Hati dan Harapan

Wanita itu memandangi objek di hadapannya. Terpancar kesedihan yang tersirat dari sorot matanya mana kala ia melihat foto pernikahannya dengan sang suami delapan tahun silam. Membuang napas, lalu jemari-lentiknya meraih bingkai foto yang terletak di atas meja samping kasur. Memang selalu seperti ini. Kala dirinya ingin berlabuh ke dunia mimpi, wanita itu pasti membawa serta foto usang itu dalam dekapannya. Dan akhirnya dia menangis lagi.

Setelah mengambil foto tersebut, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu, menguncinya, mematikan lampu utama, dan menyalakan lampu kecil samping kasurnya. Kemudian ia menenggelamkan dirinya di dalam selimut tebalnya. Tidak. Ia tak mau putra satu-satunya melihatnya tengah menangis.

Jemarinya bergetar ketika ia menyentuh foto suaminya. Ia berharap, sangat amat berharap suaminya menemaninya saat ini. Mendekapnya, berbagi kehangatan seperti saat rumah tangganya masih baik-baik saja. Ia tak menginginkan adanya perceraian. Berbeda dengan suaminya yang menggugat cerai dirinya padahal ia tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Seingatnya ia selalu melayani suaminya dengan baik, mendidik anaknya dengan semestinya, dan menjadi sandaran ketika keduanya tengah rapuh. Ia masih ingat bagaimana ia menemukan sebuah amplop berwarna coklat di depan rumahnya dan menangis tersedu ketika ia membaca surat tersebut yang ternyata surat itu merupakan surat gugat cerai dari suaminya sendiri. Kerap kali putranya bertanya letak keberadaan ayahnya, dan ia hanya dapat berkata sebisanya seraya menahan butiran air mata yang dapat meluncur kapan saja.

Lalu apa penyebab utama suaminya tega meninggalkanya demi wanita lain? Memang tak dapat di pungkiri ia tak secantik dan semenarik dulu ketika ia masih remaja dan masih menyandang status gadis. Tubuhnya pun tak seproposional dulu setelah ia melahirkan putra pertamanya. Tetapi apakah hanya alasan itu suaminya tega meninggalkanya dan anaknya yang padahal masih sangat amat membutuhkan figur seorang ayah?

“Mas Dega…” lirihnya sendu. Haruskah Dega meninggalkan keluarga kecilnya demi wanita yang lebih menarik dari dirinya? Pantaskah ia melakukan itu? Di mana janji-janji manis ketika ia ucapkan di atas pelaminan dan disaksikan banyak hadirin yang datang kala itu? Kemanakah kandasnya cinta murni yang sempat terukir dengan manis? Sungguh teramat sangat ia tak mengenal Dega yang sekarang.

Beberapa waktu lalu pria itu sempat menghubunginya perihal surat perceraian tersebut sudah di tangannya atau belum. Sebagai seorang wanita, intuisinya mengatakan bahwa Dega yang sekarang berbeda dengan Dega yang ia kenal dulu. Ia juga sempat memohon untuk membatalkan perceraian tersebut. Tetapi papa dari anaknya tersebut lebih memilih wanita simpanannya yang telah mengandung darah dagingnya. Dega mengatakan bahwa wanita simpanannya yang ia tahu bernama Syifa lebih membutuhkannya. Jantungnya terasa tertohok mendengar kejujuran yang terucap dengan nada datar dan terkesan gamblang dari mulut Dega tampa ada rasa penyesalan sedikitpun.

“Aku sangat mencintaimu. ” Wanita itu tahu dirinya seperti orang bodoh, menangisi hal yang hanya berbuah kesia-siaan belaka. Dega dengan suka rela melepaskan benang merah yang terjalin di antara mereka beberapa tahun belakangan, tapi sampai kapan pun ia tidak akan merelakan keputusan Dega yang ingin mengakhiri semuanya secara sepihak.

Air mata bening itu perlahan mengalir dan menganak sungai di pipinya. Ia harus tidur malam ini karena Dega mengatakan bahwa besok pagi ia akan kerumah mereka dan mengambil barang-barang miliknya. Jika tidak karena putranya, rasa-rasanya ia ingin menghilang saja dari dunia fanah ini.

 

Pagi-pagi sekali ia mendengar sebuah ketukan ringan dari balik pintunya. Dengan reflex ia bangkit dari kasurnya, menggulung rambutnya asal dan membukakan pintu. Ia melihat seorang bocah laki-laki yang tengah mengenakan piama biru muda di hadapannya. “Reza?” Ia tak dapat menolak. Reza mengatakan bahwa dirinya habis mimpi buruk dan sekarang ia meminta di temani tidur olehnya. Kemudian ia menggandeng tangan putra sematawayangnya tersebut ke arah ranjangnya, menidurkannya, dan ia ikut berbaring di samping bocah laki-laki tersebut.

“Ma, kenapa papa tidak pulang?” sambil terkantuk-kantuk Reza menanyakan itu. Ia meringis dan memikirkan alasan untuk membohongi putranya. Ya setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tak mau Reza membenci ayahnya sendiri. Ia sangat menyayangi Dega, sama halnya dengan ia menyayangi Reza.

“Papa sibuk..” katanya seraya mengelus kepala putranya. Memandang jauh ke dalam mata Reza seolah ia dapat melihat Dega di sana. Apakah Dega tahu, ataukah Dega perduli ia hancur karenanya?

“Tapi aku kangen papa..,,” gumam Reza pelan. Wanita itu menarik napas saat dirasanya paru-parunya membutuhkan banyak pasokan oksigen untuk menghilangkan sesak yang tiba-tiba.

“Aku juga merindukan papamu…” katanya dalam hati seraya memeluk putranya erat. Ia merindukan Dega, sangat merindukannya meski dia tahu pria itu tidak merindukannya. “Sangat merindukannya…”

 

Pukul delapan pagi Dega berkunjung ke rumahnya dengan raut wajah yang dingin, seakan tidak ada kehangatan yang terpancar di bola mata pria tersebut. Reza yang mengetahui kedatangan papanya yang sangat ia rindukan itu langsung berhambur untuk memeluk tubuh tegap sang papa, namun hati bocah laki-laki itu mencelos saat sang papa hanya diam tak bergeming.

Tampa mereka sadari sepasang bola mata memerhatikan dari jauh dengan sorot mata yang sangat amat terluka. Ya. Boleh saja Dega tak lagi mencintainya, tapi bisakah pria itu tidak bersikap dingin pada darah dagingnya sendiri? Memunculkan diri, lantas pemilik bola mata tersebut meminta Dega untuk masuk ke kamarnya di karenakan ia harus bicara empat mata dengan Dega. Wanita itu menyadari bahwa tidak ada lagi cinta di hati Dega. Hal itu hampir membuatnya putus asa jika tidak ia mengingat Reza yang masih sangat membutuhkan kehadirannya.

“Tidak usah mendramatisir keadaan. Apa pun kejadiannya kau bukan siapa-siapaku lagi.”

Suara datar tampa emosi tersebut terus memperlebar luka hatinya. Ya dia tahu hal itu, tapi apakah harus lebih di perjelas lagi? Apakah peria itu tak cukup melihat dirinya hancur saat ini?

“Reza putramu, tak bisa kah kau membahagiakan hatinya?” Wanita dengan rambut kecoklatan tersebut berusaha untuk menyuarakan isihatinya dengan emosi yang tertahan. “Ia sangat merindukanmu,” ia menggantung kalimatnya, “sama seperti aku yang sangat merindukanmu…..” dan kalimat selanjutnya hanya mampu ia lantunkan dalam hati. Percuma. Ia merasa percuma menyuarakan itu semua mengingat tak ada lagi harapan untuknya walau hati kecilnya sangat berharap Dega berubah fikiran.

“Aku hanya ingin mengambil beberapa barang,” Dega yang tidak suka berbasa-basi langsung menyuarakan maksudnya. Ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha agar dia tidak menangis dan membiarkan Dega melihatnya lemah. “Aku tidak ingin berlama-lama.”

Ia tak dapat lagi menyembunyikan kekecewaannya. Kemana Dega yang dulu yang penuh dengan cinta dan kehangatan? Kemudian Dega meninggalkan dirinya di ruang tamu yang masih mematung di tempatnya. Sikap dan tingkah laku Dega memperlebar luka hatinya. Ia berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya. Demi Reza putranya. Dan dirinya sendiri. Sungguh ia tak sanggup kehilangan keduanya. “Mas, bisakah kau membatalkan perceraian ini?”

Dega menoleh ke belakang, meemandang Dirinya lewat ekor matanya. “Aku lebih memilih Syifa dan calon anak kami. Mereka lebih membutuhkanku daripada kalian.”

Bisakah, dapatkah, atau bolehkah ia mengeluarkan sesak di dadanya? Jika ia sanggup, wanita itu ingin berteriak dan mengatakan pada Dega bahwa cintanya lebih besar dari perempuan yang mungkin hanya menginginkan materi yang Dega miliki saat ini. Lagi pula putranya lebih membutuhkan figure seorang ayah untuk menjadikannya panutan hidupnya kelak.

“TTapi kam-

“Sudahlah.”

 

Reza menangis cecengukan dalam dekapan mamanya. Memang sedari tadi diam-diam bocah kecil itu menguping pembicaraan kedua orang tuanya dari balik pintu kamarnya. Melihat itu semua Dega tak berusaha untuk ikut menenangkan Reza yang notabene adalah anaknya sendiri. Menurut pria itu cepat atau lambat Reza harus tau yang sebenarnya.

“Ke-kenapa? Kenapa papa lebih memilih meninggalkan kita? Papa sama mama gak boleh pisah.” kata Reza seraya menggenggam baju sang mama erat. Wajah Reza sudah memerah sempurna karena tangisannya.

Dega hanya memandang ibu-anak itu dengan pandangan datar. “Karena papa sudah tidak mencintai mamamu lagi.” sahut Dega skarkistik.

Mata wanita itu membulat. “Mas, kau boleh membentakku sesukamu, tapi apakah kau tidak bisa berbicara dengan lembut di depan Reza? Dia masih kecil, dia anak kita, dia anakmu juga!!” Ntah keberanian dari mana ia membentak Dega dengan tatapan mata yang tegas. Di mata itu terlihat luka dan amarah yang tersirat. Namun Dega lebih memilih mengabaikannya. Dan itu semua membuat Reza mencengkram lengan mamanya erat. Terlihat aura ketakutan yang ketara di wajah bocah tersebut.

“Dia harus tahu yang sebenarnya,” Dega memberi jeda dan menarik napas, “selamat tinggal.”

 

Kedua pasang mata itu hanya dapat memandangi Dega dengan tatapan pilu. Setiap langkah kaki Dega seolah seribu sayatan di hati mereka. Ia menangis, dan Reza pun juga ikut menangis. Mereka saling menguatkan di atas keegoisan seorang pria yang lebih memilih bersama kekasih gelapnya

 

Dega hanya tidak tau, yang anggap saja pria itu tidak tau bahwa mereka sangat amat terluka di buatnya. Tapi wanita itu masih berharap bahwasanya suatu saat nanti Dega akan pulang ke rumahnya, dan memeluknya erat, seperti kebiasaannya setelah ia pulang kerja. Dan ia pun akan senang tiasa menerimanya dengan hati terbuka dan sebuah senyuman yang tulus dari dalam lubuk hatinya.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Carinna Amagia

Saya cantik, berkepribadian baik. Orang mudah mengingat saya karena saya memiliki daya tarik yang berbeda dari perempuan lain.

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *