaan sedikit bersalah. Pemuda itu berdeham sedikit untuk melegakan tenggorokannnya.

“Maaf ya, gulalinya sudah saya beli” katanya dan menatap Maharani lekat ingin tahu ekspresinya. Karena dari tadi ia memergoki remaja perempuan ini melirik ke arah gulali dan dirinya.

“Kalau kamu mau, kkita bisa makan bareng-bareng” tawarnya dan menggandeng Tino ke arah taman di seberang jalan. Dan Maharani menganggap bahwa ini adalah sebuah ajakan akhirnya mengikuti langkah pemuda itu.

 

“Nama kamu siapa?” tanya pemuda itu setelah membersihkan tempat duduk semen itu dengan sapu tangannya dan mendudukan Tino ke atasnya.

“Ehmmm” Maharani yang ditanya seperti itu kontan berseri-seri senang. Lalu menjulurkan tangannya.

“Nama aku Maharani” jawabnya manis. Pemuda itu menyambut tangan Maharani dan memperkenalkan diri.

“Nama saya Subangga”. Dan jabatan tangan itu terlepas. Dan perasaan Maharani begitu membungah karena tangan itu terasa hangat.

 

“Ayo duduk” perintahnnya yang langsung dituruti oleh Maharani. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan duduk bersebelahan dengan cowok ini.

“Kamu sekolahnya sudah kelas berapa?”. Lalu ia menyodorkan tangkai gulali merah yang masih utuh. Maharani menjadi heran.

“Lho… Ini…”. Subangga tersenyum geli melihat ekspresi Maharani yang lucu.

“keponakan saya tidak boleh makan gula terlalu banyak”.

“Tapi…” “Tino dikasih beberapa suap saja. Itu pun sudah terlalu banyak. Dia gak mungkin makan semuanya” katanya sambil terus menyodorkan gulali merah itu.

“Nanti dia…” Maharani menunjuk ke arah Tino yang menatapnya polos.

“Saya sudah bilang sama dia kalau gulalinya harus dibagi dua sama kamu” “Dan dia…?” “Dia setuju. Karena saya bilang laki-laki sejati itu mendahulukan perempuan” “Dan dia paham begitu?”. Subangga tertawa kecil dan mengangguk lalu menyodorkan gulali itu ke arah Maharani. Dan akhirnya ia mengambil gulali itu dan memakannya. Tetapi karena dipandangi seperti itu, sehingga ia hanya bisa memasukkan dua suap gulali ke mulutnya. Dan sepertinya mukanya terasa panas. Saat Subangga melihat bahhwa pipi Maharani merona akhirnya ia bertanya lagi untuk mengalihkan perhatiannya.

 

“Jadi kamu kelas berapa?” tanya Subangga lalu menerima sodoran gulali dari tangan Maharani.

“Aku kelas dua SMA kak” jawabnya dan membersihkan tangan dengan tisue yang ia keluarkan dari kantung seragamnya. Subangga mengangguk paham sambil melihat Tino makan gulalinya dengan gembira. Kedua kakinya yang kecil  ia gerak-gerakan. Subangga lagi-lagi tersenyum. Maharani yang melihat itu terpanah, karena yang manis kini bukan hanya gulali yang tadi dia makan, tetapi senyuman pemuda ini juga memiliki efek manis yang sama.

 

“Kalau begitu saya harus kembali, nanti kakak saya nyariin anaknya” kata Subangga dan beranjak berdiri sambil menggendong Tino yang sudah selesai makan permen gulalinya.

“Oh…” Jawab Maharani dan ia ikut berdiri di samping Subangga.

“Ehm… Kak…” panggil Maharani ragu-ragu. Subangga yang dipanggil menoleh. “Aku boleh minta nomor telepon kakak gak?” tanyanya dengan jantung sedikit berdebar karena takut ada penolakan. Subangga tertawa lalu memberikan sederet angka.

“Tapi saya jarang berada di rumah, karena saya bekerja di luar kota. Ini kebetulan saja baru pulang”. Maharani mengangguk paham tetapi tetap tersenyum.

“Kalau begitu nanti malam aku boleh telepon gak?” tanyanya berani karena mulai percaya diri. Ternyata Subangga ini orang yang baik dan ramah.

“Boleh saja” katanya dan berlalu pergi sambil menggendong Tino yang melambaikan tangan ke arahnya dengan riang.

 

Malam harinya Maharani menelepon Subangga. Pembicaraan itu tidak terlalu panjang. Dan mereka pun membuat janji untuk bertemu esok hari di tempat yang sama. Sepulang sekolah pun Maharani buru-buru keluar dari sekolah dan berjalan menuju taman. Di sana ada Subangga dengan bungkusan gulali di tangannya.

 

Mereka makan gulali bersama. Banyak obrolan tercipta di antara mereka. Dari persoalan di sekolah sampai bercerita tentang kakak perempuannya yang bekerja juga di luar kota. Dan selama empat hari berturut-turut mereka buat janji untuk bertemu di taman itu dengan gulali merah di tangan masing-masing.

 

“Dulu saya tidak begitu suka gulali merah. Tetapi sejak bertemu kamu ternyata gulali ini enak juga sebagai teman ngobrol” katanya dan mencuci tangannya dengan botol air yang ia bawa dari rumah.

(Klik next untuk baca bagian selanjutnya)

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Precilia O

Saya orang yang mudah tersenyum

20 komentar

  1. nice story… memberikan gambaran dan penyajian yg sangat mudah dimengerti tapi memiliki banyak arti…

  2. Bagus , bgmna kalau identitas Rani itu di jelaskan lbh awal . Dan apa itu gulali ?. Bravo Prissi .

  3. Nice strory… light hearted one… keep writing Eci… one day you will publish a hard cover story book… who knows!

  4. terima kasih sudah ikut berkontribusi. Bagikan ke sebanyak mungkin orang untuk mendapat suka dan komentar sehingga jadi cerpen terfavorit. Tetap semangat dan terus produktif berkarya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *