Helm Ayah Nomor Satu

Namaku Yono, aku tinggal di sekitar kali Progo, provinsi Yogyakarta. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan satu adikku, Jono, yang masih duduk di bangku kelas 3 SLB, setara dengan kelas 3 SD. Kasihan, dia seorang tunawicara. Aku sendiri baru saja menyelesaikan pendidikan di SMP, dan ingin melanjutkan ke SMA.

 

Walaupun ayah dan ibuku hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi mereka tidak mau aku menjadi buruh tani juga, mereka mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, sehingga aku bisa menjadi generasi perubahan di keluargaku. Jujur saja, di keluarga besarku, hanya aku dan adikku yang sekolah. Saudara-saudara sepupuku yang lain lebih memilih membantu orangtuanya di sawah.

 

Karena sedang liburan, tugasku sekarang hanyalah belajar, membantu pekerjaan rumah, dan mengantar-jemput Jono ke sekolah. Karena jarak antara rumahku dan SLB cukup jauh, maka dia harus diantar. Maklum, rumahku berada di daerah pedesaan, dan hanya ada satu SLB Negeri di kabupaten kami. Biasanya, ayahku yang mengantarnya, tapi karena aku sedang tidak sekolah, jadi aku yang mengantarnya.

 

Seperti biasanya, pagi-pagi sekali aku sudah siap mengantar adikku dengan helm di kepalaku. Kira-kira 45 menit berlalu, dan tibalah kami di sebuah SLB Negeri satu-satunya di kabupaten. Sambil menunggu Jono bersekolah, aku menunggu di kedai bubur kacang hijau depan SLB.

 

Entah karena diriku yang amah atau karena setiap hari aku menunggu di kedai itu, sampai-sampai sang penjual dekat denganku, Pak Sarwanto namanya. Pak Sarwanto tahu benar kebiasaanku yaitu, menunggu adikku yang bersekolah kurang lebih 3 jam di kedai bubur kacang hijau miliknya tanpa memesan apapun.

 

Tetapi aku tak membuang waktuku begitu saja, setiap mengantar-jemput adikku, aku selalu membawa buku dan pensil serta penghapus untuk menulis cerpen ataupun puisi, yang akan aku kirimkan ke Kartunet.com. syukur-syukur jika cerpen atau puisiku lolos seleksi, kalau tidak juga tidak apa-apa. Jika dapat hadiah aku sangat bersyukur, hitung-hitung cari uang untuk membantu ekonomi keluarga.

 

Pernah suatu kali Pak Sarwanto bertanya kepadaku,

 

Nunggu adiknya ya mas?”.

 

“ Iya pak, kok bapak tahu?”, aku balik bertanya kepadanya.

 

“ Iya, setiap hari saya lihat mas sama adiknya, hehe”, jawabnya ramah.

 

Perbincangan pun berlanjut,

 

“ Kok nunggu mas, ngga pulang saja dulu, baru nanti kesini lagi?” tanya Pak Sarwanto.

 

“ Wah tanggung pak, dari rumah saya kesini kalau naik motor itu kira-kira 45 menit, kalau saya pulang dulu terus jemput lagi, lama di perjalanan pak, sudah gitu bensin bisa habis pak, hehe”, jawabku.

 

“ Memang kamu tinggal dimana?”, beliau bertanya lagi.

 

Lalu aku pun menjelaskan almat tempat tinggalku, dan kemudian beliau terlihat kaget setelah aku menyebutkan nama desa tempat aku tinggal. Ternyata kami satu desa ! Hanya saja Pak Sarwanto sudah tidak tinggal di desa tesebut karena beliau membuka usaha disini.

 

Disaat asyiknya perbincangan kami, tiba-tiba ada suara dua buah motor berhenti, dan turunlah dua pasang bapak dan anak menghampiri kami, kemudian salah satu dari mereka yang bernama Pak Syamsul –terlihat dari sebuah name-tag yang ia kenakan di atas saku kemejanya– bertanya,

 

“Permisi pak, di dekat sini ada toko atau bengkel tidak pak?”.

 

“Wah agak jauh pak, dari sini kalau naik motor kira-kira satu jam”, jawab Pak Sarwanto.

 

Lalu bapak itu berdiskusi dengan bapak yang satunya, sepertinya mereka kebingungan. Salah satu anak kecil yang ikut dengan mereka asik berfoto ria dengan camera digital-nya, sedangkan yang satunya hanya diam memandangi SLB satu-satunya di kabupaten kami.

 

Karena penasaran, aku coba menghampiri mereka dan bertanya,

 

“Maaf pak, memang ada masalah apa ya pak, mungin bisa saya bantu”, ujarku.

 

Anu dek, helm saya tadi dicuri orang saat kami sedang makan. Kami ingin ke rumah saudara, tapi rumahnya di daerah kota. Kalau tidak pake helm, saya takutnya kena tilang. Di sekitar sini ada yang jual helm tidak ya?”.

 

“Ooh begitu pak. Kalo toko hanya ada di kota pak, kira-kira ya satu jam dari sini”, ucapku.

 

“Ooh begitu, makasih ya dek”, ujar bapak itu.

 

Jam sekolah usai, anak-anak berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Terlihat adikku juga berlarian diantara puluhan siswa SLB lainnya. Sambil menunggu adikku menghampiri, aku masih memikirkan cara untuk membantu bapak itu.

 

Tiba-tiba Jono datang,  menepuk pundakku dan kemudian bertanya,

 

“hu kappa?” ia bertanya siapa yang berbicara denganku tadi sambil menunjuk dua pasang bapak dan anak yang terlihat kebingungan itu.

 

“Itu bapak-bapak, mau, ke kota, tapi, helm, tidak ada. Bapak-bapak, takut, ditangkap, polisi”, jawaku perlahan-lahan disertai bahasa isyarat.

 

Berkomunikasi dengan orang tunarungu dan tunawicara memang sebaiknya perlahan-lahan, agar mereka memahami apa yang kita utarakan.

 

Tanpa bepikir panjang, adikku menunjuk helm kami, lalu berucap,

 

“ Ku! Hem, asseh” Jono bermaksud memberikan helm ayah pada orang itu.

 

 Aku berujar,

 

“ Nanti, kalau, bapak, nanya, gimana?”.

 

“Aapapa, bco-bco bell” Jono menjawab kalo besok-besok kami bisa membeli helm lagi.

 

Tanpa pikir panjang, kuturuti usulan adikku, aku segera mengambil helm lalu memberinya pada bapak itu. Bapak itu berterima kasih, kemudian kembali melanjutkan perjalanannya.

 

Kami pun juga melanjutan perjalanan kami pulang ke rumah. Di jalan, aku bingung apa yang harus aku katakan kepada ayahku tentang helm yang kami berikan. Padahal itu satu-satunya helm yang kami miliki. Lalu kulihat Jono yang sepertinya senang, yang sedikit menghilangkan rasa khawatirku.

 

Tetapi, sesampainya di rumah, yang aku khawatirkan benar-benar terjadi,

 

“Aduh Yonoooooo, itu helm cuma satu. Kita sudah susah kok kamu segala kasih helm ke orang yang tak dikenal?”. Ayahku berbicara dengan raut wajah kecewa.

 

Tetapi akhirnya ditenangkan oleh Ibuku,

 

“Yaudahlah Pak, namanya juga saling membantu”.

 

 Kemudian adikku juga menjelaskan semuanya, dan akhirnya ayahku berkata,

 

“Oke, kapan-kapan kalau punya uang Bapak beli lagi deh helm yang baru”, ujar Ayahku.

 

Tadinya, aku ingin berbohong agar tak diomeli Ayahku, tetepi Beliau mengajari kami untuk jujur bagaimanapun keadaannya sejak kami kecil.

 

Seminggu kemudian, di saat kami sekeluarga berkumpul di rumah, ada tamu datang. Aku kira siapa, ternyata Bapak-bapak yang dulu pernah aku tolong. Kami mempersilahkannya untuk masuk ke rumah kami, lalu kami berbincang-bincang, dan kemudian kami bertanya darimana mereka tahu alamat rumah kami. Mereka menjelaskan, ternyata awalnya mereka pergi ke kedai bubur kacang hijau Pak Sarwanto, kemudian bertanya alamat rumahku, dan karena Pak Sarwanto tak tahu persis dimana kami tinggal,

 

Pak Sarwanto hanya mengarahkan letak desa kami. Karena bingung tak tahu dimana rumahku, Bapak itu mencari tahu alamatku dengan foto yang pernah diambil oleh anaknya di kamera miliknya. Ternyata diam-diam anaknya memotretku! Dngan mengandalkan foto, mereka bertanya pada orang di desa, yang kemudian mengantar mereka ke rumah kami.

 

Tahukah kalian, apa tujuan mereka datang ke rumah kami? Mereka ingin mengembalikan helm kami, ditambah amplop yang berisi uang! Tak hanya itu, mereka juga memberi kami sembako.

 

Kami sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada mereka, yang setidaknya ikut membantu kehidupan kami.

 

Beberapa lama kemudian, mereka pulang. Setelah itu, ayahku memanggil aku dan adikku, memeluk kami, dan berkata,

 

“Maaf ya, dulu Bapak sempet marah sama kalian. Tapi sekarang Bapak bangga sama kalian, anak-anak baik calon orang-orang sukses!”. Aku melirik Ibuku yang melihat kami dengan senyum manisnya.

 

Aku berpikir, mungkin kalau tak ada Jono, ini semua tidak akan terjadi. Dia adalah orang hebat. Di sela-sela suasana yang mengharukan itu, Jono berkata,

 

“ Papa, moy tu!” sambil mengacungkan jari telunjuknya, ia ingin mengatakan kalau ayahku nomor satu. Kami pun tertawa melihat tingkah Jono.

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *