Hak Penyandang Disabilitas Tak Datang Hanya dengan Workshop dan Konkow-Konkow

Pertengahan pekan ini aku kembali mewakili Kartunet.com untuk menghadiri acara seputar perlindungan hak penyandang disabilitas dan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB atau UNCRPD. Acara diadakan oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) bekerja sama dengan Konsorsium Nasional (Konas) Difabel dan didukung oleh UNESCO dan Australia Indonesia Justice Partnership (AIJP) di Hotel Shangri-La (11 – 12 Juni). Pertemuan yang cukup mewah bukan jika melihat dimana lokasi diadakannya? Kegiatan seperti ini sering diadakan khususnya pasca diratifikasinya UNCRPD oleh DPR RI dua tahun lalu. Namun dalam tulisan kali ini aku tidak akan banyak membahas mengenai jalannya kegiatan yang bertajuk “National Workshop on Multistakeholders of Person with Disability Rights Protection”, akan tetapi akan meninjauh hal-hal lain di luarnya.

Aku baru datang sekitar jam 1 siang yang seharusnya dimulai jam 9 pagi karena harus mengikuti audiensi dengan gubernur DKI terlebih dahulu di Balai Kota. Ketika datang, yang seharusnya di jadwal sudah jam makan siang, ternyata masih berlangsung diskusi yang pembicara sumbernya saat itu Mr. Shuaib Chalklen, UN special Rapporteur on Disability, asal Afrika Selatan. Pada pertemuan ini, diundang berbagai Disabled People Organization (DPO) dari berbagai daerah di Indonesia yang nanti dapat dilihat di notulensi acara dua hari yang diattach di akhir tulisan. Dari sana juga diketahui bahwa agenda pada pagi hari setelah sambutan yaitu diskusi yang bertujuan untuk perkenalan organisasi, identifikasi masalah yang dihadapi, tantangan dan praktik terbaik untuk mengatasinya. Dapat disimpulkan bahwa persoalan utama isu disabilitas di Indonesia yaitu tak adanya sinergitas antar organisasi dan pemangku kepentingan lainnya. Maka hasil yang diharapkan pascakegiatan yaitu disusunnya Rencana Aksi Nasional (RAN) yang dapat dipakai oleh para pemangku kepentingan di untuk bekerja bersama di bidangnya masing-masing dalam satu arahan yang disepakati.

Setelah diskusi demi diskusi, akhirnya dirumuskan empat prioritas isu yang perlu dijalankan oleh para pemangku kepentingan yang harusnya lima yaitu pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan legislasi. Kemudian empat prioritas itu dijabarkanl agi ke dalam rencana aksi selama lima tahun, sumberd aya yang diperlukan, dan strategi pencapaiannya. Sebetulnya empat prioritas itu belum disepakati secara mufakat, karena terbatasnya waktu, fasilitator mengambil suara terbanyak.

Menurutku, ada isu seperti aksesibilitas, akses teknologi informasi, dan kepemudaan yang cukup penting untuk juga dijadikan prioritas. Dimana aksesibilitas adalah dasar untuk penyandang disabilitas mencapai kemandirian, dan teknologi informasi serta pemuda adalah prioritas jangka panjang. Namun isu tersebut nampaknya belum menjadi perhatian sebagian besar peserta yang umumnya berasal dari para senior aktivis disabilitas. Mereka masih menggunakan pemikiran jika untuk makan saja sulit, bagaimana mau memberikan tanggung jawab pada yang muda-muda. Sebuah yang amat disayangkan menimbang perkembangan global yang semakin melibatkan peran pemuda dalam pembangunan. Memang perlu ada prioritas pada hal-hal yang masih belum tertanggulangi seperti kesejahteraan penyandang disabilitas, akan tetapi jika para pemuda hasil pendidikan inklusif yang sedang berkembang ini tidak dilibatkan, maka pembangunan tak dapat berkelanjutan.

Selain itu, mungkin satu hal yang perlu dikritisi adalah sering adanya event serupa dengan biaya tak sedikit namun hasil yang diharapkan nihil. Sejak ratifikasi UNCRPD tahun 2011, beberapa kali event serupa diadakan. Isinya tak jauh dari soal sosialisasi dan mendorong para pemangku kepentingan untuk implementasi konvensi tersebut. Kegiatan mahal di hotel-hotel atau gedung pertemuan terkadang hanya berujung pada rekomendasi dan wacana. Padahal untuk memahami UNCRPD, dapat dengan dibagikan softcopy UU no 19 tahun 2011 untuk kemudian dipelajari masing-masing. Tak perlu menghabiskan dana yang terkesan proyek semata.

Setidaknya, hal ini juga diamati oleh Mr Shuaib Chalklen yang mempertanyakan soal monitoring dan evaluasi pasca-workshop. Beliau juga sempat mengeluarkan pernyataan bahwa sinergitas antar DPO dan pemangku kepentingan lainnya tidak terbangun karena sejauh ini program yang diadakan masih sebatas proyek. DPO atau organisasi bergerak tergantung oleh proyek, bukan berdasar pada Cetak Biru pergerakan semesta. Memang tantangannya adalah para DPO yang tidak dapat dana tetap dari pemerintah. Untuk menjalankan kegiatannya, mereka harus mencari donor yang biasanya berdasar pada tiap proyek. Maka, kegiatan akan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tujuanb ersama yang disepakati.

Dana yang diperlukan untuk mengadakan kegiatan seperti workshop kali ini bukan sedikit. Dari sisi penginapan, kamar di Shangri La hotel dalam semalam berkisar antara 2,3 hingga 3juta untuk dua tamu. Sebuah jumlah yang apabila diinvestasi untuk prioritas jangka panjang seperti pelatihan akses teknologi informasi atau pengembangan pemuda akan lebih dirasakan dampaknya kelak. Karena tak ada harapan besar nampaknya dari generasi senior saat ini yang masih berkutat pada strategi-strategi konvensional. Membuat event besar yang menghabiskan biaya tak sedikit, setelahnya bubar dan tak ada parameter pemantauan hasil. Di sisi lain, jika generasi muda tidak diberdayakan dan punya kepemimpinan yang tinggi, maka kelak tak akan jauh berbeda pola pikirnya dengan generasi saat ini. Ambil contoh sedikit ketika aku ajukan soal pemberdayaan pemuda. Tanggapan dari pihak Dirjen Rehabilitasi Orang dengan Kecacatan (ODK) Kementrian Sosial hanya sekedar “ya benar, majulah pemuda”. Sebuah pernyataan amat klise saudara-saudara! Entah mau dibawa kemana perjuangan ini jika masih dipegang oleh generasi senior yang meski tak semua, tapi kebanyakan berpola konservatif.

Tak majunya perjuangan advokasi pada hak-hak disabilitas dapat dilihat sekilas pada strategi penyelenggaraan acara. Jika di luaran sana kegiatan serupa diadakan dengan dukungan teknologi informasi seperti live streaming, live twit, dan real time twit yang tampil di layar bagiand epan, maka event masih dibuat konvensional dengan para pembicara yang tentunya bikin mengantuk. Padahal, kegiatan-kegiatan terkait isu disabilitas perlu untuk dibuka kepada umum melalui berbagai media teknologi, agar isu yang berkembang tak hanya pada kalangan terbatas, tapi lebih luas lagi. Apalagi biasanya perwakilan yang hadir dalam pertemuan serupa itu 4l alias “lo lagi lo lagi”. Bayangkan jika kegiatan yang didanai cukup besar itu dibuat lebih interaktif dan dapat diketahui oleh masyarakat luas via internet. Bayangkan pula jika banyak peserta yang ikut membuat live twit dan langsung menuangkan pendapatnya via twitter yang juga akan muncul di layar bagian depan. Tentu ide dan wacana akan semakin tersebar, dan diskusi tak terbatas oleh waktu dan fisik, terutama buat yang tunarungu serta tunanetra. Aku berfikir jika akan diadakan event serupa, perlu dilibatkan rekan-rekan blogger yang tentu tertarik dengan isu baru ini dan dapat ikut menyuarakan isu disabilitas via blog dan followers mereka.

Terakhir, bukan aku tak setuju dengan kegiatan sosialisasi atau lokakarya terkait UNCRPD. Konvensi baru itu perlu untuk diketahui oleh semua orang, terutama para pemangku kepentingan. Namun, ada baiknya jika paradigma konvensional diubah ke ide-ide yang lebih muda dan melibatkan lebih banyak orang. Sebab, perjuangan ini kan tak dapat dilakukan sendiri, melainkan perlu dukungan dari segenap masyarakat.(DPM)

atachments:

  1. Notulensi Lokakarya Disabilitas 11-12 Juni
  2. kp_dpo copy
  3. Presentasi Garuda Indonesia by PujoBroto
  4. Power-Point-MONEV CRPD_Setya Adipurwanta_DM
  5. Lokakarya Konas Difabel

Last Updated on 2 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *